Gonta-ganti Kurikulum, Buku Pelajaran Minim
*Murid dan Guru Bingung
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Minimnya jumlah buku SMK terutama beberapa mata pelajaran tertentu sudah terjadi sejak pergantian dari Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di pasar pun tidak tersedianya. Termasuk buku-buku seperti buku negosiasi, menata produk, mesin-mesin bisnis dan komunikasi bisnis untuk jurusan penjualan di SMK dari pemerintah menyebabkan guru dan siswa SMK akhir-akhir ini kesulitan dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Ketua Jurusan Penjualan SMKN 3 Pontianak, Dayang Haryani, Sabtu (16/2) mengatakan selama ini guru mata pelajaran hanya menggunakan buku kurikulum suplemen 1999 yang hanya dalam bentuk buku paket pegangan guru sedangkan untuk murid tidak ada. Selain itu buku-buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang seharusnya dapat digunakan siswa untuk latihan pengerjaan soal juga tidak ada.
“Kita sudah coba menghubungi beberapa penerbitan melalui koperasi sekolah tapi memang beberapa penerbitan tersebut tidak menerbitkan buku-buku yang kita perlukan,” katanya.
Yang paling menyulitkan dari tidak tersedianya buku-buku mata pelajaran untuk siswa, ujarnya proses belajar mengajar menjadi monoton karena guru harus mendiktekan murid untuk mencatat materi pelajaran dan sangat memperlambat target pencapaian kurikulum yang telah ditentukan.
Kepala SMKN 3 Pontianak, H.A.Rahman Har mengakui minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran untuk SMK. Sebenarnya sering juga penerbit dating ke sekolah untuk menawarkan buku mata pelajaran tapi sering tidak sesuai dengan kurikulum dan siswa sering mengeluhkan harganya yang mahal sehingga siswa tidak mampu untuk membeli.
Abriyandi, Guru SMKN 3 Pontianak yang juga pakar pendidikan Kalbar mengatakan Buku pelajaran merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sebab tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam kurikulum diimplementasikan
Di dalamnya yang kemudian dijadikan panduan bagi guru dan siswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di dalam kelas.
Ada empat fungsi buku pelajaran bagi murid Pertama, sebagai sarana kepastian apa yang dipelajari; Kedua, sebagai alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh ia telah menguasai bahan pembelajaran yang menjadi sarana mencapai kompetensi dasar. Ketiga, sebagai alat belajar untuk menemukan petunjuk, teori, ataupun konsep, dan evaluasi. Keempat, sebagai alat yang memudahkan proses belajar, mendalami bahan, dan mengerjakan pelatihan-pelatihan.
Sedangkan untuk para guru, buku pelajaran berfungsi; pertama, sebagai pedoman
mengidentifikasi apa yang harus dipelajari oleh siswa saat ingin mencapai kompetensi
dasar. Kedua, mengetahui urutan penyajian bahan pembelajaran. Ketiga, mengetahui
teknik, metode, dan pendekatan sekaligus untuk menjalankan proses pembelajaran.
Keempat, memperoleh bahan pembelajaran yang lebih mudah. Kelima, memudahkan
memberikan tugas-tugas pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas, atau di rumah.
Keenam, mengefisienkan proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya buku pelajaran, pemerintah melalui Kepmen 053/U/2001 tentang
standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang dasar dan menengah
mewajibkan sekolah memiliki buku pelajaran pokok dan ditunjang oleh buku pelajaran
pelengkap, buku bacaan, serta buku referensi seperti kamus. Pada tingkat Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekolah diharuskan menyediakan sekurang kurangnya satu buku di tiap-tiap pelajaran pokok untuk setiap siswa.
Artinya, pada tingkat pendidikan dasar, pemerintah memiliki kewajiban untuk
menyediakan buku pelajaran bagi setiap peserta didik. Bahkan disediakan juga buku- buku pendukung lainnya misalnya dalam perpustakaan sekolah sehingga pengetahuan
peserta didik akan semakin kaya.
“Akan tetapi kenyataannya pemerintah tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan
baik. Buku pelajaran justru menjadi masalah bagi sebagian besar orang tua siswa di
Indonesia. Selain masa pakainya singkat, harga buku pelajaran tergolong mahal,” ujarnya.
Dikatakannya walaupun beberapa sekolah menerima buku dari pemerintah, umumnya tidak bisa dipergunakan. Penyebabnya antara lain karena buku sudah tidak sesuai lagi dengan kurikulum atau tidak cocok dengan kebutuhan sekolah. Sehingga orang tua siswa tetap diwajibkan untuk membeli. Banyaknya buku pelajaran juga dianggap sebagai sumber kemalasan guru. Kreativitasnya hilang karena dimanjakan buku yang posisinya justru sebagai penunjang dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar. Misalnya, guru tidak lagi membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa. Mereka tinggal mewajibkan siswa membeli dan mengisi lembar kerja siswa (LKS).
Senin, 18 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar