Penuhi 30 Persen Keterwakilan Perempuan
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ada yang harus diperhatikan untuk memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam bidang politik, saat ini menjadi komitmen negara. Yaitu, perempuan harus mengetahui hak-hak apa saja yang harus dipenuhi dalam hak politik perempuan tersebut. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat (Hanura), Tuti Hanurita, Minggu (10/2) di kediamannya.
Tuti mengatakan, hak politik perempuan diantaranya, hak untuk memilih dalam suatu pemilihan, pelayanan publik, hak dipilih pada semua badan-badan atau instansi-instansi yang secara umum dipilih. Seperti, legislatif dan eksekutif. Untuk dapat dipilih, tentunya harus mempunyai kendaraan yang salah satunya partai politik.
Jadi yang terpenting bagaimana perempuan juga bisa duduk di partai dan menentukan kebijakan partai, untuk kepentingan perempuan. Mereka harus ikut berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah, baik pelaksanaannya dan memegang jabatan publik serta melaksanakan fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.
“Artinya, perempuan perannya bukan hanya sekedar mengurus anak. Tapi perannya lebih luas lagi. Misalnya, menjadikan politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti perempuan harus mau menentukan sikap terhadap kebijakan arah tujuan kehidupan rumah tangga,” katanya.
Peran politik perempuan harus diawali dari rumah tangga. Perempuan harus mampu mewujudkan sikap tujuan dari rumah tangga. Inilah yang harus perempuan pelajari. Kalau untuk berpartisipasi dalam perkumpulan organisasi baik yang berhubungan dengan sosial masyarakat, maupun politik negara. Perempuan harus mengetahui adanya hak-hak politik dalam masyarakat sendiri.
Kuota 30 persen memang belum maksimal, karena perempuan belum memahami tentang politik itu sendiri. Pemerintah harus mensosialisasikan tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik. Dengan didasari pengetahuan tentang politik yang diawali dari lingkungan rumah tangga. Maka perempuan menjadi terbiasa menentukan sikap dan tujuan dalam hidupnya.
Untuk kedepan, harapnya kualitas perempuan merupakan hal yang terpenting. Artinya, pendidikan politik bagi perempuan sangat penting, agar 30 persen keterwakilan perempuan dapat terpenuhi.
“Jangan hanya menuntut kuota, tapi perempuan harus juga dapat bersaing dengan laki-laki,” ujarnya.
Yang menjadi dilema, persoalan penentuan rangking untuk perempuan. Misalnya dalam partai, perempuan sangat jarang ditempatkan dalam rangking no 1. Posisi rangking no 1 selalu tetap diberikan kepada laki-laki dalam setiap kesempatan, untuk maju dalam pemilihan.
Kedepannya, undang-undang pemilu juga harus diubah, agar tidak menggunakan rangking untuk menjadi calon legislative. Karena perempuan selalu ditempatkan di rangking bawah, sehingga sangat susah memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.
“Kebijakan partai untuk memenuhi hak politik perempuan sangat diperlukan,” tuturnya.
Parpol harus menjadi ujung tombak bagi pendidikan politik kaum perempuan. Selama ini, Parpol dinilai belum berperan maksimal dalam proses pendidikan politik, bagi kaum perempuan. Dan kesiapan perempuan untuk dipilih dalam Pemilu. Untuk itu, Parpol harus menampilkan hal yang menarik bagi kaum perempuan, serta proaktif menjaring kader perempuan. Sehingga perempuan mempunyai kemampuan yang memadai.
Pemberian kuota 30 persen belum efektif, karena ternyata calon legislatif perempuan ditempatkan di nomor sepatu, bukan nomor jadi. Sebenarnya itu tidak soal, asalkan mereka bisa meraih pemilih yang banyak. Sistem proporsional terbuka memungkinkan seorang calon legislatif berkampanye untuk perolehan suara bagi dirinya.
Jadi, secara teoretis, tidak harus di nomor peci atau nomor urut teratas, untuk bisa jadi. Kalau bisa memenuhi jumlah suara tertentu sesuai dengan bilangan pembagi pemilih, maka otomatis calon akan jadi. Masalahnya, perubahan sistem itu belum akan berjalan maksimal. “Banyak parpol besar yang justru mengarahkan agar
konstituennya mencoblos tanda gambar parpol saja,” jelasnya.
Itu masih lebih baik, karena tidak sedikit partai yang kesulitan merekrut
perempuan sebagai caleg, sehingga mencapai kuota 30 persen. Belum lagi kalau
bicara kualitas. Apakah kuota itu tidak malah menjadi bentuk pemaksaan,
sehingga nama-nama yang dimunculkan sebenarnya kurang layak. Bagi mereka
yang kurang setuju dengan model kuota, persoalan seperti inilah yang selalu
dikedepankan.
“Kalau mau memperjuangkan keterwakilan perempuan, ya harus dengan pemberdayaan kaum perempuan terlebih dahulu. Bukan diangkat-angkat
atau dipaksa-paksa,” kata Tuti.
Tetapi, itu tetap akan menjadi pro dan kontra. Sebab, yang setuju berpandangan, kalau tidak dipaksa dengan kuota, kaum perempuan akan terus terpinggirkan. Ada beberapa catatan yang harus dijadikan pijakan dalam perjuangan politik perempuan di parlemen. Sehingga cita-cita utuh pembebasan perempuan bisa terpenuhi. Pertama, kaum perempuan harus menolak dan tidak memilih parpol yang tidak sensitif dengan isu perempuan. Parpol yang mendukung poligami, misalnya, merupakan musuh politik perempuan yang tidak boleh dijadikan kendaraan politik.
Kedua, gerakan perempuan harus mendesak, agar paket UU Politik membuka sistem multipartai seluas-luasnya. Dengan mempermudah syarat pendirian partai, syarat keikutsertaan dalam pemilu, dan syarat pencalegan. Multipartai seluas-luasnya bermakna memotong dominasi parpol besar yang terbukti kurang responsif dengan nasib perempuan. Sekaligus memperluas potensi kemunculan partai alternatif.
Ketiga, menolak parameter keberhasilan perempuan di parlemen dengan semakin banyaknya artis cantik, masuk dalam parlemen sebagai nomor jadi. Karena proses ini muncul dari kebutuhan mesin partai mengumpulkan suara, bukan dalam kepentingan memperjuangkan aspirasi perempuan. Kebanyakan artis itu setelah masuk parlemen diombang-ambingkan oleh politik kekuasaan karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan politik mereka.
Keempat, mestinya selain perjuangan kuota 30 persen, kaum perempuan dalam waktu bersamaan mendesakkan realisasi pendidikan dan kesehatan gratis. Ini penting untuk menaikkan bobot kemampuan human experience kaum perempuan, agar lebih produktif dalam panggung politik dan lapangan sosial yang lain.
Direktur Gemawan, Laili Khairnur mengatakan partisipasi perempuan dalam politik bergantung pada Undang-Undang Pemilu dan aturan main internal parpol. UU 12/2003 telah mencantumkan ketentuan kuota. Pasal 65 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen,” ungkapnya.
Namun, ketentuan itu bukan satu-satunya yang bisa menjadi pegangan harapan. Hal itu karena sesungguhnya peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga legislatif pada kenyataannya tetap sangat tergantung pada parpol. Peran parpol berkaitan dengan pemihakan terhadap peningkatan partisipasi masyarakat, akan terlihat pada mekanisme pencalonan anggota legislatif (caleg) misalnya.
Ketentuan pengajuan calon maksimal 120 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan dalam sebuah daerah pemilihan, tidak akan besar artinya jika calon perempuan ditempatkan di urutan bawah pada daftar caleg. Ketentuan kuota seperti termuat dalam undang-undang mesti disikapi hati-hati. Kuota 30 persen bagi perempuan tidak bersifat mutlak dan mengikat. Sehingga tetap terbuka peluang bagi parpol menempatkan calon perempuan sekadar pengumpul suara (vote getter) atau alat legitimasi.
Selain itu, parpol juga mungkin secara sepihak menempatkan wakil-wakil perempuan yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap nilai, prinsip, dan aspirasi masyarakat.
Mengenai sistem zig-zag, yaitu berselang-seling penempatan urutan caleg laki-laki dan perempuan yang berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen di beberapa negara, reaksi parpol beragam. Ada yang tidak berkeberatan tetapi menyangsikan efektivitasnya meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan, ada yang belum memikirkan.
Perubahan paket UU politik membawa implikasi beragam pada perempuan. Sistem yang paling menguntungkan untuk perempuan adalah proporsional terbuka murni dengan mekanisme zig-zag, ukuran daerah pilihan menengah-besar, dan jumlah parpol peserta pemilu yang terbatas.
Dalam hal ini, parpol dianggap masih menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan, meskipun parpol mengatakan tidak ada masalah dengan keterwakilan perempuan. Persoalan politik uang, struktur kepemimpinan yang tak demokratis, dan agenda politik parpol yang tidak sensitif gender menjadi penghambat. Keterlibatan perempuan, terutama dalam sayap perempuan di parpol, hampir tidak memengaruhi keputusan parpol.
Selama ini memang banyak perempuan yang kandas di tengah jalan sewaktu diajukan sebagai caleg maupun eksekutif, sebab ditolak dengan alasan yang dicari-cari. Alasan klasik yang kerap dipakai untuk mendiskreditkan perempuan adalah tidak berkualitas, kesibukan mengurus anak dan keluarga, serta stereotipe negatif lainnya yang merugikan perempuan.
Padahal, realitas di masyarakat menunjukkan, banyak wanita karir yang sukses melakukan peran gandanya dengan baik. Di samping faktor pimpinan yang menentukan teraksesnya peluang kuota, kesiapan kader perempuan di parpol juga menjadi faktor penentu lain yang ikut memengaruhi terpenuhinya kuota 30 persen.
Nah, sekarang, tidak ada alasan lagi untuk menolak keberadaan perempuan di parlemen. Sudah siapkan Anda?
Minggu, 17 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar