Pemerintah Tidak Paham Anggaran Pendidikan 20 Persen
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua Divisi Advokasi Jaringan Independen Masyarakat Sipil Untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembanguan (JARI) Indonesia Orwil Borneo Barat, Indra Aminullah mengatakan keputusan yang dibuat MK merupakan kesalahan dalam menerjemahkan pendekatan anggaran pendidikan 20%. Substansi yang sebenarnya ingin dimunculkan dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 terkait pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN/APBD ialah mendorong program pemenuhan hak dasar pendidikan warga negara agar semakin cepat terpenuhi.
”Saya katakan”semakin cepat terpenuhi” dikarenakan anggaran 20 persen sebenarnya belum tentu menjamin kebutuhan pendidikan warga negara terpenuhi. Sebagai contoh dalam Riset JARI mengenai kebijakan anggaran di kabupaten Pontianak 2007. Pemerintah Kabupaten Pontianak mengalokasikan anggaran pendidikan sejumlah 34% dari total APBD. Akan tetapi tingginya kebijakan anggaran tersebut dijawab dengan masih ditemukannya anak usia sekolah yang tidak sanggup melanjutkan sekolah dikarenakan tidak mampu membayar biaya sekolah, kebutuhan buku tulis, seragam dan akses terhadap bangunan gedung pendidikan yang jauh serta bangunan yang tidak layak sebagai tempat belajar,“ ungkapnya.
Sebagai contoh lain, Di kabupaten Buleleng, Bali misalnya. Pemerintah setempat mengalokasikan anggaran 43 persen anggaran APBDnya, ternyata hampir sama kasusnya seperti yang ditemukan di Kabupaten Pontianak yaitu masih seputar itu-itu saja kasusnya.
Ini membuktikan realitas kebijakan anggaran pendidikan 20 persen selama ini, ternyata masih ditemukan ambigu dalam penerjemahannya oleh pemerintah. Pertama, pemerintah masih menganggap anggaran pendidikan 20 persen bukan prioritas dan tidak harus dipenuhi secara cepat seperti yang dimandatkan dalam UU sisdiknas. Buktinya, hampir seluruh APBD kabupaten/kota bahkan APBN tidak mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen, padahal UU Sisdiknas ditetapkan pada tahun 2003. Kedua, adanya klaim pemerintah di beberapa kota/kabupaten yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan di daerahnya sudah melewati target seperti yang dimandatkan dalam UU. Padahal prosentase tersebut sudah termasuk di dalamnya anggaran untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan.. Otomatis sudah jauh dari koridor yang sebenarnya dalam UU sisdiknas bahwa angaran pendidikan 20%, tidak termasuk didalamya alokasi untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan. Pemerintah lupa, fakta telah membuktikan klaim anggaran tersebut ternyata tidak menuntaskan masalah dasar pendidikan. Ketiga, Masih ada paradigma lama yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan 20% diluar gaji guru dan pendidikan kedinasan menganggap guru bukan bagian dari komponen pendidikan. Padahal, semangat yang dibangun bukan mendorong disparitas antara guru dan pendidikan tetapi ingin memperlakukan guru secara khusus dalam anggaran dan tidak dicampurkan ke dalam operasional pendidikan.
“Artinya gaji guru diberikan tempat terhormat dalam kebijakan alokasi anggaran,“ jelasnya.
Keputusan MK secara pragmatis, sebenarnya membantu pemerintah yang tidak mau mengalokasikan anggaran 20 persen dan mengabaikan warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pada posisi ini, dalam perspektif hukum maka MK berada pada posisi yang tepat tapi dalam perspektif HAM maka MK melakukan kesalahan yang fatal. Apalagi pemerintah SBY dalam penyusunan RPJP telah mengadopsi istilah pendekatan ”right based approach” yaitu pemenuhan hak dasar. Hal ini menjadi sinyalemen bahwa pemenuhan hak harus menjadi paradigma dalam kebijakan anggaran.
”Pendekatan berbasis hak dalam perencanaan-penganggaran ditujukan agar kelembagaan, proses dan kebijakan yang dihasilkan didasarkan secara eksplisit pada kerangka norma dan nilai hukum hak asasi manusia,“ jelasnya.
Kerangka norma dan nilai tersebut, kata Indra sangat potensial dalam mendukung pemberdayaan masyarakat. Di sini dijelaskan bahwa fokus dari pendekatan berbasis hak secara esensial adalah pemberdayaan.
Proses pemberdayaan masyarakat sangat penting pada upaya pemahaman dan pengakuan atas hak. Keberadaan hak dalam konteks pembuatan kebijakan termasuk perencanaan-penganggaran bukan didasarkan pada fakta tentang perlunya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, tapi lebih didasarkan pada fakta akan pemilikan hak dari si miskin. Dimana pengakuan atas keberadaan hak itu akan mengembangkan kewajiban hukum di pihak lain. Di sini, program dan kegiatan pemerintah tidak lagi dipahami sebagai tindakan teknokratis, kedermawanan dan lebih dari sekedar kewajiban moral. Kebijakan perencanaan-penganggaran merupakan kewajiban hukum dari negara, terutama pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga. ”Konteks pemahamannya di sini adalah keberadaan pengakuan hukum atas hak warga di satu sisi, dan kewajiban hukum di pihak lain merupakan perihal penting dari upaya pemberdayaan warga miskin,“ pungkasnya.■
Senin, 25 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar