Cara Cepat Mencapai Angka 20 Persen
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua PGRI Kalbar, Muhammad Ali Daud, Senin (25/2) mengatakan sangat kecewa dengan keputusan MK yang memasukkan gaji guru ke dalam anggaran pendidikan yang tujuannya untuk mencapai angka 20 persen.
Pihaknya menyayangkan pengajuan permohonan tersebut justru dilakukan oleh seorang guru. Dia melihat, keputusan MK terkesan dibuat terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampaknya pada kemajuan dunia pendidikan. Keputusan MK membuktikan pada dasarnya memang tidak ada perhatian dan kemauan politik pemerintah terhadap perbaikan pendidikan secara keseluruhan. “Padahal, masih terdapat masalah mendasar seperti wajib belajar, putus sekolah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
Dikatakannya perumus Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memasukkan angka 20 persen di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan tentu mempunyai cara pandang lain dari cara Mahkamah Konstitusi sekarang yang menafsirkan. Dengan tidak dimasukkannya gaji guru sebetulnya bukan berarti gaji guru tidak diperhatikan.
Mestinya angka 20 persen anggaran pendidikan diprioritaskan hanya untuk kebutuhan operasional pendidikan di luar gaji guru seperti peningkatan sarana dan prasarana, operasional penyelenggaraan pendidikan di sekolah, operasional peningkatan prestasi siswa, biaya operasional penyediaan akses pendidikan bagi orang miskin, dan biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan sekolah dan anak didik bukan untuk gaji guru. Kalau gaji guru yang jumlahnya sudah mencapai 7 persen dari anggaran berarti anggaran untuk operasional pendidikan lainnya hanya 13 persen. “Persoalannya sekarang apakah dengan 13 persen anggaran pendidikan dalam APBN mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang sangat menumpuk,” tanya Ali.
Bayangkan saja, lanjutnya dengan anggaran pendidikan dalam APBN yang hanya 13 persen dipergunakan untuk biaya operasional pendidikan, perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas guru dan murid, penyediaan dana BOS dan beasiswa untuk murid, dan biaya lain seperti pembinaan potensi siswa. Semua pembiayaan tersebut membutuhkan dana yang besar. Saat ini saja dari data Depdiknas ada 50 persen bangunan sekolah SD dan MI seluruh Indonesia rusak parah. Sedangkan 18 persen lebih bangunan SMP dan MTs juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah pusat pun hanya menyediakan dana tidak lebih dari 16 miliar. Sisanya ditanggung oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sedangkan HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga seperti Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Jumlah anak putus sekolah anak masih sekitar 4,5 juta jiwa yang membuat rasio partisipasi pendidikan penduduk Indonesia baru sebesar 68,4 persen dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Sekitar 75-80 persen atau 7-8 orang dari setiap 10 orang pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah. 60 persen atau 6 orang dari setiap 10 orang pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah.
Ada 20 ribuan sekolah dari SD hingga SMA dalam kondisi rusak berat. 535.825 dari 900.000 ruang kelas di sekolah seluruh pelosok terindikasi dalam kondisi rusak.
14,6 juta atau 12,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas didapati buta huruf. ””
“Tingkat kesejahteraan hidup dan kualitas guru yang masih kurang dan keputusan MK adalah cara cepat pemerintah untuk mencapai angka 20 persen anggaran pendidikan,“ katanya.
Kepala SMAN 3 Pontianak menilai 20 persen anggaran pendidikan tidak terlalu penting. Yang terpenting perhatian pemerintah pada dunia pendidikan harus dirasakan masyarakat. “Terserah pemerintah ingin bicara apa yang penting standar sarana prasarana sekolah untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan segera dilengkapi,” katanya.
Selama ini, program untuk dunia pendidikan selalu berubah-rubah dan semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Mestinya pemerintah dalam mengeluarkan program harus jelas siapa yang dijadikan sasaran dari program pendidikan yang dibuat. Apakah sasarannya siswa, guru atau sarana prasarana pendidikan. Kalau siswa, maka harus jelas programnya dengan melihat apa saja yang dibutuhkan siswa. Begitu juga dengan guru, mesti jelas apa saja program yang mesti dibuat untuk guru dengan melihat apa kebutuhan dari guru.
Rektor Untan, Chairil Effendi berpendapat kebutuhan pendidikan sangat besar, kalau gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan maka anggaran tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Padahal paradigma Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas yaitu daya saing bangsa sedangkan pilar yang menopang pendidikan nasional adalah perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dan pencitraan public. Dengan paradigma tersebut, Depdiknas ingin meningkatkan daya saing bangsa. Untuk itu proses pendidikan harus berkualitas dan membutuhkan dana yang besar agar pendidikan berkualitas. Begitu juga dengan perluasan akses pendidikan akan menyerap dana yang besar. Belum lagi untuk kebutuhan peningkatan prestasi akademik peserta didik seperti mengikuti olimpiade-olimpiade baik tingkat nasional dan internasional maka akan membutuhkan pembiayaan pembinaan dan semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau dana 20 persen sudah termasuk gaji guru maka gerak maju dunia pendidikan akan sangat lamban.■
Senin, 25 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar