Guru Harus Menulis Buku Mata Pelajaran
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Minimnya jumlah buku mata pelajaran untuk siswa SMK yang beredar di pasar disikapi oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar’in.
Saat ditemui di kediamannya, Minggu (17/2), Wakil rakyat kota Pontianak ini mengatakan minimnya ketersediaan buku mata pelajaran ini bukalah salah penerbit. Karena tidak menerbitkan buku-buku mata pelajaran tertentu untuk SMK yang alasannya jumlah siswa SMK sedikit sehingga tidak terlalu menguntungkan. Penerbit sah-sah saja mengatakan hal tersebut dan pemerintah harus mengambil langkah untuk mengatasi minimnya jumlah buku mata pelajaran itu.
Langkah yang harus diambil pemerintah baik pemerintah pusat, provinsi dan kota harus mensubsidi penerbit-penerbit buku untuk pengadaan buku-buku mata pelajaran yang diperlukan. Pengadaan buku-buku mata pelajaran yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan.
Awal pengadaan buku mata pelajaran ini mulai pada era sebelum tahun 1990-an, pengelolaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah melalui Balai Pustaka. Siswa tidak mengeluarkan biaya untuk bisa menggunakan buku-buku tersebut karena pemerintah membagi pada sekolah dengan gratis. Secara ekonomis, kebijakan tersebut sangat membantu masyarakat. Akan tetapi, model sentralistik tersebut dianggap bermasalah karena menjadikan buku sebagai alat pemerintah mempertahankan kekuasaaannya. Buku-buku yang didistribusikan ke sekolah menjadi bagian dari proses indoktrinasi.
”Pengelolaan yang terpusat kerap membuat bias. Isi buku sering kali tidak sesuai dengan kondisi nyata yang tengah dihadapi oleh siswa,” katanya.
Awal tahun 1990-an pola pengelolaan buku berganti. Monopoli Balai Pustaka dihapus
dan pembelian buku disebar ke semua penerbit. Selain itu, untuk buku pelajaran
pemerintah melalui utang kepada Bank Dunia mengadakan tender kepada penerbit-penerbit untuk membuat buku yang bermutu bagi sekolah. Akan tetapi model seperti itu
menimbulkan masalah lainnya yaitu korupsi.
Penyimpangan terjadi mulai dari penentuan penerbit. Besarnya suap menjadi penentu penerbit yang akan melaksanakan proyek. Selain itu, pembelian kertas pun diarahkan kepada perusahaan tertentu.
Pola pengelolaan buku dirubah kembali, ceritanya. Kali ini pemerintah daerah yang diberi kebebasan untuk membeli buku pejaran yang akan dipakai didaerahnya masing-masing. Walaupun memang lewat pusat perbukuan pemerintah masih melakukan kontrol dalam standar mutu. Akan tetapi, ujar Firdaus perubahan menjadi lebih terdesentralisasi ternyata tidak membawa perbaikan. Pengelolaan buku justru lebih kacau mulai dari standar mutu hingga sistem distribusinya.Terakhir, pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengeluarkan kebijakan pembatasan masa pakai buku sampai lima tahun. Kebijakan tersebut akan dikonkritkan dengan Peraturan Presiden yang rencananya diterbitkan Januari 2005 lalu. Selain masa berlaku, dalam Perpres juga diatur larangan mewajibkan pembelian buku dari penyelenggara sekolah.
Begitupun dalam pengelolaan buku pelajaran. Pemberian kewenangan kepada pemerintah
daerah yang bertujuan mendekatkan mata pelajaran dengan kondisi sosial budaya peserta
didik sekaligus memangkas praktik korupsi yang terjadi malah sebaliknya. Pengadaan
buku pelajaran justru menjadi lahan subur untuk melakukan praktik korupsi.
“Dan saat ini, harus ada perbaikan manajemen jika pemerintah melakukan pengadaan buku pelajaran untuk sekolah. Jangan sampai terjadi peluang-peluang penyimpangan dalam melaksanakan pengadaan buku dan kita di DPRD kota Pontianak juga akan mencarikan solusi untuk siswa dan guru di SMK yang memang sulit mendapatkan buku pelajaran,” ungkapnya.
Dikatakanya sebanarnya jika kemampuan menulis guru-guru di Kalbar baik maka untuk mengatasi persoalan minimnya buku ini sangatlah mudah. Misalnya dengan pemerintah menghimpun guru-guru SMK untuk menulis buku pelajaran yang diperlukan. Tapi persoalannya guru-guru di Kalbar sangat sedikit yang mau menulis buku.
Dekan FKIP Untan, Aswandi menyikapi persoalan minimnya ketersediaan buku mata pelajaran untuk SMK mengatakan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten kota harus melakukan pengorganisiran guru-guru SMK untuk membentuk kelompok-kelompok guru penulis buku. Dengan cara ini berarti pemerintah membiasakan guru diberdayakan untuk menulis dan pemerintah harus membiayai guru untuk menulis buku mata pelajaran. Keuntungan dari guru menulis buku ini, pertama dapat menambah royalti bagi guru sendiri, kedua dengan menulis berarti guru membaca. Karena selama ini banyak guru yang tidak mau membaca sehingga pengetahuannya sangat kurang. Dengan merangsang guru untuk menulis otomatis mau tidak mau guru dituntut untuk rajin membaca. ”Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan untuk membimbing guru membuat buku pelajaran agar sesuai dengan standar minimal buku yang layak diterbitkan,” ungkapnya.
Senin, 18 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar