Ketimpangan Kebijakan Anggaran
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
“Sungguh timpang kebijakan alokasi APBN yang dibuat pemerintah. Gedung sekolah sebagai jantung kegiatan belajar mengajar yang sudah roboh dibiarkan roboh. Sedangkan gedung DPR di Senayan yang masih bagus dan megah akan segera direnovasi dengan dana 40 miliar,” kata Dosen FKIP Untan, Rif’at menyikapi keputusan MK.
Uang yang seharusnya untuk membangun sekolah digunakan untuk tunjangan rumah dinas anggota DPR. Padahal mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui gedung sekolah lebih penting daripada sekadar memanjakan anggota dewan dengan berbagai fasilitas yang sudah lebih dari cukup.Keadaan ini, kata Rif’at semakin menegaskan bahwa pemerintahan saat ini tidak berpihak kepada rakyat. Rakyat dibiarkan banting tulang dan memeras keringat untuk bertahan hidup dan berupaya mendapatkan pendidikan layak. Sedangkan DPR sebagai wakil rakyat bergelimangan fasilitas dan kemewahan. Rakyat Indonesia dibiarkan bodoh dengan kondisi sebodoh-bodohnya yaitu dengan bodoh tanpa harus sekolah, karena gedung sekolah yang ada di desanya sudah roboh sekian tahun yang lalu. Belum lagi persoalan di desa-desa sudah banyak guru yang tidak lagi mau mengajar. Mereka sudah tidak tahan lagi hidup di bawah garis kemiskinan. Guru-guru terpaksa kembali menggarap sepetak tanah hasil warisan orang tua. Gaji guru tidak cukup untuk sekadar membeli garam didapur. Ironisnya, dana bantuan yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun gedung baru dan membayar gaji guru dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Dana-dana tersebut tidak pernah cair dan sampai kepada pihak sekolah. “Kalaupun ada, dana tersebut sudah tinggal 60 atau bahkan 50 persen dari anggaran asli,” ungkapnya. Rif’at sangat kecewa karena tidak ada satu pun anggota DPR yang terhormat membantu meringankan beban penderitaan rakyat. Mereka malah mengajukan anggaran kepada pemerintah melalui APBN untuk merenovasi gedung DPR yang sudah megah dan membangun rumah dinasnya. Mereka merasa malu jika ada kunjungan anggota DPR dari negara lain. Akan tetapi, mereka tidak merasa malu jika anak bangsa Indonesia bodoh karena tidak adanya sarana kegiatan belajar mengajar. Selain anggaran renovasi gedung DPR sebesar 40 miliar dan tunjangan rumah dinas, anggota DPR menyetujui anggaran pendidikan pada tahun 2008. Ironinsnya, anggaran pendidikan tahun 2008 lebih kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007. Anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2008 ditetapkan Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun.Sebuah kebijakan yang ironis memang ditengah masih banyaknya masyarakat buta aksara di Indonesia yang mencapai 14,59 juta orang. Akhir cerita dari kebijakan pemerintah selama ini adalah ketimpangan antara yang miskin dan kaya. “Pemerintah berlomba mempercantik diri, sedangkan rakyat terseok dengan kondisi sekolah yang roboh,” ujarnya.■
Senin, 25 Februari 2008
Hari Ini Untan Wisuda 300 Program Diploma
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Universitas Tanjungpura (Untan) hari ini akan mewisuda 300 mahasiswanya untuk program diploma. Demikian diungkapkan Rektor Untan, Chairil Effendi, Senin (25/2) diruang kerjanya. Ia mengatakan pelaksanaan wisuda ini dilaksanakan di Auditorium Untan yang dimulai pukul 08.00. Mahasiswa yang diwisuda ini terdiri dari program Diploma II FKIP PGSD sebanyak 252 orang, Diploma III FISIP 47 orang dan Diploma III fakultas Pertanian ada 1 orang. “Jadi totalnya ada 300 orang mahasiswa program diploma yang diwisuda hari ini,” katanya.
Semua mahasiswa yang diwisuda ini merupakan program pendidikan professional yang nantinya bisa langsung diserap oleh lapangan kerja. Apalagi 2011 nanti terjadi ledakan kebutuhan guru di Kalbar yang mencapai belasan ribu dan ini menjadi peluang bagi lulusan Untan untuk mempersiapkan diri menjadi guru terutama untuk program Diploma II PGSD ini. Bahkan beberapa waktu lalu Gubernur Kalbar, Cornelis pernah menanyakan ke Untan apakah Untan masih dapat membuka program Akta IV untuk mempersiapkan terjadinya ledakan kekurangan guru 2011 mendatang. Saat ini program Akta IV ini sudah ditutup. “Makanya kita akan membicarakan dengan Dekan FKIP untuk pengusulan dibukanya kembali program Akta IV ke Dikti,” katanya.
Karena kalau tidak dipenuhi dengan jalan membuka program Akta IV maka kekurangan guru di 2011 nanti tidak dapat dipenuhi dari lulusan kependidikan lembaga-lembaga kependidikan yang ada di Kalbar. Adanya syarat yang mengharuskan untuk menjadi guru harus S1 maka diharapkan lulusan diploma III PGSD dapat melanjutkan kualifikasi pendidikannya ke program sarjana di Universitas Terbuka. Yang belum dapat melanjutkan pendidikannya ke S1 dapat bekerja sebagai guru-guru honorer.
Lulusan diploma Untan ini adalah orang-orang terdidik yang diharapkan dapat kembali ke kampong halamannya untuk segera membangun daerahnya masing-masing.
“Mereka adalah orang-orang terdidik yang diharapkan menjadi panutan di tengah masyarakat agar dapat menjadi teladan di masyarakat dan bisa survive di tengah masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja paling tidak untuk diri sendiri. Jangan tergantung pada kesempatan kerja disektor formal,” katanya.
Untuk lulusan non dari kependidikan diharapkan dapat membuka lapangan kerja di sektor non formal karena memang saat ini peluang membuka lapangan kerja di sektor non formal jauh lebih banyak dari lapangan kerja di sektor formal.■
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Universitas Tanjungpura (Untan) hari ini akan mewisuda 300 mahasiswanya untuk program diploma. Demikian diungkapkan Rektor Untan, Chairil Effendi, Senin (25/2) diruang kerjanya. Ia mengatakan pelaksanaan wisuda ini dilaksanakan di Auditorium Untan yang dimulai pukul 08.00. Mahasiswa yang diwisuda ini terdiri dari program Diploma II FKIP PGSD sebanyak 252 orang, Diploma III FISIP 47 orang dan Diploma III fakultas Pertanian ada 1 orang. “Jadi totalnya ada 300 orang mahasiswa program diploma yang diwisuda hari ini,” katanya.
Semua mahasiswa yang diwisuda ini merupakan program pendidikan professional yang nantinya bisa langsung diserap oleh lapangan kerja. Apalagi 2011 nanti terjadi ledakan kebutuhan guru di Kalbar yang mencapai belasan ribu dan ini menjadi peluang bagi lulusan Untan untuk mempersiapkan diri menjadi guru terutama untuk program Diploma II PGSD ini. Bahkan beberapa waktu lalu Gubernur Kalbar, Cornelis pernah menanyakan ke Untan apakah Untan masih dapat membuka program Akta IV untuk mempersiapkan terjadinya ledakan kekurangan guru 2011 mendatang. Saat ini program Akta IV ini sudah ditutup. “Makanya kita akan membicarakan dengan Dekan FKIP untuk pengusulan dibukanya kembali program Akta IV ke Dikti,” katanya.
Karena kalau tidak dipenuhi dengan jalan membuka program Akta IV maka kekurangan guru di 2011 nanti tidak dapat dipenuhi dari lulusan kependidikan lembaga-lembaga kependidikan yang ada di Kalbar. Adanya syarat yang mengharuskan untuk menjadi guru harus S1 maka diharapkan lulusan diploma III PGSD dapat melanjutkan kualifikasi pendidikannya ke program sarjana di Universitas Terbuka. Yang belum dapat melanjutkan pendidikannya ke S1 dapat bekerja sebagai guru-guru honorer.
Lulusan diploma Untan ini adalah orang-orang terdidik yang diharapkan dapat kembali ke kampong halamannya untuk segera membangun daerahnya masing-masing.
“Mereka adalah orang-orang terdidik yang diharapkan menjadi panutan di tengah masyarakat agar dapat menjadi teladan di masyarakat dan bisa survive di tengah masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja paling tidak untuk diri sendiri. Jangan tergantung pada kesempatan kerja disektor formal,” katanya.
Untuk lulusan non dari kependidikan diharapkan dapat membuka lapangan kerja di sektor non formal karena memang saat ini peluang membuka lapangan kerja di sektor non formal jauh lebih banyak dari lapangan kerja di sektor formal.■
Cara Cepat Mencapai Angka 20 Persen
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua PGRI Kalbar, Muhammad Ali Daud, Senin (25/2) mengatakan sangat kecewa dengan keputusan MK yang memasukkan gaji guru ke dalam anggaran pendidikan yang tujuannya untuk mencapai angka 20 persen.
Pihaknya menyayangkan pengajuan permohonan tersebut justru dilakukan oleh seorang guru. Dia melihat, keputusan MK terkesan dibuat terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampaknya pada kemajuan dunia pendidikan. Keputusan MK membuktikan pada dasarnya memang tidak ada perhatian dan kemauan politik pemerintah terhadap perbaikan pendidikan secara keseluruhan. “Padahal, masih terdapat masalah mendasar seperti wajib belajar, putus sekolah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
Dikatakannya perumus Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memasukkan angka 20 persen di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan tentu mempunyai cara pandang lain dari cara Mahkamah Konstitusi sekarang yang menafsirkan. Dengan tidak dimasukkannya gaji guru sebetulnya bukan berarti gaji guru tidak diperhatikan.
Mestinya angka 20 persen anggaran pendidikan diprioritaskan hanya untuk kebutuhan operasional pendidikan di luar gaji guru seperti peningkatan sarana dan prasarana, operasional penyelenggaraan pendidikan di sekolah, operasional peningkatan prestasi siswa, biaya operasional penyediaan akses pendidikan bagi orang miskin, dan biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan sekolah dan anak didik bukan untuk gaji guru. Kalau gaji guru yang jumlahnya sudah mencapai 7 persen dari anggaran berarti anggaran untuk operasional pendidikan lainnya hanya 13 persen. “Persoalannya sekarang apakah dengan 13 persen anggaran pendidikan dalam APBN mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang sangat menumpuk,” tanya Ali.
Bayangkan saja, lanjutnya dengan anggaran pendidikan dalam APBN yang hanya 13 persen dipergunakan untuk biaya operasional pendidikan, perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas guru dan murid, penyediaan dana BOS dan beasiswa untuk murid, dan biaya lain seperti pembinaan potensi siswa. Semua pembiayaan tersebut membutuhkan dana yang besar. Saat ini saja dari data Depdiknas ada 50 persen bangunan sekolah SD dan MI seluruh Indonesia rusak parah. Sedangkan 18 persen lebih bangunan SMP dan MTs juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah pusat pun hanya menyediakan dana tidak lebih dari 16 miliar. Sisanya ditanggung oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sedangkan HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga seperti Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Jumlah anak putus sekolah anak masih sekitar 4,5 juta jiwa yang membuat rasio partisipasi pendidikan penduduk Indonesia baru sebesar 68,4 persen dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Sekitar 75-80 persen atau 7-8 orang dari setiap 10 orang pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah. 60 persen atau 6 orang dari setiap 10 orang pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah.
Ada 20 ribuan sekolah dari SD hingga SMA dalam kondisi rusak berat. 535.825 dari 900.000 ruang kelas di sekolah seluruh pelosok terindikasi dalam kondisi rusak.
14,6 juta atau 12,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas didapati buta huruf. ””
“Tingkat kesejahteraan hidup dan kualitas guru yang masih kurang dan keputusan MK adalah cara cepat pemerintah untuk mencapai angka 20 persen anggaran pendidikan,“ katanya.
Kepala SMAN 3 Pontianak menilai 20 persen anggaran pendidikan tidak terlalu penting. Yang terpenting perhatian pemerintah pada dunia pendidikan harus dirasakan masyarakat. “Terserah pemerintah ingin bicara apa yang penting standar sarana prasarana sekolah untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan segera dilengkapi,” katanya.
Selama ini, program untuk dunia pendidikan selalu berubah-rubah dan semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Mestinya pemerintah dalam mengeluarkan program harus jelas siapa yang dijadikan sasaran dari program pendidikan yang dibuat. Apakah sasarannya siswa, guru atau sarana prasarana pendidikan. Kalau siswa, maka harus jelas programnya dengan melihat apa saja yang dibutuhkan siswa. Begitu juga dengan guru, mesti jelas apa saja program yang mesti dibuat untuk guru dengan melihat apa kebutuhan dari guru.
Rektor Untan, Chairil Effendi berpendapat kebutuhan pendidikan sangat besar, kalau gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan maka anggaran tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Padahal paradigma Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas yaitu daya saing bangsa sedangkan pilar yang menopang pendidikan nasional adalah perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dan pencitraan public. Dengan paradigma tersebut, Depdiknas ingin meningkatkan daya saing bangsa. Untuk itu proses pendidikan harus berkualitas dan membutuhkan dana yang besar agar pendidikan berkualitas. Begitu juga dengan perluasan akses pendidikan akan menyerap dana yang besar. Belum lagi untuk kebutuhan peningkatan prestasi akademik peserta didik seperti mengikuti olimpiade-olimpiade baik tingkat nasional dan internasional maka akan membutuhkan pembiayaan pembinaan dan semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau dana 20 persen sudah termasuk gaji guru maka gerak maju dunia pendidikan akan sangat lamban.■
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua PGRI Kalbar, Muhammad Ali Daud, Senin (25/2) mengatakan sangat kecewa dengan keputusan MK yang memasukkan gaji guru ke dalam anggaran pendidikan yang tujuannya untuk mencapai angka 20 persen.
Pihaknya menyayangkan pengajuan permohonan tersebut justru dilakukan oleh seorang guru. Dia melihat, keputusan MK terkesan dibuat terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampaknya pada kemajuan dunia pendidikan. Keputusan MK membuktikan pada dasarnya memang tidak ada perhatian dan kemauan politik pemerintah terhadap perbaikan pendidikan secara keseluruhan. “Padahal, masih terdapat masalah mendasar seperti wajib belajar, putus sekolah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
Dikatakannya perumus Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memasukkan angka 20 persen di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan tentu mempunyai cara pandang lain dari cara Mahkamah Konstitusi sekarang yang menafsirkan. Dengan tidak dimasukkannya gaji guru sebetulnya bukan berarti gaji guru tidak diperhatikan.
Mestinya angka 20 persen anggaran pendidikan diprioritaskan hanya untuk kebutuhan operasional pendidikan di luar gaji guru seperti peningkatan sarana dan prasarana, operasional penyelenggaraan pendidikan di sekolah, operasional peningkatan prestasi siswa, biaya operasional penyediaan akses pendidikan bagi orang miskin, dan biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan sekolah dan anak didik bukan untuk gaji guru. Kalau gaji guru yang jumlahnya sudah mencapai 7 persen dari anggaran berarti anggaran untuk operasional pendidikan lainnya hanya 13 persen. “Persoalannya sekarang apakah dengan 13 persen anggaran pendidikan dalam APBN mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang sangat menumpuk,” tanya Ali.
Bayangkan saja, lanjutnya dengan anggaran pendidikan dalam APBN yang hanya 13 persen dipergunakan untuk biaya operasional pendidikan, perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas guru dan murid, penyediaan dana BOS dan beasiswa untuk murid, dan biaya lain seperti pembinaan potensi siswa. Semua pembiayaan tersebut membutuhkan dana yang besar. Saat ini saja dari data Depdiknas ada 50 persen bangunan sekolah SD dan MI seluruh Indonesia rusak parah. Sedangkan 18 persen lebih bangunan SMP dan MTs juga mengalami nasib yang sama. Pemerintah pusat pun hanya menyediakan dana tidak lebih dari 16 miliar. Sisanya ditanggung oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Sedangkan HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga seperti Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Jumlah anak putus sekolah anak masih sekitar 4,5 juta jiwa yang membuat rasio partisipasi pendidikan penduduk Indonesia baru sebesar 68,4 persen dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai SMP. Sekitar 75-80 persen atau 7-8 orang dari setiap 10 orang pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah. 60 persen atau 6 orang dari setiap 10 orang pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah.
Ada 20 ribuan sekolah dari SD hingga SMA dalam kondisi rusak berat. 535.825 dari 900.000 ruang kelas di sekolah seluruh pelosok terindikasi dalam kondisi rusak.
14,6 juta atau 12,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas didapati buta huruf. ””
“Tingkat kesejahteraan hidup dan kualitas guru yang masih kurang dan keputusan MK adalah cara cepat pemerintah untuk mencapai angka 20 persen anggaran pendidikan,“ katanya.
Kepala SMAN 3 Pontianak menilai 20 persen anggaran pendidikan tidak terlalu penting. Yang terpenting perhatian pemerintah pada dunia pendidikan harus dirasakan masyarakat. “Terserah pemerintah ingin bicara apa yang penting standar sarana prasarana sekolah untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan segera dilengkapi,” katanya.
Selama ini, program untuk dunia pendidikan selalu berubah-rubah dan semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Mestinya pemerintah dalam mengeluarkan program harus jelas siapa yang dijadikan sasaran dari program pendidikan yang dibuat. Apakah sasarannya siswa, guru atau sarana prasarana pendidikan. Kalau siswa, maka harus jelas programnya dengan melihat apa saja yang dibutuhkan siswa. Begitu juga dengan guru, mesti jelas apa saja program yang mesti dibuat untuk guru dengan melihat apa kebutuhan dari guru.
Rektor Untan, Chairil Effendi berpendapat kebutuhan pendidikan sangat besar, kalau gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan maka anggaran tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Padahal paradigma Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas yaitu daya saing bangsa sedangkan pilar yang menopang pendidikan nasional adalah perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dan pencitraan public. Dengan paradigma tersebut, Depdiknas ingin meningkatkan daya saing bangsa. Untuk itu proses pendidikan harus berkualitas dan membutuhkan dana yang besar agar pendidikan berkualitas. Begitu juga dengan perluasan akses pendidikan akan menyerap dana yang besar. Belum lagi untuk kebutuhan peningkatan prestasi akademik peserta didik seperti mengikuti olimpiade-olimpiade baik tingkat nasional dan internasional maka akan membutuhkan pembiayaan pembinaan dan semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau dana 20 persen sudah termasuk gaji guru maka gerak maju dunia pendidikan akan sangat lamban.■
Ingin Bentuk Jiwa Entrepreneurship Mahasiswa
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sistem pendidikan Perguruan Tinggi yang ada tidak menciptakan tenaga kerja siap pakai diakui oleh Rektor Untan, Chairil Effendi. Karena itu menurutnya pengembangan Soft Skill untuk menciptakan lulusan sarjana yang berjiwa entrepreneurship sangat diperlukan. Karena selama ini kurikulum perguruan tinggi terlalu konservatif. Akibatnya lulusan dari perguruan tinggi seperti sarjana kaca mata kuda. Artinya sarjana saat ini hanya menguasai satu disiplin ilmu saja dan tidak mampu untuk survive di masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja.
Kondisi ini didukung pula oleh minimnya kebijakan perguruan tinggi dalam mendorong peserta didiknya untuk lebih mengembangkan jiwa entrepreneurship. Pendidikan di perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan lulusan perguruan pekerja berkualifikasi akademis tinggi. “Padahal yang dibutuhkan adalah lulusan berjiwa entrepreneurship yang dengan penguasaan sains dan teknologinya berusaha secara mandiri dalam menyejahterakan diri dan masyarakatnya,” katanya.
Jiwa entrepreneurship yang lemah pada mahasiswa memerlukan sebuah penanganan strategis. Langkah-langkah strategis tersebut harus bersifat integritas. Artinya memuat seluruh aspek teoritis dan praktis. Dengan demikian, mahasiswa dapat belajar total mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk menjadi seorang entrepeneur. Mereka tidak lagi terbatas pada mengandalkan kesempatan yang datang kepada dirinya. Akan tetapi, menciptakan sendiri kesempatan untuk maju dan berkarya tersebut. Entrepreneurship bagi mahasiswa dimaksudkan untuk membangun jiwa kemandirian. Mahasiswa diarahkan untuk berkreasi merintis usaha sejak di bangku kuliah. Dalam proses perintisan tersebut tentunya ada proses belajar secara nyata. Berbagai pengalaman dalam mengelola inilah yang dibutuhkan nantinya setelah lulus dari kampus. Mereka akan lebih siap dalam menghadapi persaingan hidup, khususnya dalam bidang ekonomi. Tidak perlu lagi bergantung kepada panggilan lamaran dari perusahaan karena telah memiliki usaha yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sebagai awalan, usaha yang dilakukan mahasiswa mungkin saja berskala usaha kecil atau menengah. Akan tetapi, karena memiliki semangat entrepreneurship, keinginan maju dan jiwa inovasi yang tinggi, usaha tersebut dapat berubah skalanya menjadi usaha besar. Demikianlah siklus yang diharapkan. Muncul usaha-usaha berskala besar dari usaha kecil. Seiring dengan itu, usaha-usaha kecil dari kreativitas mahasiswa juga tumbuh. Jika ini terjadi, berarti penyerapan tenaga kerja baru. Berkurangnya pengangguran dapat berpengaruh terhadap ekonomi makro seperti peningkatan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentunya sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi yang mencanangkan usaha pencerdasan bangsa seiring dengan usaha memajukan kesejahteraan bangsa.
Karena itulah, prguruan tinggi mulai saat ini harus melakukan langkah untuk membudayakan semangat entrepreneurship kepada mahasiswa. Dan dalam waktu dekat, Untan akan mengadakan pertemuan antara universitas, pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan swasta untuk menghitung berapa sebenarnya kebutuhan tenaga kerja di Kalbar, kompetensi apa saja yang dibutuhkan, bidang-bidang apa saja yang diperlukan.”Semuanya akan dibicarakan satu meja sehingga nanti perguruan tinggi tidak hanya mengrekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan tidak bertanggung jawab terhadap lulusannya,“ ujarnya.
Penanaman jiwa entrepreneurship pada mahasiswa harus segera dilakukan di perguruan tinggi agar lulusan menyadari bahwa bekerja itu tidak hanya di sektor formal seperti pegawai negeri tapi sarjana harus mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan orang lain.
Usaha menanamkan, mendorong, dan menyadarkan mahasiswa untuk berwirausaha yang dilakukan perguruan tinggi bagi mahasiswanya dapat diimplementasikan ke dalam dua poin kongkret. Pertama, memasukkan mata kuliah entrepreneurship sebagai mata kuliah wajib di setiap program studi. Materi yang disampaikan terdiri dari 35% teori dan 65% praktik. Persentase ini disebabkan melatih seseorang menjadi entrepreneur tidak banyak memerlukan teori. Akan tetapi, harus divisualisasikan sebagai sarana pelatihan. Hal ini jauh lebih efektif karena pengujian apakah seorang berjiwa entrepreneur atau tidak, bukan dihadapkan dengan menyelesaikan sejumlah pertanyaan uraian.
Langkah lain, mendirikan lembaga pelatihan dan pembinaan entrepreneurship. Sesuai dengan namanya, tugas lembaga ini adalah memberikan pelatihan kepada mahasiswa yang tertarik membuka usaha. Supaya efektif, lembaga ini diisi dengan orang-orang yang memiliki kompetensi di tiap jurusan atau fakultas yang ada di perguruan tinggi tersebut. Selain itu, lembaga ini juga berperan sebagai unit konsultasi dalam membina unit-unit usaha dari mahasiswa yang telah ada. Peran lainnya adalah mencarikan jaringan yang sesuai dengan usaha, seperti jaringan modal, tokoh atau lainnya.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sistem pendidikan Perguruan Tinggi yang ada tidak menciptakan tenaga kerja siap pakai diakui oleh Rektor Untan, Chairil Effendi. Karena itu menurutnya pengembangan Soft Skill untuk menciptakan lulusan sarjana yang berjiwa entrepreneurship sangat diperlukan. Karena selama ini kurikulum perguruan tinggi terlalu konservatif. Akibatnya lulusan dari perguruan tinggi seperti sarjana kaca mata kuda. Artinya sarjana saat ini hanya menguasai satu disiplin ilmu saja dan tidak mampu untuk survive di masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja.
Kondisi ini didukung pula oleh minimnya kebijakan perguruan tinggi dalam mendorong peserta didiknya untuk lebih mengembangkan jiwa entrepreneurship. Pendidikan di perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan lulusan perguruan pekerja berkualifikasi akademis tinggi. “Padahal yang dibutuhkan adalah lulusan berjiwa entrepreneurship yang dengan penguasaan sains dan teknologinya berusaha secara mandiri dalam menyejahterakan diri dan masyarakatnya,” katanya.
Jiwa entrepreneurship yang lemah pada mahasiswa memerlukan sebuah penanganan strategis. Langkah-langkah strategis tersebut harus bersifat integritas. Artinya memuat seluruh aspek teoritis dan praktis. Dengan demikian, mahasiswa dapat belajar total mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk menjadi seorang entrepeneur. Mereka tidak lagi terbatas pada mengandalkan kesempatan yang datang kepada dirinya. Akan tetapi, menciptakan sendiri kesempatan untuk maju dan berkarya tersebut. Entrepreneurship bagi mahasiswa dimaksudkan untuk membangun jiwa kemandirian. Mahasiswa diarahkan untuk berkreasi merintis usaha sejak di bangku kuliah. Dalam proses perintisan tersebut tentunya ada proses belajar secara nyata. Berbagai pengalaman dalam mengelola inilah yang dibutuhkan nantinya setelah lulus dari kampus. Mereka akan lebih siap dalam menghadapi persaingan hidup, khususnya dalam bidang ekonomi. Tidak perlu lagi bergantung kepada panggilan lamaran dari perusahaan karena telah memiliki usaha yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sebagai awalan, usaha yang dilakukan mahasiswa mungkin saja berskala usaha kecil atau menengah. Akan tetapi, karena memiliki semangat entrepreneurship, keinginan maju dan jiwa inovasi yang tinggi, usaha tersebut dapat berubah skalanya menjadi usaha besar. Demikianlah siklus yang diharapkan. Muncul usaha-usaha berskala besar dari usaha kecil. Seiring dengan itu, usaha-usaha kecil dari kreativitas mahasiswa juga tumbuh. Jika ini terjadi, berarti penyerapan tenaga kerja baru. Berkurangnya pengangguran dapat berpengaruh terhadap ekonomi makro seperti peningkatan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentunya sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi yang mencanangkan usaha pencerdasan bangsa seiring dengan usaha memajukan kesejahteraan bangsa.
Karena itulah, prguruan tinggi mulai saat ini harus melakukan langkah untuk membudayakan semangat entrepreneurship kepada mahasiswa. Dan dalam waktu dekat, Untan akan mengadakan pertemuan antara universitas, pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan swasta untuk menghitung berapa sebenarnya kebutuhan tenaga kerja di Kalbar, kompetensi apa saja yang dibutuhkan, bidang-bidang apa saja yang diperlukan.”Semuanya akan dibicarakan satu meja sehingga nanti perguruan tinggi tidak hanya mengrekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan tidak bertanggung jawab terhadap lulusannya,“ ujarnya.
Penanaman jiwa entrepreneurship pada mahasiswa harus segera dilakukan di perguruan tinggi agar lulusan menyadari bahwa bekerja itu tidak hanya di sektor formal seperti pegawai negeri tapi sarjana harus mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan orang lain.
Usaha menanamkan, mendorong, dan menyadarkan mahasiswa untuk berwirausaha yang dilakukan perguruan tinggi bagi mahasiswanya dapat diimplementasikan ke dalam dua poin kongkret. Pertama, memasukkan mata kuliah entrepreneurship sebagai mata kuliah wajib di setiap program studi. Materi yang disampaikan terdiri dari 35% teori dan 65% praktik. Persentase ini disebabkan melatih seseorang menjadi entrepreneur tidak banyak memerlukan teori. Akan tetapi, harus divisualisasikan sebagai sarana pelatihan. Hal ini jauh lebih efektif karena pengujian apakah seorang berjiwa entrepreneur atau tidak, bukan dihadapkan dengan menyelesaikan sejumlah pertanyaan uraian.
Langkah lain, mendirikan lembaga pelatihan dan pembinaan entrepreneurship. Sesuai dengan namanya, tugas lembaga ini adalah memberikan pelatihan kepada mahasiswa yang tertarik membuka usaha. Supaya efektif, lembaga ini diisi dengan orang-orang yang memiliki kompetensi di tiap jurusan atau fakultas yang ada di perguruan tinggi tersebut. Selain itu, lembaga ini juga berperan sebagai unit konsultasi dalam membina unit-unit usaha dari mahasiswa yang telah ada. Peran lainnya adalah mencarikan jaringan yang sesuai dengan usaha, seperti jaringan modal, tokoh atau lainnya.
*Pengembangan Soft Skill
Ciptakan Sarjana Ekonomi Berjiwa Entrepreneurship
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Saat ini semua perusahaan menginginkan agar setiap saat memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dalam arti memenuhi persyaratan kompetensi untuk didayagunakan dalam usaha merealisasikan visi, misi, strategi mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang perusahaan tersebut. Tapi sayangnya sistem pendidikan Perguruan Tinggi yang ada, tidak menciptakan tenaga kerja siap pakai dan memang tidak ada tenaga kerja dari suatu lembaga pendidikan umum yang seratus persen siap pakai.
Demikian dikatakan Direktur Utama PT Bank Kalbar, Jamaluddin Malik, Rabu ( 20/2) di rektorat lantai III Untan dalam acara seminar nasional pengembangan Soft Skill untuk menciptakan lulusan sarjana ekonomi yang berjiwa entrepreneurship.
“Sebagai lembaga perbankan kami mengaharapkan agar perguruan tinggi dapat menyiapkan tenaga kerja dalam bidang keuangan dan perbankan,” katanya.
Persiapan yang mesti dilakukan perguruan tinggi hendaknya merancang kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang dapat menghasilkan lulusan sarjana professional dan memiliki kompetensi kerja yang tinggi di bidang keuangan dan perbankan, kurikulum agar didesain berbasis kompetensi melalui pendekatan pengajaran metode active learning, tenaga pengajar hendaknya perpaduan dari akademisi dan praktisi bidang keuangan dan perbankan, materi pembelajaran harus dekat dengan dunia praktik.
Perguruan tinggi haruslah memberikan ilmu pengetahuan, membentuk sikap dan karakter seorang professional di bidang keuangan dan perbankan. Metode pendidikan yang diterapkan mesti mengedepankan pengetahuan, keahlian, integritas tinggi terhadap dunia keuangan dan perbankan sehingga mampu bersinergi dengan praktek kerja dalam profesi keuangan dan perbankan. Pengembangan kemampuan akademis mahasiswa, pembinaan keterampilan professional, kepribadian memperkenalkan budaya bekerja keras dalam proses pembelajaran, memiliki penalaran dan kreativitas dalam menghadapi dunia nayata bidang keuangan dan perbankan.
Lulusan perguruan tinggi juga harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kedua dengan menguasai bahasa Inggris secara efektif dengan standar TOEFL di atas 500.
“Yang terpenting perguruan tinggi dapat memberikan pemahaman dan menyiapkan kemampuan mahasiswa dalam bidang EQ dan SQ sehingga setelah mahasiswa terjun di masyarakat dapat bekerja dengan dasar nilai-nilai spiritual,” ujarnya.
Kebanyakan perusahaan, katanya mulai mengembangkan sumber daya manusia dalam organisasinya sejak dari proses rekrutmen. Ini dilakukan karena belum ada perguruan tinggi yang menyiapkan lulusan yang benar-benar siap pakai dalam arti menguasai seluruh kompetensi yang disyaratkan perusahaan. Dari hasil rekrutmen para peserta tidak langsung diterjunkan sebagai karyawan, tapi harus mengikuti program training officer development program (ODP) yang dilakukan selama satu tahun dengan pembagian waktu kegiatan class room selama 3 bulan, on the job training di lapangan selama 4 bulan dan on service training selama 4 bulan diakhiri masa membuat laporan akhir tahun serta ujian makalah selama 1 tahun.
“Kegiatan ODP ini dimaksudkan agar para peserta memahami dengan baik visi, misi, nilai-nilai, budaya kerja, tugas pokok organisasi sehingga terbentuk kompetensi, integritas, rasa memiliki perusahaan dan membentuk profesionalisme di bidang perbankan seperti yang kami inginkan,” jelas Jamaluddin.
Direktur SDM dan Umum PT. Perkebunan Nusantara XIII Persero, Wagio Ripto Sumarto yang juga sebagai pembicara dalam seminar nasional ini mengatakan lulusan S1 seharusnya memiliki tindakan kreatif, penemu ide, haus informasi, berpikir kritis, berpikir menyeluruh dan berpengetahuan. Selain itu lulusan S1 harus menjadi komunikator yang efektif, pengambil resiko, pekerja keras, bersikap integritas yang mengedepankan sikap jujur, dapat dipercaya, percaya diri, disiplin, tanggung jawab, perhatian, cinta, toleransi dan fleksibel.
Trend pendidikan abad 21 di Jepang, katanya pendidikan untuk hati dan jiwa dan pendidikan terintegrasi. Sedangkan di Korea pendidikannya mengembangkan kreativitas menjadi prioritas utama seperti hidup bijaksana, hidup disiplin, hidup layak, hidup cerdas, hidup bahagia, hidup memuaskan. Di Kanada pendidikan dikembangkan untuk membangun manusia secara keseluruhan, estetika dan kesenian, aspek emosi dan sosial, aspek intelektual, aspek fisik dan kesehatan, aspek tanggung jawab sosial.
”Tren pendidikan abad 21 di Singapore, pendidikan menyeluruh yang membangun moral anak, intelektual, fisik, sosial dan estetika, spirit intelektual dan emosional,“ katanya.
Ketua Panitia Seminar Nasional Pengembangan Soft Skill Untuk Menciptakan Lulusan Sarjana Ekonomi Yang Berjiwa Entrepreneurship, Irfani Hendri mengatakan seminar nasional ini adalah bagian dari acara Seminar dan Rapat Tahunan (Semirata) yang diikuti peserta yang berasal dari 16 PTN. Ada dua agenda pokok yang dibahas dalam acara Semirata ini yaitu seminar nasional dan rapat kerja tahunan.
Ciptakan Sarjana Ekonomi Berjiwa Entrepreneurship
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Saat ini semua perusahaan menginginkan agar setiap saat memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dalam arti memenuhi persyaratan kompetensi untuk didayagunakan dalam usaha merealisasikan visi, misi, strategi mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang perusahaan tersebut. Tapi sayangnya sistem pendidikan Perguruan Tinggi yang ada, tidak menciptakan tenaga kerja siap pakai dan memang tidak ada tenaga kerja dari suatu lembaga pendidikan umum yang seratus persen siap pakai.
Demikian dikatakan Direktur Utama PT Bank Kalbar, Jamaluddin Malik, Rabu ( 20/2) di rektorat lantai III Untan dalam acara seminar nasional pengembangan Soft Skill untuk menciptakan lulusan sarjana ekonomi yang berjiwa entrepreneurship.
“Sebagai lembaga perbankan kami mengaharapkan agar perguruan tinggi dapat menyiapkan tenaga kerja dalam bidang keuangan dan perbankan,” katanya.
Persiapan yang mesti dilakukan perguruan tinggi hendaknya merancang kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang dapat menghasilkan lulusan sarjana professional dan memiliki kompetensi kerja yang tinggi di bidang keuangan dan perbankan, kurikulum agar didesain berbasis kompetensi melalui pendekatan pengajaran metode active learning, tenaga pengajar hendaknya perpaduan dari akademisi dan praktisi bidang keuangan dan perbankan, materi pembelajaran harus dekat dengan dunia praktik.
Perguruan tinggi haruslah memberikan ilmu pengetahuan, membentuk sikap dan karakter seorang professional di bidang keuangan dan perbankan. Metode pendidikan yang diterapkan mesti mengedepankan pengetahuan, keahlian, integritas tinggi terhadap dunia keuangan dan perbankan sehingga mampu bersinergi dengan praktek kerja dalam profesi keuangan dan perbankan. Pengembangan kemampuan akademis mahasiswa, pembinaan keterampilan professional, kepribadian memperkenalkan budaya bekerja keras dalam proses pembelajaran, memiliki penalaran dan kreativitas dalam menghadapi dunia nayata bidang keuangan dan perbankan.
Lulusan perguruan tinggi juga harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kedua dengan menguasai bahasa Inggris secara efektif dengan standar TOEFL di atas 500.
“Yang terpenting perguruan tinggi dapat memberikan pemahaman dan menyiapkan kemampuan mahasiswa dalam bidang EQ dan SQ sehingga setelah mahasiswa terjun di masyarakat dapat bekerja dengan dasar nilai-nilai spiritual,” ujarnya.
Kebanyakan perusahaan, katanya mulai mengembangkan sumber daya manusia dalam organisasinya sejak dari proses rekrutmen. Ini dilakukan karena belum ada perguruan tinggi yang menyiapkan lulusan yang benar-benar siap pakai dalam arti menguasai seluruh kompetensi yang disyaratkan perusahaan. Dari hasil rekrutmen para peserta tidak langsung diterjunkan sebagai karyawan, tapi harus mengikuti program training officer development program (ODP) yang dilakukan selama satu tahun dengan pembagian waktu kegiatan class room selama 3 bulan, on the job training di lapangan selama 4 bulan dan on service training selama 4 bulan diakhiri masa membuat laporan akhir tahun serta ujian makalah selama 1 tahun.
“Kegiatan ODP ini dimaksudkan agar para peserta memahami dengan baik visi, misi, nilai-nilai, budaya kerja, tugas pokok organisasi sehingga terbentuk kompetensi, integritas, rasa memiliki perusahaan dan membentuk profesionalisme di bidang perbankan seperti yang kami inginkan,” jelas Jamaluddin.
Direktur SDM dan Umum PT. Perkebunan Nusantara XIII Persero, Wagio Ripto Sumarto yang juga sebagai pembicara dalam seminar nasional ini mengatakan lulusan S1 seharusnya memiliki tindakan kreatif, penemu ide, haus informasi, berpikir kritis, berpikir menyeluruh dan berpengetahuan. Selain itu lulusan S1 harus menjadi komunikator yang efektif, pengambil resiko, pekerja keras, bersikap integritas yang mengedepankan sikap jujur, dapat dipercaya, percaya diri, disiplin, tanggung jawab, perhatian, cinta, toleransi dan fleksibel.
Trend pendidikan abad 21 di Jepang, katanya pendidikan untuk hati dan jiwa dan pendidikan terintegrasi. Sedangkan di Korea pendidikannya mengembangkan kreativitas menjadi prioritas utama seperti hidup bijaksana, hidup disiplin, hidup layak, hidup cerdas, hidup bahagia, hidup memuaskan. Di Kanada pendidikan dikembangkan untuk membangun manusia secara keseluruhan, estetika dan kesenian, aspek emosi dan sosial, aspek intelektual, aspek fisik dan kesehatan, aspek tanggung jawab sosial.
”Tren pendidikan abad 21 di Singapore, pendidikan menyeluruh yang membangun moral anak, intelektual, fisik, sosial dan estetika, spirit intelektual dan emosional,“ katanya.
Ketua Panitia Seminar Nasional Pengembangan Soft Skill Untuk Menciptakan Lulusan Sarjana Ekonomi Yang Berjiwa Entrepreneurship, Irfani Hendri mengatakan seminar nasional ini adalah bagian dari acara Seminar dan Rapat Tahunan (Semirata) yang diikuti peserta yang berasal dari 16 PTN. Ada dua agenda pokok yang dibahas dalam acara Semirata ini yaitu seminar nasional dan rapat kerja tahunan.
Pemerintah Tidak Paham Anggaran Pendidikan 20 Persen
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua Divisi Advokasi Jaringan Independen Masyarakat Sipil Untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembanguan (JARI) Indonesia Orwil Borneo Barat, Indra Aminullah mengatakan keputusan yang dibuat MK merupakan kesalahan dalam menerjemahkan pendekatan anggaran pendidikan 20%. Substansi yang sebenarnya ingin dimunculkan dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 terkait pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN/APBD ialah mendorong program pemenuhan hak dasar pendidikan warga negara agar semakin cepat terpenuhi.
”Saya katakan”semakin cepat terpenuhi” dikarenakan anggaran 20 persen sebenarnya belum tentu menjamin kebutuhan pendidikan warga negara terpenuhi. Sebagai contoh dalam Riset JARI mengenai kebijakan anggaran di kabupaten Pontianak 2007. Pemerintah Kabupaten Pontianak mengalokasikan anggaran pendidikan sejumlah 34% dari total APBD. Akan tetapi tingginya kebijakan anggaran tersebut dijawab dengan masih ditemukannya anak usia sekolah yang tidak sanggup melanjutkan sekolah dikarenakan tidak mampu membayar biaya sekolah, kebutuhan buku tulis, seragam dan akses terhadap bangunan gedung pendidikan yang jauh serta bangunan yang tidak layak sebagai tempat belajar,“ ungkapnya.
Sebagai contoh lain, Di kabupaten Buleleng, Bali misalnya. Pemerintah setempat mengalokasikan anggaran 43 persen anggaran APBDnya, ternyata hampir sama kasusnya seperti yang ditemukan di Kabupaten Pontianak yaitu masih seputar itu-itu saja kasusnya.
Ini membuktikan realitas kebijakan anggaran pendidikan 20 persen selama ini, ternyata masih ditemukan ambigu dalam penerjemahannya oleh pemerintah. Pertama, pemerintah masih menganggap anggaran pendidikan 20 persen bukan prioritas dan tidak harus dipenuhi secara cepat seperti yang dimandatkan dalam UU sisdiknas. Buktinya, hampir seluruh APBD kabupaten/kota bahkan APBN tidak mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen, padahal UU Sisdiknas ditetapkan pada tahun 2003. Kedua, adanya klaim pemerintah di beberapa kota/kabupaten yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan di daerahnya sudah melewati target seperti yang dimandatkan dalam UU. Padahal prosentase tersebut sudah termasuk di dalamnya anggaran untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan.. Otomatis sudah jauh dari koridor yang sebenarnya dalam UU sisdiknas bahwa angaran pendidikan 20%, tidak termasuk didalamya alokasi untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan. Pemerintah lupa, fakta telah membuktikan klaim anggaran tersebut ternyata tidak menuntaskan masalah dasar pendidikan. Ketiga, Masih ada paradigma lama yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan 20% diluar gaji guru dan pendidikan kedinasan menganggap guru bukan bagian dari komponen pendidikan. Padahal, semangat yang dibangun bukan mendorong disparitas antara guru dan pendidikan tetapi ingin memperlakukan guru secara khusus dalam anggaran dan tidak dicampurkan ke dalam operasional pendidikan.
“Artinya gaji guru diberikan tempat terhormat dalam kebijakan alokasi anggaran,“ jelasnya.
Keputusan MK secara pragmatis, sebenarnya membantu pemerintah yang tidak mau mengalokasikan anggaran 20 persen dan mengabaikan warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pada posisi ini, dalam perspektif hukum maka MK berada pada posisi yang tepat tapi dalam perspektif HAM maka MK melakukan kesalahan yang fatal. Apalagi pemerintah SBY dalam penyusunan RPJP telah mengadopsi istilah pendekatan ”right based approach” yaitu pemenuhan hak dasar. Hal ini menjadi sinyalemen bahwa pemenuhan hak harus menjadi paradigma dalam kebijakan anggaran.
”Pendekatan berbasis hak dalam perencanaan-penganggaran ditujukan agar kelembagaan, proses dan kebijakan yang dihasilkan didasarkan secara eksplisit pada kerangka norma dan nilai hukum hak asasi manusia,“ jelasnya.
Kerangka norma dan nilai tersebut, kata Indra sangat potensial dalam mendukung pemberdayaan masyarakat. Di sini dijelaskan bahwa fokus dari pendekatan berbasis hak secara esensial adalah pemberdayaan.
Proses pemberdayaan masyarakat sangat penting pada upaya pemahaman dan pengakuan atas hak. Keberadaan hak dalam konteks pembuatan kebijakan termasuk perencanaan-penganggaran bukan didasarkan pada fakta tentang perlunya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, tapi lebih didasarkan pada fakta akan pemilikan hak dari si miskin. Dimana pengakuan atas keberadaan hak itu akan mengembangkan kewajiban hukum di pihak lain. Di sini, program dan kegiatan pemerintah tidak lagi dipahami sebagai tindakan teknokratis, kedermawanan dan lebih dari sekedar kewajiban moral. Kebijakan perencanaan-penganggaran merupakan kewajiban hukum dari negara, terutama pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga. ”Konteks pemahamannya di sini adalah keberadaan pengakuan hukum atas hak warga di satu sisi, dan kewajiban hukum di pihak lain merupakan perihal penting dari upaya pemberdayaan warga miskin,“ pungkasnya.■
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua Divisi Advokasi Jaringan Independen Masyarakat Sipil Untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembanguan (JARI) Indonesia Orwil Borneo Barat, Indra Aminullah mengatakan keputusan yang dibuat MK merupakan kesalahan dalam menerjemahkan pendekatan anggaran pendidikan 20%. Substansi yang sebenarnya ingin dimunculkan dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 terkait pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN/APBD ialah mendorong program pemenuhan hak dasar pendidikan warga negara agar semakin cepat terpenuhi.
”Saya katakan”semakin cepat terpenuhi” dikarenakan anggaran 20 persen sebenarnya belum tentu menjamin kebutuhan pendidikan warga negara terpenuhi. Sebagai contoh dalam Riset JARI mengenai kebijakan anggaran di kabupaten Pontianak 2007. Pemerintah Kabupaten Pontianak mengalokasikan anggaran pendidikan sejumlah 34% dari total APBD. Akan tetapi tingginya kebijakan anggaran tersebut dijawab dengan masih ditemukannya anak usia sekolah yang tidak sanggup melanjutkan sekolah dikarenakan tidak mampu membayar biaya sekolah, kebutuhan buku tulis, seragam dan akses terhadap bangunan gedung pendidikan yang jauh serta bangunan yang tidak layak sebagai tempat belajar,“ ungkapnya.
Sebagai contoh lain, Di kabupaten Buleleng, Bali misalnya. Pemerintah setempat mengalokasikan anggaran 43 persen anggaran APBDnya, ternyata hampir sama kasusnya seperti yang ditemukan di Kabupaten Pontianak yaitu masih seputar itu-itu saja kasusnya.
Ini membuktikan realitas kebijakan anggaran pendidikan 20 persen selama ini, ternyata masih ditemukan ambigu dalam penerjemahannya oleh pemerintah. Pertama, pemerintah masih menganggap anggaran pendidikan 20 persen bukan prioritas dan tidak harus dipenuhi secara cepat seperti yang dimandatkan dalam UU sisdiknas. Buktinya, hampir seluruh APBD kabupaten/kota bahkan APBN tidak mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen, padahal UU Sisdiknas ditetapkan pada tahun 2003. Kedua, adanya klaim pemerintah di beberapa kota/kabupaten yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan di daerahnya sudah melewati target seperti yang dimandatkan dalam UU. Padahal prosentase tersebut sudah termasuk di dalamnya anggaran untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan.. Otomatis sudah jauh dari koridor yang sebenarnya dalam UU sisdiknas bahwa angaran pendidikan 20%, tidak termasuk didalamya alokasi untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan. Pemerintah lupa, fakta telah membuktikan klaim anggaran tersebut ternyata tidak menuntaskan masalah dasar pendidikan. Ketiga, Masih ada paradigma lama yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan 20% diluar gaji guru dan pendidikan kedinasan menganggap guru bukan bagian dari komponen pendidikan. Padahal, semangat yang dibangun bukan mendorong disparitas antara guru dan pendidikan tetapi ingin memperlakukan guru secara khusus dalam anggaran dan tidak dicampurkan ke dalam operasional pendidikan.
“Artinya gaji guru diberikan tempat terhormat dalam kebijakan alokasi anggaran,“ jelasnya.
Keputusan MK secara pragmatis, sebenarnya membantu pemerintah yang tidak mau mengalokasikan anggaran 20 persen dan mengabaikan warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pada posisi ini, dalam perspektif hukum maka MK berada pada posisi yang tepat tapi dalam perspektif HAM maka MK melakukan kesalahan yang fatal. Apalagi pemerintah SBY dalam penyusunan RPJP telah mengadopsi istilah pendekatan ”right based approach” yaitu pemenuhan hak dasar. Hal ini menjadi sinyalemen bahwa pemenuhan hak harus menjadi paradigma dalam kebijakan anggaran.
”Pendekatan berbasis hak dalam perencanaan-penganggaran ditujukan agar kelembagaan, proses dan kebijakan yang dihasilkan didasarkan secara eksplisit pada kerangka norma dan nilai hukum hak asasi manusia,“ jelasnya.
Kerangka norma dan nilai tersebut, kata Indra sangat potensial dalam mendukung pemberdayaan masyarakat. Di sini dijelaskan bahwa fokus dari pendekatan berbasis hak secara esensial adalah pemberdayaan.
Proses pemberdayaan masyarakat sangat penting pada upaya pemahaman dan pengakuan atas hak. Keberadaan hak dalam konteks pembuatan kebijakan termasuk perencanaan-penganggaran bukan didasarkan pada fakta tentang perlunya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, tapi lebih didasarkan pada fakta akan pemilikan hak dari si miskin. Dimana pengakuan atas keberadaan hak itu akan mengembangkan kewajiban hukum di pihak lain. Di sini, program dan kegiatan pemerintah tidak lagi dipahami sebagai tindakan teknokratis, kedermawanan dan lebih dari sekedar kewajiban moral. Kebijakan perencanaan-penganggaran merupakan kewajiban hukum dari negara, terutama pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga. ”Konteks pemahamannya di sini adalah keberadaan pengakuan hukum atas hak warga di satu sisi, dan kewajiban hukum di pihak lain merupakan perihal penting dari upaya pemberdayaan warga miskin,“ pungkasnya.■
Keputusan MK Beban Baru Pemerintah Pada Dunia Pendidikan
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Konsekuensi dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasukkan gaji guru dalam anggaran pendidikan 20 persen dari APBN adalah pemerintah punya tanggungjawab penuh pada kesejahteraan guru baik PNS maupun non PNS. Demikian tanggapan Ketua Perhimpunan Guru Untuk Reformasi Pendidikan (Pergerakan) Kalbar, Abriyandi, Sabtu (23/2) diruang kerja.
Abriyandi mengatakan secara kelembagaan, Pergerakan Kalbar akan mendorong keputusan MK agar dilaksanakan pemerintah. Karena dengan keputusan MK tersebut, berarti pemerintah harus membiayai gaji tenaga pendidik baik PNS maupun non PNS. Jadi pemerintah harus membiayai seluruh tenaga pendidik. “Tidak boleh lagi pemerintah menelantarkan guru swasta seperti honorer, ingat itu,” katanya.
Kalau selama ini, gaji guru tidak dimasukkan ke dalam komponen anggaran pendidikan itu berarti pemerintah tidak perlu terlalu serius untuk membiayai tenaga pendidik. Tapi dengan adanya keputusan MK ini ada beban besar pemerintah untuk membiayai tenaga pendidik baik PNS maupun non PNS yang memiliki hak setara. Dimasukkannya gaji guru dalam anggaran APBN berarti guru bukan lagi pegawai pendidikan seperti pegawai pada umumnya tapi sudah menjadi pegawai profesional yang harus ditingkatkan kualitas dan kesejahteraannya.
“Kita akan dorong habis-habisan keputusan MK ini. Sebab sudah jelas dengan keputusan ini guru-guru non PNS masuk dalam kebijakan ini dan mempunyai hak yang sama untuk ditingkatkan kualitas dan kesejahteraannya,” ungkapnya.
Meningkatnya kualitas dan kesejahteraan guru akan berimplikasi pada kualitas pendidikan sehingga hak anak atau masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dapat dipenuhi. Point yang terpenting kualitas dan kesejahteraan guru swasta dapat diakomodir sehingga pemerintah juga harus memikirkan nasib guru-guru swasta.
Persoalan bahwa gaji guru dimasukkan pada anggaran 20 persen, makapemerintah akan lebih mudah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen. Yang sebelumnya baru mencapai 11 persen menjadi 18 persen bukanlah suatu hal yang substansi. Sejak dahulu, Abriyandi tidak sepakat dengan orientasi anggaran pendidikan 20 persen. Karena memang persoalannya bukan di berapa persen besar anggaran tapi tepat atau tidaknya sasaran dari anggaran pendidikan tersebut. Selama ini anggaran tiap tahun meningkat tapi program selalu sama dari tahun ke tahun atau copy paste dan persoalan pendidikan tidak pernah berubah.
”Kesimpulannya sederhana ketika input meningkat tapi autput nya tidak berubah berarti ada yang salah pada prosesnya,“ ujarnya.
Contoh anggaran 2007 mesti belum sampai 20 persen tapi sudah cukup besar ternyata perubahan tidak terjadi. Yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia terutama lembaga pemerintah seperti Dinas Pendidikan dan sekolah adalah uang menumpuk program tidak ada dan bingung anggaran yang besar tersebut untuk apa. Akhirnya banyak anggaran pendidikan yang menguap entah ke mana. Artinya kalau pun anggaran 20 persen tidak menjamin dapat menjawab persoalan pendidikan. Bicara peningkatan kualitas guru tapi praktiknya pelatihan 6 hari untuk meningkatkan kualitas guru dibuat jadi 3 hari.
Contoh lain peningkatan sarana prasarana seperti perehaban sekolah, baru direhab 3 bulan kemudian sudah rusak lagi.
“Yang penting saat ini dan tidak pernah ada yaitu perubahan sikap mental mulai dari pejabat tingkat atas sampai pelaksana kebawah,” paparnya.
Berbeda dengan Abriyandi, Ketua Komisi D DPRD Kalbar, Anwar menilai keputusan MK adalah langkah mundur pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan. Dalam UU Sisdiknas dijelaskan bahwa anggaran pendidikan yang dicapai 20 persen APBN adalah di luar gaji guru. Jika MK memasukkan gaji guru dimasukkan dalam APBN, sama saja memudahkan pemerintah mencapai target 20 persen yang juga tertuang dalam UUD 45. Anggaran 20 persen termasuk gaji guru jika dikakulasikan berarti untuk operasional sangat kecil sekali.
”Bayangkan kalau gaji guru yang besarnya hampir 7 persen masuk dalam 20 persen APBN berarti untuk biaya operasional pendidikan hanya 13 persen. Itupun jika anggaran pendidikan 20 persen tapi kalau belum mencapai 20 persen berarti sangat kecil sekali anggaran pendidikan,“ ungkapnya. Seluruh guru baik yang tergabung dalam PGRI maupun keorganisasian guru lainnya perlu mengajukan kasasi terhadap keputusan MK. Anwar juga mengimbau seluruh DPRD kabupaten dan kota di Kalbar untuk menolak keputusan MK. Jika perlu UU Sisdiknas diamademen atau direvisi.■
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Konsekuensi dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasukkan gaji guru dalam anggaran pendidikan 20 persen dari APBN adalah pemerintah punya tanggungjawab penuh pada kesejahteraan guru baik PNS maupun non PNS. Demikian tanggapan Ketua Perhimpunan Guru Untuk Reformasi Pendidikan (Pergerakan) Kalbar, Abriyandi, Sabtu (23/2) diruang kerja.
Abriyandi mengatakan secara kelembagaan, Pergerakan Kalbar akan mendorong keputusan MK agar dilaksanakan pemerintah. Karena dengan keputusan MK tersebut, berarti pemerintah harus membiayai gaji tenaga pendidik baik PNS maupun non PNS. Jadi pemerintah harus membiayai seluruh tenaga pendidik. “Tidak boleh lagi pemerintah menelantarkan guru swasta seperti honorer, ingat itu,” katanya.
Kalau selama ini, gaji guru tidak dimasukkan ke dalam komponen anggaran pendidikan itu berarti pemerintah tidak perlu terlalu serius untuk membiayai tenaga pendidik. Tapi dengan adanya keputusan MK ini ada beban besar pemerintah untuk membiayai tenaga pendidik baik PNS maupun non PNS yang memiliki hak setara. Dimasukkannya gaji guru dalam anggaran APBN berarti guru bukan lagi pegawai pendidikan seperti pegawai pada umumnya tapi sudah menjadi pegawai profesional yang harus ditingkatkan kualitas dan kesejahteraannya.
“Kita akan dorong habis-habisan keputusan MK ini. Sebab sudah jelas dengan keputusan ini guru-guru non PNS masuk dalam kebijakan ini dan mempunyai hak yang sama untuk ditingkatkan kualitas dan kesejahteraannya,” ungkapnya.
Meningkatnya kualitas dan kesejahteraan guru akan berimplikasi pada kualitas pendidikan sehingga hak anak atau masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dapat dipenuhi. Point yang terpenting kualitas dan kesejahteraan guru swasta dapat diakomodir sehingga pemerintah juga harus memikirkan nasib guru-guru swasta.
Persoalan bahwa gaji guru dimasukkan pada anggaran 20 persen, makapemerintah akan lebih mudah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen. Yang sebelumnya baru mencapai 11 persen menjadi 18 persen bukanlah suatu hal yang substansi. Sejak dahulu, Abriyandi tidak sepakat dengan orientasi anggaran pendidikan 20 persen. Karena memang persoalannya bukan di berapa persen besar anggaran tapi tepat atau tidaknya sasaran dari anggaran pendidikan tersebut. Selama ini anggaran tiap tahun meningkat tapi program selalu sama dari tahun ke tahun atau copy paste dan persoalan pendidikan tidak pernah berubah.
”Kesimpulannya sederhana ketika input meningkat tapi autput nya tidak berubah berarti ada yang salah pada prosesnya,“ ujarnya.
Contoh anggaran 2007 mesti belum sampai 20 persen tapi sudah cukup besar ternyata perubahan tidak terjadi. Yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia terutama lembaga pemerintah seperti Dinas Pendidikan dan sekolah adalah uang menumpuk program tidak ada dan bingung anggaran yang besar tersebut untuk apa. Akhirnya banyak anggaran pendidikan yang menguap entah ke mana. Artinya kalau pun anggaran 20 persen tidak menjamin dapat menjawab persoalan pendidikan. Bicara peningkatan kualitas guru tapi praktiknya pelatihan 6 hari untuk meningkatkan kualitas guru dibuat jadi 3 hari.
Contoh lain peningkatan sarana prasarana seperti perehaban sekolah, baru direhab 3 bulan kemudian sudah rusak lagi.
“Yang penting saat ini dan tidak pernah ada yaitu perubahan sikap mental mulai dari pejabat tingkat atas sampai pelaksana kebawah,” paparnya.
Berbeda dengan Abriyandi, Ketua Komisi D DPRD Kalbar, Anwar menilai keputusan MK adalah langkah mundur pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan. Dalam UU Sisdiknas dijelaskan bahwa anggaran pendidikan yang dicapai 20 persen APBN adalah di luar gaji guru. Jika MK memasukkan gaji guru dimasukkan dalam APBN, sama saja memudahkan pemerintah mencapai target 20 persen yang juga tertuang dalam UUD 45. Anggaran 20 persen termasuk gaji guru jika dikakulasikan berarti untuk operasional sangat kecil sekali.
”Bayangkan kalau gaji guru yang besarnya hampir 7 persen masuk dalam 20 persen APBN berarti untuk biaya operasional pendidikan hanya 13 persen. Itupun jika anggaran pendidikan 20 persen tapi kalau belum mencapai 20 persen berarti sangat kecil sekali anggaran pendidikan,“ ungkapnya. Seluruh guru baik yang tergabung dalam PGRI maupun keorganisasian guru lainnya perlu mengajukan kasasi terhadap keputusan MK. Anwar juga mengimbau seluruh DPRD kabupaten dan kota di Kalbar untuk menolak keputusan MK. Jika perlu UU Sisdiknas diamademen atau direvisi.■
Senin, 18 Februari 2008
Gonta-ganti Kurikulum, Buku Pelajaran Minim
*Murid dan Guru Bingung
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Minimnya jumlah buku SMK terutama beberapa mata pelajaran tertentu sudah terjadi sejak pergantian dari Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di pasar pun tidak tersedianya. Termasuk buku-buku seperti buku negosiasi, menata produk, mesin-mesin bisnis dan komunikasi bisnis untuk jurusan penjualan di SMK dari pemerintah menyebabkan guru dan siswa SMK akhir-akhir ini kesulitan dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Ketua Jurusan Penjualan SMKN 3 Pontianak, Dayang Haryani, Sabtu (16/2) mengatakan selama ini guru mata pelajaran hanya menggunakan buku kurikulum suplemen 1999 yang hanya dalam bentuk buku paket pegangan guru sedangkan untuk murid tidak ada. Selain itu buku-buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang seharusnya dapat digunakan siswa untuk latihan pengerjaan soal juga tidak ada.
“Kita sudah coba menghubungi beberapa penerbitan melalui koperasi sekolah tapi memang beberapa penerbitan tersebut tidak menerbitkan buku-buku yang kita perlukan,” katanya.
Yang paling menyulitkan dari tidak tersedianya buku-buku mata pelajaran untuk siswa, ujarnya proses belajar mengajar menjadi monoton karena guru harus mendiktekan murid untuk mencatat materi pelajaran dan sangat memperlambat target pencapaian kurikulum yang telah ditentukan.
Kepala SMKN 3 Pontianak, H.A.Rahman Har mengakui minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran untuk SMK. Sebenarnya sering juga penerbit dating ke sekolah untuk menawarkan buku mata pelajaran tapi sering tidak sesuai dengan kurikulum dan siswa sering mengeluhkan harganya yang mahal sehingga siswa tidak mampu untuk membeli.
Abriyandi, Guru SMKN 3 Pontianak yang juga pakar pendidikan Kalbar mengatakan Buku pelajaran merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sebab tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam kurikulum diimplementasikan
Di dalamnya yang kemudian dijadikan panduan bagi guru dan siswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di dalam kelas.
Ada empat fungsi buku pelajaran bagi murid Pertama, sebagai sarana kepastian apa yang dipelajari; Kedua, sebagai alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh ia telah menguasai bahan pembelajaran yang menjadi sarana mencapai kompetensi dasar. Ketiga, sebagai alat belajar untuk menemukan petunjuk, teori, ataupun konsep, dan evaluasi. Keempat, sebagai alat yang memudahkan proses belajar, mendalami bahan, dan mengerjakan pelatihan-pelatihan.
Sedangkan untuk para guru, buku pelajaran berfungsi; pertama, sebagai pedoman
mengidentifikasi apa yang harus dipelajari oleh siswa saat ingin mencapai kompetensi
dasar. Kedua, mengetahui urutan penyajian bahan pembelajaran. Ketiga, mengetahui
teknik, metode, dan pendekatan sekaligus untuk menjalankan proses pembelajaran.
Keempat, memperoleh bahan pembelajaran yang lebih mudah. Kelima, memudahkan
memberikan tugas-tugas pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas, atau di rumah.
Keenam, mengefisienkan proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya buku pelajaran, pemerintah melalui Kepmen 053/U/2001 tentang
standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang dasar dan menengah
mewajibkan sekolah memiliki buku pelajaran pokok dan ditunjang oleh buku pelajaran
pelengkap, buku bacaan, serta buku referensi seperti kamus. Pada tingkat Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekolah diharuskan menyediakan sekurang kurangnya satu buku di tiap-tiap pelajaran pokok untuk setiap siswa.
Artinya, pada tingkat pendidikan dasar, pemerintah memiliki kewajiban untuk
menyediakan buku pelajaran bagi setiap peserta didik. Bahkan disediakan juga buku- buku pendukung lainnya misalnya dalam perpustakaan sekolah sehingga pengetahuan
peserta didik akan semakin kaya.
“Akan tetapi kenyataannya pemerintah tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan
baik. Buku pelajaran justru menjadi masalah bagi sebagian besar orang tua siswa di
Indonesia. Selain masa pakainya singkat, harga buku pelajaran tergolong mahal,” ujarnya.
Dikatakannya walaupun beberapa sekolah menerima buku dari pemerintah, umumnya tidak bisa dipergunakan. Penyebabnya antara lain karena buku sudah tidak sesuai lagi dengan kurikulum atau tidak cocok dengan kebutuhan sekolah. Sehingga orang tua siswa tetap diwajibkan untuk membeli. Banyaknya buku pelajaran juga dianggap sebagai sumber kemalasan guru. Kreativitasnya hilang karena dimanjakan buku yang posisinya justru sebagai penunjang dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar. Misalnya, guru tidak lagi membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa. Mereka tinggal mewajibkan siswa membeli dan mengisi lembar kerja siswa (LKS).
*Murid dan Guru Bingung
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Minimnya jumlah buku SMK terutama beberapa mata pelajaran tertentu sudah terjadi sejak pergantian dari Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di pasar pun tidak tersedianya. Termasuk buku-buku seperti buku negosiasi, menata produk, mesin-mesin bisnis dan komunikasi bisnis untuk jurusan penjualan di SMK dari pemerintah menyebabkan guru dan siswa SMK akhir-akhir ini kesulitan dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Ketua Jurusan Penjualan SMKN 3 Pontianak, Dayang Haryani, Sabtu (16/2) mengatakan selama ini guru mata pelajaran hanya menggunakan buku kurikulum suplemen 1999 yang hanya dalam bentuk buku paket pegangan guru sedangkan untuk murid tidak ada. Selain itu buku-buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang seharusnya dapat digunakan siswa untuk latihan pengerjaan soal juga tidak ada.
“Kita sudah coba menghubungi beberapa penerbitan melalui koperasi sekolah tapi memang beberapa penerbitan tersebut tidak menerbitkan buku-buku yang kita perlukan,” katanya.
Yang paling menyulitkan dari tidak tersedianya buku-buku mata pelajaran untuk siswa, ujarnya proses belajar mengajar menjadi monoton karena guru harus mendiktekan murid untuk mencatat materi pelajaran dan sangat memperlambat target pencapaian kurikulum yang telah ditentukan.
Kepala SMKN 3 Pontianak, H.A.Rahman Har mengakui minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran untuk SMK. Sebenarnya sering juga penerbit dating ke sekolah untuk menawarkan buku mata pelajaran tapi sering tidak sesuai dengan kurikulum dan siswa sering mengeluhkan harganya yang mahal sehingga siswa tidak mampu untuk membeli.
Abriyandi, Guru SMKN 3 Pontianak yang juga pakar pendidikan Kalbar mengatakan Buku pelajaran merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sebab tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam kurikulum diimplementasikan
Di dalamnya yang kemudian dijadikan panduan bagi guru dan siswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di dalam kelas.
Ada empat fungsi buku pelajaran bagi murid Pertama, sebagai sarana kepastian apa yang dipelajari; Kedua, sebagai alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh ia telah menguasai bahan pembelajaran yang menjadi sarana mencapai kompetensi dasar. Ketiga, sebagai alat belajar untuk menemukan petunjuk, teori, ataupun konsep, dan evaluasi. Keempat, sebagai alat yang memudahkan proses belajar, mendalami bahan, dan mengerjakan pelatihan-pelatihan.
Sedangkan untuk para guru, buku pelajaran berfungsi; pertama, sebagai pedoman
mengidentifikasi apa yang harus dipelajari oleh siswa saat ingin mencapai kompetensi
dasar. Kedua, mengetahui urutan penyajian bahan pembelajaran. Ketiga, mengetahui
teknik, metode, dan pendekatan sekaligus untuk menjalankan proses pembelajaran.
Keempat, memperoleh bahan pembelajaran yang lebih mudah. Kelima, memudahkan
memberikan tugas-tugas pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas, atau di rumah.
Keenam, mengefisienkan proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya buku pelajaran, pemerintah melalui Kepmen 053/U/2001 tentang
standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang dasar dan menengah
mewajibkan sekolah memiliki buku pelajaran pokok dan ditunjang oleh buku pelajaran
pelengkap, buku bacaan, serta buku referensi seperti kamus. Pada tingkat Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekolah diharuskan menyediakan sekurang kurangnya satu buku di tiap-tiap pelajaran pokok untuk setiap siswa.
Artinya, pada tingkat pendidikan dasar, pemerintah memiliki kewajiban untuk
menyediakan buku pelajaran bagi setiap peserta didik. Bahkan disediakan juga buku- buku pendukung lainnya misalnya dalam perpustakaan sekolah sehingga pengetahuan
peserta didik akan semakin kaya.
“Akan tetapi kenyataannya pemerintah tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan
baik. Buku pelajaran justru menjadi masalah bagi sebagian besar orang tua siswa di
Indonesia. Selain masa pakainya singkat, harga buku pelajaran tergolong mahal,” ujarnya.
Dikatakannya walaupun beberapa sekolah menerima buku dari pemerintah, umumnya tidak bisa dipergunakan. Penyebabnya antara lain karena buku sudah tidak sesuai lagi dengan kurikulum atau tidak cocok dengan kebutuhan sekolah. Sehingga orang tua siswa tetap diwajibkan untuk membeli. Banyaknya buku pelajaran juga dianggap sebagai sumber kemalasan guru. Kreativitasnya hilang karena dimanjakan buku yang posisinya justru sebagai penunjang dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar. Misalnya, guru tidak lagi membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa. Mereka tinggal mewajibkan siswa membeli dan mengisi lembar kerja siswa (LKS).
Guru Harus Menulis Buku Mata Pelajaran
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Minimnya jumlah buku mata pelajaran untuk siswa SMK yang beredar di pasar disikapi oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar’in.
Saat ditemui di kediamannya, Minggu (17/2), Wakil rakyat kota Pontianak ini mengatakan minimnya ketersediaan buku mata pelajaran ini bukalah salah penerbit. Karena tidak menerbitkan buku-buku mata pelajaran tertentu untuk SMK yang alasannya jumlah siswa SMK sedikit sehingga tidak terlalu menguntungkan. Penerbit sah-sah saja mengatakan hal tersebut dan pemerintah harus mengambil langkah untuk mengatasi minimnya jumlah buku mata pelajaran itu.
Langkah yang harus diambil pemerintah baik pemerintah pusat, provinsi dan kota harus mensubsidi penerbit-penerbit buku untuk pengadaan buku-buku mata pelajaran yang diperlukan. Pengadaan buku-buku mata pelajaran yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan.
Awal pengadaan buku mata pelajaran ini mulai pada era sebelum tahun 1990-an, pengelolaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah melalui Balai Pustaka. Siswa tidak mengeluarkan biaya untuk bisa menggunakan buku-buku tersebut karena pemerintah membagi pada sekolah dengan gratis. Secara ekonomis, kebijakan tersebut sangat membantu masyarakat. Akan tetapi, model sentralistik tersebut dianggap bermasalah karena menjadikan buku sebagai alat pemerintah mempertahankan kekuasaaannya. Buku-buku yang didistribusikan ke sekolah menjadi bagian dari proses indoktrinasi.
”Pengelolaan yang terpusat kerap membuat bias. Isi buku sering kali tidak sesuai dengan kondisi nyata yang tengah dihadapi oleh siswa,” katanya.
Awal tahun 1990-an pola pengelolaan buku berganti. Monopoli Balai Pustaka dihapus
dan pembelian buku disebar ke semua penerbit. Selain itu, untuk buku pelajaran
pemerintah melalui utang kepada Bank Dunia mengadakan tender kepada penerbit-penerbit untuk membuat buku yang bermutu bagi sekolah. Akan tetapi model seperti itu
menimbulkan masalah lainnya yaitu korupsi.
Penyimpangan terjadi mulai dari penentuan penerbit. Besarnya suap menjadi penentu penerbit yang akan melaksanakan proyek. Selain itu, pembelian kertas pun diarahkan kepada perusahaan tertentu.
Pola pengelolaan buku dirubah kembali, ceritanya. Kali ini pemerintah daerah yang diberi kebebasan untuk membeli buku pejaran yang akan dipakai didaerahnya masing-masing. Walaupun memang lewat pusat perbukuan pemerintah masih melakukan kontrol dalam standar mutu. Akan tetapi, ujar Firdaus perubahan menjadi lebih terdesentralisasi ternyata tidak membawa perbaikan. Pengelolaan buku justru lebih kacau mulai dari standar mutu hingga sistem distribusinya.Terakhir, pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengeluarkan kebijakan pembatasan masa pakai buku sampai lima tahun. Kebijakan tersebut akan dikonkritkan dengan Peraturan Presiden yang rencananya diterbitkan Januari 2005 lalu. Selain masa berlaku, dalam Perpres juga diatur larangan mewajibkan pembelian buku dari penyelenggara sekolah.
Begitupun dalam pengelolaan buku pelajaran. Pemberian kewenangan kepada pemerintah
daerah yang bertujuan mendekatkan mata pelajaran dengan kondisi sosial budaya peserta
didik sekaligus memangkas praktik korupsi yang terjadi malah sebaliknya. Pengadaan
buku pelajaran justru menjadi lahan subur untuk melakukan praktik korupsi.
“Dan saat ini, harus ada perbaikan manajemen jika pemerintah melakukan pengadaan buku pelajaran untuk sekolah. Jangan sampai terjadi peluang-peluang penyimpangan dalam melaksanakan pengadaan buku dan kita di DPRD kota Pontianak juga akan mencarikan solusi untuk siswa dan guru di SMK yang memang sulit mendapatkan buku pelajaran,” ungkapnya.
Dikatakanya sebanarnya jika kemampuan menulis guru-guru di Kalbar baik maka untuk mengatasi persoalan minimnya buku ini sangatlah mudah. Misalnya dengan pemerintah menghimpun guru-guru SMK untuk menulis buku pelajaran yang diperlukan. Tapi persoalannya guru-guru di Kalbar sangat sedikit yang mau menulis buku.
Dekan FKIP Untan, Aswandi menyikapi persoalan minimnya ketersediaan buku mata pelajaran untuk SMK mengatakan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten kota harus melakukan pengorganisiran guru-guru SMK untuk membentuk kelompok-kelompok guru penulis buku. Dengan cara ini berarti pemerintah membiasakan guru diberdayakan untuk menulis dan pemerintah harus membiayai guru untuk menulis buku mata pelajaran. Keuntungan dari guru menulis buku ini, pertama dapat menambah royalti bagi guru sendiri, kedua dengan menulis berarti guru membaca. Karena selama ini banyak guru yang tidak mau membaca sehingga pengetahuannya sangat kurang. Dengan merangsang guru untuk menulis otomatis mau tidak mau guru dituntut untuk rajin membaca. ”Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan untuk membimbing guru membuat buku pelajaran agar sesuai dengan standar minimal buku yang layak diterbitkan,” ungkapnya.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Minimnya jumlah buku mata pelajaran untuk siswa SMK yang beredar di pasar disikapi oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar’in.
Saat ditemui di kediamannya, Minggu (17/2), Wakil rakyat kota Pontianak ini mengatakan minimnya ketersediaan buku mata pelajaran ini bukalah salah penerbit. Karena tidak menerbitkan buku-buku mata pelajaran tertentu untuk SMK yang alasannya jumlah siswa SMK sedikit sehingga tidak terlalu menguntungkan. Penerbit sah-sah saja mengatakan hal tersebut dan pemerintah harus mengambil langkah untuk mengatasi minimnya jumlah buku mata pelajaran itu.
Langkah yang harus diambil pemerintah baik pemerintah pusat, provinsi dan kota harus mensubsidi penerbit-penerbit buku untuk pengadaan buku-buku mata pelajaran yang diperlukan. Pengadaan buku-buku mata pelajaran yang dilakukan pemerintah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan.
Awal pengadaan buku mata pelajaran ini mulai pada era sebelum tahun 1990-an, pengelolaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah melalui Balai Pustaka. Siswa tidak mengeluarkan biaya untuk bisa menggunakan buku-buku tersebut karena pemerintah membagi pada sekolah dengan gratis. Secara ekonomis, kebijakan tersebut sangat membantu masyarakat. Akan tetapi, model sentralistik tersebut dianggap bermasalah karena menjadikan buku sebagai alat pemerintah mempertahankan kekuasaaannya. Buku-buku yang didistribusikan ke sekolah menjadi bagian dari proses indoktrinasi.
”Pengelolaan yang terpusat kerap membuat bias. Isi buku sering kali tidak sesuai dengan kondisi nyata yang tengah dihadapi oleh siswa,” katanya.
Awal tahun 1990-an pola pengelolaan buku berganti. Monopoli Balai Pustaka dihapus
dan pembelian buku disebar ke semua penerbit. Selain itu, untuk buku pelajaran
pemerintah melalui utang kepada Bank Dunia mengadakan tender kepada penerbit-penerbit untuk membuat buku yang bermutu bagi sekolah. Akan tetapi model seperti itu
menimbulkan masalah lainnya yaitu korupsi.
Penyimpangan terjadi mulai dari penentuan penerbit. Besarnya suap menjadi penentu penerbit yang akan melaksanakan proyek. Selain itu, pembelian kertas pun diarahkan kepada perusahaan tertentu.
Pola pengelolaan buku dirubah kembali, ceritanya. Kali ini pemerintah daerah yang diberi kebebasan untuk membeli buku pejaran yang akan dipakai didaerahnya masing-masing. Walaupun memang lewat pusat perbukuan pemerintah masih melakukan kontrol dalam standar mutu. Akan tetapi, ujar Firdaus perubahan menjadi lebih terdesentralisasi ternyata tidak membawa perbaikan. Pengelolaan buku justru lebih kacau mulai dari standar mutu hingga sistem distribusinya.Terakhir, pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengeluarkan kebijakan pembatasan masa pakai buku sampai lima tahun. Kebijakan tersebut akan dikonkritkan dengan Peraturan Presiden yang rencananya diterbitkan Januari 2005 lalu. Selain masa berlaku, dalam Perpres juga diatur larangan mewajibkan pembelian buku dari penyelenggara sekolah.
Begitupun dalam pengelolaan buku pelajaran. Pemberian kewenangan kepada pemerintah
daerah yang bertujuan mendekatkan mata pelajaran dengan kondisi sosial budaya peserta
didik sekaligus memangkas praktik korupsi yang terjadi malah sebaliknya. Pengadaan
buku pelajaran justru menjadi lahan subur untuk melakukan praktik korupsi.
“Dan saat ini, harus ada perbaikan manajemen jika pemerintah melakukan pengadaan buku pelajaran untuk sekolah. Jangan sampai terjadi peluang-peluang penyimpangan dalam melaksanakan pengadaan buku dan kita di DPRD kota Pontianak juga akan mencarikan solusi untuk siswa dan guru di SMK yang memang sulit mendapatkan buku pelajaran,” ungkapnya.
Dikatakanya sebanarnya jika kemampuan menulis guru-guru di Kalbar baik maka untuk mengatasi persoalan minimnya buku ini sangatlah mudah. Misalnya dengan pemerintah menghimpun guru-guru SMK untuk menulis buku pelajaran yang diperlukan. Tapi persoalannya guru-guru di Kalbar sangat sedikit yang mau menulis buku.
Dekan FKIP Untan, Aswandi menyikapi persoalan minimnya ketersediaan buku mata pelajaran untuk SMK mengatakan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten kota harus melakukan pengorganisiran guru-guru SMK untuk membentuk kelompok-kelompok guru penulis buku. Dengan cara ini berarti pemerintah membiasakan guru diberdayakan untuk menulis dan pemerintah harus membiayai guru untuk menulis buku mata pelajaran. Keuntungan dari guru menulis buku ini, pertama dapat menambah royalti bagi guru sendiri, kedua dengan menulis berarti guru membaca. Karena selama ini banyak guru yang tidak mau membaca sehingga pengetahuannya sangat kurang. Dengan merangsang guru untuk menulis otomatis mau tidak mau guru dituntut untuk rajin membaca. ”Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan untuk membimbing guru membuat buku pelajaran agar sesuai dengan standar minimal buku yang layak diterbitkan,” ungkapnya.
Minggu, 17 Februari 2008
Penuhi 30 Persen Keterwakilan Perempuan
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ada yang harus diperhatikan untuk memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam bidang politik, saat ini menjadi komitmen negara. Yaitu, perempuan harus mengetahui hak-hak apa saja yang harus dipenuhi dalam hak politik perempuan tersebut. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat (Hanura), Tuti Hanurita, Minggu (10/2) di kediamannya.
Tuti mengatakan, hak politik perempuan diantaranya, hak untuk memilih dalam suatu pemilihan, pelayanan publik, hak dipilih pada semua badan-badan atau instansi-instansi yang secara umum dipilih. Seperti, legislatif dan eksekutif. Untuk dapat dipilih, tentunya harus mempunyai kendaraan yang salah satunya partai politik.
Jadi yang terpenting bagaimana perempuan juga bisa duduk di partai dan menentukan kebijakan partai, untuk kepentingan perempuan. Mereka harus ikut berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah, baik pelaksanaannya dan memegang jabatan publik serta melaksanakan fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.
“Artinya, perempuan perannya bukan hanya sekedar mengurus anak. Tapi perannya lebih luas lagi. Misalnya, menjadikan politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti perempuan harus mau menentukan sikap terhadap kebijakan arah tujuan kehidupan rumah tangga,” katanya.
Peran politik perempuan harus diawali dari rumah tangga. Perempuan harus mampu mewujudkan sikap tujuan dari rumah tangga. Inilah yang harus perempuan pelajari. Kalau untuk berpartisipasi dalam perkumpulan organisasi baik yang berhubungan dengan sosial masyarakat, maupun politik negara. Perempuan harus mengetahui adanya hak-hak politik dalam masyarakat sendiri.
Kuota 30 persen memang belum maksimal, karena perempuan belum memahami tentang politik itu sendiri. Pemerintah harus mensosialisasikan tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik. Dengan didasari pengetahuan tentang politik yang diawali dari lingkungan rumah tangga. Maka perempuan menjadi terbiasa menentukan sikap dan tujuan dalam hidupnya.
Untuk kedepan, harapnya kualitas perempuan merupakan hal yang terpenting. Artinya, pendidikan politik bagi perempuan sangat penting, agar 30 persen keterwakilan perempuan dapat terpenuhi.
“Jangan hanya menuntut kuota, tapi perempuan harus juga dapat bersaing dengan laki-laki,” ujarnya.
Yang menjadi dilema, persoalan penentuan rangking untuk perempuan. Misalnya dalam partai, perempuan sangat jarang ditempatkan dalam rangking no 1. Posisi rangking no 1 selalu tetap diberikan kepada laki-laki dalam setiap kesempatan, untuk maju dalam pemilihan.
Kedepannya, undang-undang pemilu juga harus diubah, agar tidak menggunakan rangking untuk menjadi calon legislative. Karena perempuan selalu ditempatkan di rangking bawah, sehingga sangat susah memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.
“Kebijakan partai untuk memenuhi hak politik perempuan sangat diperlukan,” tuturnya.
Parpol harus menjadi ujung tombak bagi pendidikan politik kaum perempuan. Selama ini, Parpol dinilai belum berperan maksimal dalam proses pendidikan politik, bagi kaum perempuan. Dan kesiapan perempuan untuk dipilih dalam Pemilu. Untuk itu, Parpol harus menampilkan hal yang menarik bagi kaum perempuan, serta proaktif menjaring kader perempuan. Sehingga perempuan mempunyai kemampuan yang memadai.
Pemberian kuota 30 persen belum efektif, karena ternyata calon legislatif perempuan ditempatkan di nomor sepatu, bukan nomor jadi. Sebenarnya itu tidak soal, asalkan mereka bisa meraih pemilih yang banyak. Sistem proporsional terbuka memungkinkan seorang calon legislatif berkampanye untuk perolehan suara bagi dirinya.
Jadi, secara teoretis, tidak harus di nomor peci atau nomor urut teratas, untuk bisa jadi. Kalau bisa memenuhi jumlah suara tertentu sesuai dengan bilangan pembagi pemilih, maka otomatis calon akan jadi. Masalahnya, perubahan sistem itu belum akan berjalan maksimal. “Banyak parpol besar yang justru mengarahkan agar
konstituennya mencoblos tanda gambar parpol saja,” jelasnya.
Itu masih lebih baik, karena tidak sedikit partai yang kesulitan merekrut
perempuan sebagai caleg, sehingga mencapai kuota 30 persen. Belum lagi kalau
bicara kualitas. Apakah kuota itu tidak malah menjadi bentuk pemaksaan,
sehingga nama-nama yang dimunculkan sebenarnya kurang layak. Bagi mereka
yang kurang setuju dengan model kuota, persoalan seperti inilah yang selalu
dikedepankan.
“Kalau mau memperjuangkan keterwakilan perempuan, ya harus dengan pemberdayaan kaum perempuan terlebih dahulu. Bukan diangkat-angkat
atau dipaksa-paksa,” kata Tuti.
Tetapi, itu tetap akan menjadi pro dan kontra. Sebab, yang setuju berpandangan, kalau tidak dipaksa dengan kuota, kaum perempuan akan terus terpinggirkan. Ada beberapa catatan yang harus dijadikan pijakan dalam perjuangan politik perempuan di parlemen. Sehingga cita-cita utuh pembebasan perempuan bisa terpenuhi. Pertama, kaum perempuan harus menolak dan tidak memilih parpol yang tidak sensitif dengan isu perempuan. Parpol yang mendukung poligami, misalnya, merupakan musuh politik perempuan yang tidak boleh dijadikan kendaraan politik.
Kedua, gerakan perempuan harus mendesak, agar paket UU Politik membuka sistem multipartai seluas-luasnya. Dengan mempermudah syarat pendirian partai, syarat keikutsertaan dalam pemilu, dan syarat pencalegan. Multipartai seluas-luasnya bermakna memotong dominasi parpol besar yang terbukti kurang responsif dengan nasib perempuan. Sekaligus memperluas potensi kemunculan partai alternatif.
Ketiga, menolak parameter keberhasilan perempuan di parlemen dengan semakin banyaknya artis cantik, masuk dalam parlemen sebagai nomor jadi. Karena proses ini muncul dari kebutuhan mesin partai mengumpulkan suara, bukan dalam kepentingan memperjuangkan aspirasi perempuan. Kebanyakan artis itu setelah masuk parlemen diombang-ambingkan oleh politik kekuasaan karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan politik mereka.
Keempat, mestinya selain perjuangan kuota 30 persen, kaum perempuan dalam waktu bersamaan mendesakkan realisasi pendidikan dan kesehatan gratis. Ini penting untuk menaikkan bobot kemampuan human experience kaum perempuan, agar lebih produktif dalam panggung politik dan lapangan sosial yang lain.
Direktur Gemawan, Laili Khairnur mengatakan partisipasi perempuan dalam politik bergantung pada Undang-Undang Pemilu dan aturan main internal parpol. UU 12/2003 telah mencantumkan ketentuan kuota. Pasal 65 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen,” ungkapnya.
Namun, ketentuan itu bukan satu-satunya yang bisa menjadi pegangan harapan. Hal itu karena sesungguhnya peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga legislatif pada kenyataannya tetap sangat tergantung pada parpol. Peran parpol berkaitan dengan pemihakan terhadap peningkatan partisipasi masyarakat, akan terlihat pada mekanisme pencalonan anggota legislatif (caleg) misalnya.
Ketentuan pengajuan calon maksimal 120 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan dalam sebuah daerah pemilihan, tidak akan besar artinya jika calon perempuan ditempatkan di urutan bawah pada daftar caleg. Ketentuan kuota seperti termuat dalam undang-undang mesti disikapi hati-hati. Kuota 30 persen bagi perempuan tidak bersifat mutlak dan mengikat. Sehingga tetap terbuka peluang bagi parpol menempatkan calon perempuan sekadar pengumpul suara (vote getter) atau alat legitimasi.
Selain itu, parpol juga mungkin secara sepihak menempatkan wakil-wakil perempuan yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap nilai, prinsip, dan aspirasi masyarakat.
Mengenai sistem zig-zag, yaitu berselang-seling penempatan urutan caleg laki-laki dan perempuan yang berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen di beberapa negara, reaksi parpol beragam. Ada yang tidak berkeberatan tetapi menyangsikan efektivitasnya meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan, ada yang belum memikirkan.
Perubahan paket UU politik membawa implikasi beragam pada perempuan. Sistem yang paling menguntungkan untuk perempuan adalah proporsional terbuka murni dengan mekanisme zig-zag, ukuran daerah pilihan menengah-besar, dan jumlah parpol peserta pemilu yang terbatas.
Dalam hal ini, parpol dianggap masih menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan, meskipun parpol mengatakan tidak ada masalah dengan keterwakilan perempuan. Persoalan politik uang, struktur kepemimpinan yang tak demokratis, dan agenda politik parpol yang tidak sensitif gender menjadi penghambat. Keterlibatan perempuan, terutama dalam sayap perempuan di parpol, hampir tidak memengaruhi keputusan parpol.
Selama ini memang banyak perempuan yang kandas di tengah jalan sewaktu diajukan sebagai caleg maupun eksekutif, sebab ditolak dengan alasan yang dicari-cari. Alasan klasik yang kerap dipakai untuk mendiskreditkan perempuan adalah tidak berkualitas, kesibukan mengurus anak dan keluarga, serta stereotipe negatif lainnya yang merugikan perempuan.
Padahal, realitas di masyarakat menunjukkan, banyak wanita karir yang sukses melakukan peran gandanya dengan baik. Di samping faktor pimpinan yang menentukan teraksesnya peluang kuota, kesiapan kader perempuan di parpol juga menjadi faktor penentu lain yang ikut memengaruhi terpenuhinya kuota 30 persen.
Nah, sekarang, tidak ada alasan lagi untuk menolak keberadaan perempuan di parlemen. Sudah siapkan Anda?
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ada yang harus diperhatikan untuk memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam bidang politik, saat ini menjadi komitmen negara. Yaitu, perempuan harus mengetahui hak-hak apa saja yang harus dipenuhi dalam hak politik perempuan tersebut. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat (Hanura), Tuti Hanurita, Minggu (10/2) di kediamannya.
Tuti mengatakan, hak politik perempuan diantaranya, hak untuk memilih dalam suatu pemilihan, pelayanan publik, hak dipilih pada semua badan-badan atau instansi-instansi yang secara umum dipilih. Seperti, legislatif dan eksekutif. Untuk dapat dipilih, tentunya harus mempunyai kendaraan yang salah satunya partai politik.
Jadi yang terpenting bagaimana perempuan juga bisa duduk di partai dan menentukan kebijakan partai, untuk kepentingan perempuan. Mereka harus ikut berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah, baik pelaksanaannya dan memegang jabatan publik serta melaksanakan fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.
“Artinya, perempuan perannya bukan hanya sekedar mengurus anak. Tapi perannya lebih luas lagi. Misalnya, menjadikan politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti perempuan harus mau menentukan sikap terhadap kebijakan arah tujuan kehidupan rumah tangga,” katanya.
Peran politik perempuan harus diawali dari rumah tangga. Perempuan harus mampu mewujudkan sikap tujuan dari rumah tangga. Inilah yang harus perempuan pelajari. Kalau untuk berpartisipasi dalam perkumpulan organisasi baik yang berhubungan dengan sosial masyarakat, maupun politik negara. Perempuan harus mengetahui adanya hak-hak politik dalam masyarakat sendiri.
Kuota 30 persen memang belum maksimal, karena perempuan belum memahami tentang politik itu sendiri. Pemerintah harus mensosialisasikan tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik. Dengan didasari pengetahuan tentang politik yang diawali dari lingkungan rumah tangga. Maka perempuan menjadi terbiasa menentukan sikap dan tujuan dalam hidupnya.
Untuk kedepan, harapnya kualitas perempuan merupakan hal yang terpenting. Artinya, pendidikan politik bagi perempuan sangat penting, agar 30 persen keterwakilan perempuan dapat terpenuhi.
“Jangan hanya menuntut kuota, tapi perempuan harus juga dapat bersaing dengan laki-laki,” ujarnya.
Yang menjadi dilema, persoalan penentuan rangking untuk perempuan. Misalnya dalam partai, perempuan sangat jarang ditempatkan dalam rangking no 1. Posisi rangking no 1 selalu tetap diberikan kepada laki-laki dalam setiap kesempatan, untuk maju dalam pemilihan.
Kedepannya, undang-undang pemilu juga harus diubah, agar tidak menggunakan rangking untuk menjadi calon legislative. Karena perempuan selalu ditempatkan di rangking bawah, sehingga sangat susah memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.
“Kebijakan partai untuk memenuhi hak politik perempuan sangat diperlukan,” tuturnya.
Parpol harus menjadi ujung tombak bagi pendidikan politik kaum perempuan. Selama ini, Parpol dinilai belum berperan maksimal dalam proses pendidikan politik, bagi kaum perempuan. Dan kesiapan perempuan untuk dipilih dalam Pemilu. Untuk itu, Parpol harus menampilkan hal yang menarik bagi kaum perempuan, serta proaktif menjaring kader perempuan. Sehingga perempuan mempunyai kemampuan yang memadai.
Pemberian kuota 30 persen belum efektif, karena ternyata calon legislatif perempuan ditempatkan di nomor sepatu, bukan nomor jadi. Sebenarnya itu tidak soal, asalkan mereka bisa meraih pemilih yang banyak. Sistem proporsional terbuka memungkinkan seorang calon legislatif berkampanye untuk perolehan suara bagi dirinya.
Jadi, secara teoretis, tidak harus di nomor peci atau nomor urut teratas, untuk bisa jadi. Kalau bisa memenuhi jumlah suara tertentu sesuai dengan bilangan pembagi pemilih, maka otomatis calon akan jadi. Masalahnya, perubahan sistem itu belum akan berjalan maksimal. “Banyak parpol besar yang justru mengarahkan agar
konstituennya mencoblos tanda gambar parpol saja,” jelasnya.
Itu masih lebih baik, karena tidak sedikit partai yang kesulitan merekrut
perempuan sebagai caleg, sehingga mencapai kuota 30 persen. Belum lagi kalau
bicara kualitas. Apakah kuota itu tidak malah menjadi bentuk pemaksaan,
sehingga nama-nama yang dimunculkan sebenarnya kurang layak. Bagi mereka
yang kurang setuju dengan model kuota, persoalan seperti inilah yang selalu
dikedepankan.
“Kalau mau memperjuangkan keterwakilan perempuan, ya harus dengan pemberdayaan kaum perempuan terlebih dahulu. Bukan diangkat-angkat
atau dipaksa-paksa,” kata Tuti.
Tetapi, itu tetap akan menjadi pro dan kontra. Sebab, yang setuju berpandangan, kalau tidak dipaksa dengan kuota, kaum perempuan akan terus terpinggirkan. Ada beberapa catatan yang harus dijadikan pijakan dalam perjuangan politik perempuan di parlemen. Sehingga cita-cita utuh pembebasan perempuan bisa terpenuhi. Pertama, kaum perempuan harus menolak dan tidak memilih parpol yang tidak sensitif dengan isu perempuan. Parpol yang mendukung poligami, misalnya, merupakan musuh politik perempuan yang tidak boleh dijadikan kendaraan politik.
Kedua, gerakan perempuan harus mendesak, agar paket UU Politik membuka sistem multipartai seluas-luasnya. Dengan mempermudah syarat pendirian partai, syarat keikutsertaan dalam pemilu, dan syarat pencalegan. Multipartai seluas-luasnya bermakna memotong dominasi parpol besar yang terbukti kurang responsif dengan nasib perempuan. Sekaligus memperluas potensi kemunculan partai alternatif.
Ketiga, menolak parameter keberhasilan perempuan di parlemen dengan semakin banyaknya artis cantik, masuk dalam parlemen sebagai nomor jadi. Karena proses ini muncul dari kebutuhan mesin partai mengumpulkan suara, bukan dalam kepentingan memperjuangkan aspirasi perempuan. Kebanyakan artis itu setelah masuk parlemen diombang-ambingkan oleh politik kekuasaan karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan politik mereka.
Keempat, mestinya selain perjuangan kuota 30 persen, kaum perempuan dalam waktu bersamaan mendesakkan realisasi pendidikan dan kesehatan gratis. Ini penting untuk menaikkan bobot kemampuan human experience kaum perempuan, agar lebih produktif dalam panggung politik dan lapangan sosial yang lain.
Direktur Gemawan, Laili Khairnur mengatakan partisipasi perempuan dalam politik bergantung pada Undang-Undang Pemilu dan aturan main internal parpol. UU 12/2003 telah mencantumkan ketentuan kuota. Pasal 65 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen,” ungkapnya.
Namun, ketentuan itu bukan satu-satunya yang bisa menjadi pegangan harapan. Hal itu karena sesungguhnya peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga legislatif pada kenyataannya tetap sangat tergantung pada parpol. Peran parpol berkaitan dengan pemihakan terhadap peningkatan partisipasi masyarakat, akan terlihat pada mekanisme pencalonan anggota legislatif (caleg) misalnya.
Ketentuan pengajuan calon maksimal 120 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan dalam sebuah daerah pemilihan, tidak akan besar artinya jika calon perempuan ditempatkan di urutan bawah pada daftar caleg. Ketentuan kuota seperti termuat dalam undang-undang mesti disikapi hati-hati. Kuota 30 persen bagi perempuan tidak bersifat mutlak dan mengikat. Sehingga tetap terbuka peluang bagi parpol menempatkan calon perempuan sekadar pengumpul suara (vote getter) atau alat legitimasi.
Selain itu, parpol juga mungkin secara sepihak menempatkan wakil-wakil perempuan yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap nilai, prinsip, dan aspirasi masyarakat.
Mengenai sistem zig-zag, yaitu berselang-seling penempatan urutan caleg laki-laki dan perempuan yang berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen di beberapa negara, reaksi parpol beragam. Ada yang tidak berkeberatan tetapi menyangsikan efektivitasnya meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan, ada yang belum memikirkan.
Perubahan paket UU politik membawa implikasi beragam pada perempuan. Sistem yang paling menguntungkan untuk perempuan adalah proporsional terbuka murni dengan mekanisme zig-zag, ukuran daerah pilihan menengah-besar, dan jumlah parpol peserta pemilu yang terbatas.
Dalam hal ini, parpol dianggap masih menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan, meskipun parpol mengatakan tidak ada masalah dengan keterwakilan perempuan. Persoalan politik uang, struktur kepemimpinan yang tak demokratis, dan agenda politik parpol yang tidak sensitif gender menjadi penghambat. Keterlibatan perempuan, terutama dalam sayap perempuan di parpol, hampir tidak memengaruhi keputusan parpol.
Selama ini memang banyak perempuan yang kandas di tengah jalan sewaktu diajukan sebagai caleg maupun eksekutif, sebab ditolak dengan alasan yang dicari-cari. Alasan klasik yang kerap dipakai untuk mendiskreditkan perempuan adalah tidak berkualitas, kesibukan mengurus anak dan keluarga, serta stereotipe negatif lainnya yang merugikan perempuan.
Padahal, realitas di masyarakat menunjukkan, banyak wanita karir yang sukses melakukan peran gandanya dengan baik. Di samping faktor pimpinan yang menentukan teraksesnya peluang kuota, kesiapan kader perempuan di parpol juga menjadi faktor penentu lain yang ikut memengaruhi terpenuhinya kuota 30 persen.
Nah, sekarang, tidak ada alasan lagi untuk menolak keberadaan perempuan di parlemen. Sudah siapkan Anda?
Waspadai Penyimpangan Dana BOS.
Firdaus: Diknas Harus Perketat Kontrol
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Meskipun selama 2007 tingkat penyimpangan terhadap dana BOS di Kalbar sangat kecil sekali namun semua pihak harus tetap mewaspadai adanya penyimpangan penggunaan dana BOS oleh pihak sekolah. Demikian diungkapkan oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus, beberapa waktu lalu di ruang kerjanya.
Ia mengatakan Dinas Pendidikan harus meneliti secara seksama dan cermat terhadap Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang dibuat sekolah. Biasanya RAPBS ini cenderung menguntungkan kepentingan sekolah dan guru yang akhirnya merugikan anak didik. RAPBS seharusnya dirancang untuk setidaknya memperingan beban biaya anak didik, yakni lewat pemenuhan segala kebutuhan siswa untuk pendidikannya. Sehingga anak didik tidak lagi dibebani dengan biaya pungutan atau sekolah untuk penyelenggaran pendidikan. Selain itu, salah satu institusi yang harus bergerak adalah badan pengawas. Badan ini yang memiliki kewenangan untuk mengawasi berbagai bentuk penyimpangan di tubuh birokrasi, tak kecuali birokrasi pendidikan seperti sekolah. Badan Pengawas Kota (Bawaskot) dituntut pro aktif untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dana BOS ini di sekolah-sekolah yang diindikasikan bermasalah.
Dan harus bersikap tegas terhadap oknum birokrasi Dinas Pendidikan atau sekolah yang melakukan pelanggaran atas penggunaan dana BOS ini. Perlu adanya tindakan sanksi administratif terhadap pejabat atau sekolah yang melakukan pelanggaran. Jika sudah bermuatan pelanggaran hukum, sudah saatnya pihak penyidik dari kepolisian untuk mengusut tuntas. ”Semua ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pihak Dinas Pendidikan Nasional mulai dari propinsi sampai kabupaten/kota. Kita
selamatkan pendidikan anak didik kita,” katanya.Harus diakui, ujarnya tidak semua sekolah, terutama yang berdomisili di pelosok yang sulit dijangkau, memiliki kelengkapan infrastruktur, seperti rekening dan data penunjang yang lainnya. Beberapa sekolah malah kedapatan sama sekali tidak memiliki rekening. Akhirnya, dana tersebut mengalir ke kas kepala sekolah atau pihak-pihak terkait yang memiliki rekening. Dan ini, jika tidak dikontrol ketat, berpotensi melahirkan penyelewengan.Gagasan adanya BOS, merupakan langkah maju dan positif yang dilakukan pemerintah saat ini untuk secara bertahap memberikan porsi perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan menengah ke bawah. Dengan BOS diharapkan angka putus sekolah semakin terkikis. Hingga pada gilirannya, setiap anak, minimal hingga tingkat menengah pertama, dapat mengenyam pendidikan secara baik, tanpa terhenti. Langkah ini perlu didukung oleh semua kalangan. Bentuknya, ikut mengkritisi dan selalu memberikan masukan positif, juga melaporkan kepada pemerintah jika ada penyimpangan yang terjadi. Segala bentuk penyelewengan yang mungkin terjadi, harus diantisipasi sedini mungkin.
“Satu hal lagi yang masih dirasakan dan dikeluhkan orang tua murid adalah masih munculnya berbagai pungutan-pungutan, baik itu yang resmi maupun yang 'ilegal' yang diterapkan pihak sekolah,” ungkapnya.Dengan adanya dana BOS, diharapkan dapat memperingan beban biaya pendidikan yang ditanggung anak didik, terutama anak didik dari kelurga miskin. Dan kalau bisa, dengan hadirnya dana BOS ini, biaya pendidikan di sekolah, terutama di tingkat SD dan SMP bisa gratis. Tapi ternyata kenyataan di lapangan, orang tua murid merasakan, ada atau tidak adanya dana BOS, biaya pendidikan sekolah masih tetap tinggi. Bahkan ada beberapa kasus total biaya pendidikan anak didik di sekolah justru bertambah besar pasca adanya program BOS ini.
Firdaus: Diknas Harus Perketat Kontrol
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Meskipun selama 2007 tingkat penyimpangan terhadap dana BOS di Kalbar sangat kecil sekali namun semua pihak harus tetap mewaspadai adanya penyimpangan penggunaan dana BOS oleh pihak sekolah. Demikian diungkapkan oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus, beberapa waktu lalu di ruang kerjanya.
Ia mengatakan Dinas Pendidikan harus meneliti secara seksama dan cermat terhadap Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang dibuat sekolah. Biasanya RAPBS ini cenderung menguntungkan kepentingan sekolah dan guru yang akhirnya merugikan anak didik. RAPBS seharusnya dirancang untuk setidaknya memperingan beban biaya anak didik, yakni lewat pemenuhan segala kebutuhan siswa untuk pendidikannya. Sehingga anak didik tidak lagi dibebani dengan biaya pungutan atau sekolah untuk penyelenggaran pendidikan. Selain itu, salah satu institusi yang harus bergerak adalah badan pengawas. Badan ini yang memiliki kewenangan untuk mengawasi berbagai bentuk penyimpangan di tubuh birokrasi, tak kecuali birokrasi pendidikan seperti sekolah. Badan Pengawas Kota (Bawaskot) dituntut pro aktif untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dana BOS ini di sekolah-sekolah yang diindikasikan bermasalah.
Dan harus bersikap tegas terhadap oknum birokrasi Dinas Pendidikan atau sekolah yang melakukan pelanggaran atas penggunaan dana BOS ini. Perlu adanya tindakan sanksi administratif terhadap pejabat atau sekolah yang melakukan pelanggaran. Jika sudah bermuatan pelanggaran hukum, sudah saatnya pihak penyidik dari kepolisian untuk mengusut tuntas. ”Semua ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pihak Dinas Pendidikan Nasional mulai dari propinsi sampai kabupaten/kota. Kita
selamatkan pendidikan anak didik kita,” katanya.Harus diakui, ujarnya tidak semua sekolah, terutama yang berdomisili di pelosok yang sulit dijangkau, memiliki kelengkapan infrastruktur, seperti rekening dan data penunjang yang lainnya. Beberapa sekolah malah kedapatan sama sekali tidak memiliki rekening. Akhirnya, dana tersebut mengalir ke kas kepala sekolah atau pihak-pihak terkait yang memiliki rekening. Dan ini, jika tidak dikontrol ketat, berpotensi melahirkan penyelewengan.Gagasan adanya BOS, merupakan langkah maju dan positif yang dilakukan pemerintah saat ini untuk secara bertahap memberikan porsi perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan menengah ke bawah. Dengan BOS diharapkan angka putus sekolah semakin terkikis. Hingga pada gilirannya, setiap anak, minimal hingga tingkat menengah pertama, dapat mengenyam pendidikan secara baik, tanpa terhenti. Langkah ini perlu didukung oleh semua kalangan. Bentuknya, ikut mengkritisi dan selalu memberikan masukan positif, juga melaporkan kepada pemerintah jika ada penyimpangan yang terjadi. Segala bentuk penyelewengan yang mungkin terjadi, harus diantisipasi sedini mungkin.
“Satu hal lagi yang masih dirasakan dan dikeluhkan orang tua murid adalah masih munculnya berbagai pungutan-pungutan, baik itu yang resmi maupun yang 'ilegal' yang diterapkan pihak sekolah,” ungkapnya.Dengan adanya dana BOS, diharapkan dapat memperingan beban biaya pendidikan yang ditanggung anak didik, terutama anak didik dari kelurga miskin. Dan kalau bisa, dengan hadirnya dana BOS ini, biaya pendidikan di sekolah, terutama di tingkat SD dan SMP bisa gratis. Tapi ternyata kenyataan di lapangan, orang tua murid merasakan, ada atau tidak adanya dana BOS, biaya pendidikan sekolah masih tetap tinggi. Bahkan ada beberapa kasus total biaya pendidikan anak didik di sekolah justru bertambah besar pasca adanya program BOS ini.
Banyak Sekolah Belum Fahami Juknis Program BOS
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Banyaknya sekolah yang belum memahami petunjuk teknis (Juknis) dari program BOS. Ketidakmengertian pada program ini sering menjadi persoalan dalam pelaksanaan program dana BOS.
Demikian diungkapkan Tim Manajemen BOS Provinsi Kalbar, Maliki, Selasa (12/2).
Ia mengatakan masih banyak sekolah seringkali tidak mengerti penggunaan dana BOS itu untuk apa saja. Kadang ada sekolah justru tidak menggunakan dana BOS untuk membantu siswa yang kurang mampu. Persoalan lain yang sering menjadi kendala yaitu belum tersedianya uang transportasi untuk pengambilan dana BOS. Tidak adanya dana transportasi untuk pengambilan dana BOS ini menjadi kendala bagi sekolah-sekolah yang jauh dari bank terutama untuk sekolah-sekolah yang berada di pedalaman dan daerah terpencil yang tidak ada bank.
“Untuk mengatasi uang transportasi ini diharapkan pemerintah kabupaten dan kota dapat menganggarkan dana transportasi bagi sekolah yang jauh dari bank,” harapnya.
Di tahun ajaran 2007 ada pemisahan penyaluran dana BOS antara SD dan SMP dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan sekolah keagamaan non Islam. Kalau untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB penyaluran dana BOS masih melalui Departemen Pendidikan melalui Dinas Pendidikan sedangkan untuk MI, MTs dan sekolah keagamaan non Islam lainnya, penyaluran dana BOS dilakukan oleh Departemen Agama melalui Kanwil Depag di daerah-daerah. Tujuannya hanya untuk mempermudah dan mempercepat manajemennya tapi aturan manajemen penggunaan dana BOS tetap sama. Anggaran 2007 total dana BOS untuk Kalbar, tingkat SD/SDLB Rp 152.773.668.925 yang akan dialokasikan untuk 612.982 siswa. Sedangkan SMP/SMPLB total dana BOS Rp 58.531.864.500 untuk 175.433 siswa. Dana ini sebenarnya tidak cukup, standar unit cost untuk satu siswa baik SD maupun SMP selama satu tahun sebesar Rp 1.900.000.
“Dana BOS yang ada saat ini sangat minim, karena itu diharapkan pemerintah kabupaten dan kota dapat mengalokasikan APBD-nya untuk membantu dana BOS yang telah ada. Jangan hanya mengandalkan dana BOS dari APBN untuk pelenggaran pendidikan,” katanya. Jika dana BOS dirasakan sekolah tidak mencukupi, pihak sekolah dapat menarik iuran dari siswa sepanjang persetujuan orang tua siswa dan komite sekolah dengan catatan untuk siswa yang tidak mampu tidak boleh dibebankan iuran tersebut.
Rencana 2008 anggaran BOS Kalbar untuk SD/SDLB Rp 156.935.000.000 untuk 617.857 siswa. Sedangkan untuk SMP/SMPLB besarnya Rp 63.400.000.000 dengan jumlah siswa 179.259 orang. Untuk dana BOS 2008 dari bulan Januari sampai Maret akan turun pada bulan Maret.
Bendaharawan dana BOS SDN 14 Pontianak Selatan, Yulius Joko mengatakan dengan adanya dana BOS sekolah sangat terbantu mulai dari biaya operasional proses belajar mengajar sampai pada pembelian sarana olahraga. Dengan adanya dana BOS ini, SDN 14 tidak lagi menarik uang iuran kepada siswa.
“Seluruh siswa digratiskan dari biaya,“ katanya.
Bahkan bagi anak-anak yang tidak mampu seperti tidak punya pakaian seragam, sepatu, buku tulis dan alat-alat tulis dibantu dengan dana BOS ini. Sayangnya pencairan dana BOS ini sering terlambat.
Terbantunya sekolah dengan adanya dana BOS juga diungkapkan Kepala SMPN 6 Pontianak, Rahmanita.
Ia mengatakan dana BOS ini sangat membantu sekali siswa miskin di SMPN ini dan dana BOS diharapkan ada terus karena kasihan siswa-siswa yang tidak mampu. Meski sudah ada dana BOS, SMPN 6 masih memungut iuran pada siswa alasannya memang dana BOS tidak cukup dan ini sudah mendapat persetujuan dari orang tua murid beserta komite sekolah.
“Besarnya iuran yang dikenakan kepada siswa perbulan Rp 25.000 terdiri dari Rp 15.000 merupakan dana komite sekolah dan Rp 10.000 dana untuk membeli komputer. Karena pemerintah tidak pernah memberikan bantuan komputer sementara pelajaran komputer wajib untuk siswa,“ katanya.
Penarikan iuran komite ke siswa ini tidak dikenakan untuk siswa yang tidak mampu yang jumlahnya mencapai 100 siswa di SMP ini.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Banyaknya sekolah yang belum memahami petunjuk teknis (Juknis) dari program BOS. Ketidakmengertian pada program ini sering menjadi persoalan dalam pelaksanaan program dana BOS.
Demikian diungkapkan Tim Manajemen BOS Provinsi Kalbar, Maliki, Selasa (12/2).
Ia mengatakan masih banyak sekolah seringkali tidak mengerti penggunaan dana BOS itu untuk apa saja. Kadang ada sekolah justru tidak menggunakan dana BOS untuk membantu siswa yang kurang mampu. Persoalan lain yang sering menjadi kendala yaitu belum tersedianya uang transportasi untuk pengambilan dana BOS. Tidak adanya dana transportasi untuk pengambilan dana BOS ini menjadi kendala bagi sekolah-sekolah yang jauh dari bank terutama untuk sekolah-sekolah yang berada di pedalaman dan daerah terpencil yang tidak ada bank.
“Untuk mengatasi uang transportasi ini diharapkan pemerintah kabupaten dan kota dapat menganggarkan dana transportasi bagi sekolah yang jauh dari bank,” harapnya.
Di tahun ajaran 2007 ada pemisahan penyaluran dana BOS antara SD dan SMP dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan sekolah keagamaan non Islam. Kalau untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB penyaluran dana BOS masih melalui Departemen Pendidikan melalui Dinas Pendidikan sedangkan untuk MI, MTs dan sekolah keagamaan non Islam lainnya, penyaluran dana BOS dilakukan oleh Departemen Agama melalui Kanwil Depag di daerah-daerah. Tujuannya hanya untuk mempermudah dan mempercepat manajemennya tapi aturan manajemen penggunaan dana BOS tetap sama. Anggaran 2007 total dana BOS untuk Kalbar, tingkat SD/SDLB Rp 152.773.668.925 yang akan dialokasikan untuk 612.982 siswa. Sedangkan SMP/SMPLB total dana BOS Rp 58.531.864.500 untuk 175.433 siswa. Dana ini sebenarnya tidak cukup, standar unit cost untuk satu siswa baik SD maupun SMP selama satu tahun sebesar Rp 1.900.000.
“Dana BOS yang ada saat ini sangat minim, karena itu diharapkan pemerintah kabupaten dan kota dapat mengalokasikan APBD-nya untuk membantu dana BOS yang telah ada. Jangan hanya mengandalkan dana BOS dari APBN untuk pelenggaran pendidikan,” katanya. Jika dana BOS dirasakan sekolah tidak mencukupi, pihak sekolah dapat menarik iuran dari siswa sepanjang persetujuan orang tua siswa dan komite sekolah dengan catatan untuk siswa yang tidak mampu tidak boleh dibebankan iuran tersebut.
Rencana 2008 anggaran BOS Kalbar untuk SD/SDLB Rp 156.935.000.000 untuk 617.857 siswa. Sedangkan untuk SMP/SMPLB besarnya Rp 63.400.000.000 dengan jumlah siswa 179.259 orang. Untuk dana BOS 2008 dari bulan Januari sampai Maret akan turun pada bulan Maret.
Bendaharawan dana BOS SDN 14 Pontianak Selatan, Yulius Joko mengatakan dengan adanya dana BOS sekolah sangat terbantu mulai dari biaya operasional proses belajar mengajar sampai pada pembelian sarana olahraga. Dengan adanya dana BOS ini, SDN 14 tidak lagi menarik uang iuran kepada siswa.
“Seluruh siswa digratiskan dari biaya,“ katanya.
Bahkan bagi anak-anak yang tidak mampu seperti tidak punya pakaian seragam, sepatu, buku tulis dan alat-alat tulis dibantu dengan dana BOS ini. Sayangnya pencairan dana BOS ini sering terlambat.
Terbantunya sekolah dengan adanya dana BOS juga diungkapkan Kepala SMPN 6 Pontianak, Rahmanita.
Ia mengatakan dana BOS ini sangat membantu sekali siswa miskin di SMPN ini dan dana BOS diharapkan ada terus karena kasihan siswa-siswa yang tidak mampu. Meski sudah ada dana BOS, SMPN 6 masih memungut iuran pada siswa alasannya memang dana BOS tidak cukup dan ini sudah mendapat persetujuan dari orang tua murid beserta komite sekolah.
“Besarnya iuran yang dikenakan kepada siswa perbulan Rp 25.000 terdiri dari Rp 15.000 merupakan dana komite sekolah dan Rp 10.000 dana untuk membeli komputer. Karena pemerintah tidak pernah memberikan bantuan komputer sementara pelajaran komputer wajib untuk siswa,“ katanya.
Penarikan iuran komite ke siswa ini tidak dikenakan untuk siswa yang tidak mampu yang jumlahnya mencapai 100 siswa di SMP ini.
Walau Ada Dana BOS, Masih Banyak yang Tak Bisa Sekolah
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan setiap warga Negara yang berusia 7-12 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi undang-undang ini, pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) serta satuan pendidikan yang sederajat.
Adanya pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), amanat undang-undang dan upaya percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB negeri dan swasta, Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non Islam setara SD dan SMP yang melenggarakan wajib belajar sembilan tahun.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, Ngatman, Senin (11/2) di ruang kerjanya mengatakan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar dari SD sampai SMP dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
Program dana BOS diberikan untuk semua sekolah setingkat SD dan SMP, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Program kejar paket A dan Paket B serta Madrasah Diniyah Takmiliyah tidak termasuk sasaran program BOS ini.
Mulai ajaran 2007/2008, awal Juli 2007 lalu, SMP terbuka baik reguler dan mandiri maupun Madrasah Diniyah Formal yang menyelenggarakan Program Wajib Belajar 9 tahun juga mendapatkan dana BOS.
“Semua sekolah negeri dan swasta yang memiliki izin operasional penyelenggaraan pendidikan dan yang bersedia menerima dana BOS akan mendapatkan dana BOS setelah menandatangani Surat Perjanjian Pemberian Bantuan dana BOS,” katanya.
Untuk sekolah kaya atau yang mampu secara ekonomi yang saat ini memiliki penerimaan lebih besar dari dana BOS memiliki hak untuk menolak dana BOS. Keputusan penolakan dana BOS harus melalui persetujuan dengan orang tua siswa dan komite sekolah.
Dikatakannya besar dana BOS yang diterima oleh sekolah, madrasah dan pondok pesantren dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan SD/MI/SDLB/Salafiayah/Sekolah agama non Islam setara SD mendapat dana BOS Rp 254.000 persiswa setiap tahunnya. Sedangkan SMP/MTs/SMPLB/SMPT/Salafiyah/sekolah agama non Islam setara SMP mendapat dana BOS Rp 354.000 per siswa setiap tahunnya. Yang penyalurannya dilakukan setiap tiga bulan sekali melalui rekening sekolah.
Tim Manajemen BOS Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, Maliki mengungkapkan jika di sekolah baik tingkat SD dan SMP terdapat siswa tidak mampu (Miskin) maka sekolah tersebut diwajibkan membebaskan segala jenis pungutan, sumbangan dan iuran sekolah yang ada. Sisa dana BOS bila ada digunakan untuk mensubsidi siswa lain. Bila dana BOS cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan operasional sekolah maka sekolah tersebut dapat menyelenggarakan pendidikan gratis.
Bagi sekolah yang tidak memiliki siswa miskin maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi seluruh siswa, sehingga dapat mengurangi pungutan, sumbangan, dan iuran yang dibebankan ke siswa, minimal senilai dana BOS yang diterima sekolah.
Program BOS, dana diterima oleh sekolah secara utuh dan dikelola secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan dewan guru dan komite sekolah tanpa intervensi pihak lain.
Melalui program BOS, sekolah diharapkan dapat lebih mengembangkan dan meningkatkan pemberdayaan sekolah untuk meningkatkan akses, mutu dan manajemen sekolah, sekolah dapat melaksanakan semua kegiatan secara lebih professional, transparan, mandiri, kerja sama dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Penggunaan dana BOS oleh sekolah harus didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama antara Kepala Sekolah, Dewan Guru dan Komite Sekolah yang harus didaftarkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS),” ujarnya.
Dana BOS diutamakan digunakan untuk pembiayaaan kegiatan penerimaan siswa baru seperti biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang. Untuk baju olahraga dan seragam sekolah siswa baru tidak dari dana BOS terkecuali bagi siswa yang tidak mampu maka baju olahraga dan seragam sekolah dibantu dengan dana BOS, dana BOS juga digunakan untuk pembelian buku teks pelajaran diluar buku yang telah diberikan lewat BOS Buku dan buku refrensi untuk koleksi di sekolahan, pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, olahraga, kesenian, karya tulis ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya. Pembiayaan ulangan harian, umum, ujian, laporan hasil belajar siswa, pembelian buku-buku hasil pakai seperti buku tulis, kapur, bahan praktikum, kebutuhan sehari-hari di sekolah, dan seluruh pembiayaan yang berhubungan dengan operasional kegiatan proses belajar mengajar di sekolah termasuk perawatan sekolah dan pembayaran honor untuk guru honorer, pengembangan profesi guru seperti pelatihan semua dana operasionalnya berasal dari dana BOS.
“Yang terpenting dana BOS juga digunakan untuk pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah, sisa dana BOS jika masih ada setelah membiayai komponen-komponen yang diutamakan dari adanya dana BOS maka dapat digunakan untuk membeli alat-alat peraga, media pembelajaran,” jelasnya.
Dana BOS, kata Maliki sangat tidak boleh digunakan untuk disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan, dipinjamkan kepada pihak lain, membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar seperti studi banding, membayar bonus, transportasi atau pakaian yang tidak berkaitan dengan kepentingan murid misalnya pakai guru. Dana BOS juga tidak boleh digunakan untuk rehabilitasi gedung baik sedang dan berat, membangun gedung dan ruangan baru, membeli bahan dan peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran dan digunakan untuk menanamkan saham.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan setiap warga Negara yang berusia 7-12 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi undang-undang ini, pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) serta satuan pendidikan yang sederajat.
Adanya pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), amanat undang-undang dan upaya percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB negeri dan swasta, Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non Islam setara SD dan SMP yang melenggarakan wajib belajar sembilan tahun.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, Ngatman, Senin (11/2) di ruang kerjanya mengatakan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar dari SD sampai SMP dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
Program dana BOS diberikan untuk semua sekolah setingkat SD dan SMP, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Program kejar paket A dan Paket B serta Madrasah Diniyah Takmiliyah tidak termasuk sasaran program BOS ini.
Mulai ajaran 2007/2008, awal Juli 2007 lalu, SMP terbuka baik reguler dan mandiri maupun Madrasah Diniyah Formal yang menyelenggarakan Program Wajib Belajar 9 tahun juga mendapatkan dana BOS.
“Semua sekolah negeri dan swasta yang memiliki izin operasional penyelenggaraan pendidikan dan yang bersedia menerima dana BOS akan mendapatkan dana BOS setelah menandatangani Surat Perjanjian Pemberian Bantuan dana BOS,” katanya.
Untuk sekolah kaya atau yang mampu secara ekonomi yang saat ini memiliki penerimaan lebih besar dari dana BOS memiliki hak untuk menolak dana BOS. Keputusan penolakan dana BOS harus melalui persetujuan dengan orang tua siswa dan komite sekolah.
Dikatakannya besar dana BOS yang diterima oleh sekolah, madrasah dan pondok pesantren dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan SD/MI/SDLB/Salafiayah/Sekolah agama non Islam setara SD mendapat dana BOS Rp 254.000 persiswa setiap tahunnya. Sedangkan SMP/MTs/SMPLB/SMPT/Salafiyah/sekolah agama non Islam setara SMP mendapat dana BOS Rp 354.000 per siswa setiap tahunnya. Yang penyalurannya dilakukan setiap tiga bulan sekali melalui rekening sekolah.
Tim Manajemen BOS Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, Maliki mengungkapkan jika di sekolah baik tingkat SD dan SMP terdapat siswa tidak mampu (Miskin) maka sekolah tersebut diwajibkan membebaskan segala jenis pungutan, sumbangan dan iuran sekolah yang ada. Sisa dana BOS bila ada digunakan untuk mensubsidi siswa lain. Bila dana BOS cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan operasional sekolah maka sekolah tersebut dapat menyelenggarakan pendidikan gratis.
Bagi sekolah yang tidak memiliki siswa miskin maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi seluruh siswa, sehingga dapat mengurangi pungutan, sumbangan, dan iuran yang dibebankan ke siswa, minimal senilai dana BOS yang diterima sekolah.
Program BOS, dana diterima oleh sekolah secara utuh dan dikelola secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan dewan guru dan komite sekolah tanpa intervensi pihak lain.
Melalui program BOS, sekolah diharapkan dapat lebih mengembangkan dan meningkatkan pemberdayaan sekolah untuk meningkatkan akses, mutu dan manajemen sekolah, sekolah dapat melaksanakan semua kegiatan secara lebih professional, transparan, mandiri, kerja sama dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Penggunaan dana BOS oleh sekolah harus didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama antara Kepala Sekolah, Dewan Guru dan Komite Sekolah yang harus didaftarkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS),” ujarnya.
Dana BOS diutamakan digunakan untuk pembiayaaan kegiatan penerimaan siswa baru seperti biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang. Untuk baju olahraga dan seragam sekolah siswa baru tidak dari dana BOS terkecuali bagi siswa yang tidak mampu maka baju olahraga dan seragam sekolah dibantu dengan dana BOS, dana BOS juga digunakan untuk pembelian buku teks pelajaran diluar buku yang telah diberikan lewat BOS Buku dan buku refrensi untuk koleksi di sekolahan, pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, olahraga, kesenian, karya tulis ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya. Pembiayaan ulangan harian, umum, ujian, laporan hasil belajar siswa, pembelian buku-buku hasil pakai seperti buku tulis, kapur, bahan praktikum, kebutuhan sehari-hari di sekolah, dan seluruh pembiayaan yang berhubungan dengan operasional kegiatan proses belajar mengajar di sekolah termasuk perawatan sekolah dan pembayaran honor untuk guru honorer, pengembangan profesi guru seperti pelatihan semua dana operasionalnya berasal dari dana BOS.
“Yang terpenting dana BOS juga digunakan untuk pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah, sisa dana BOS jika masih ada setelah membiayai komponen-komponen yang diutamakan dari adanya dana BOS maka dapat digunakan untuk membeli alat-alat peraga, media pembelajaran,” jelasnya.
Dana BOS, kata Maliki sangat tidak boleh digunakan untuk disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan, dipinjamkan kepada pihak lain, membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar seperti studi banding, membayar bonus, transportasi atau pakaian yang tidak berkaitan dengan kepentingan murid misalnya pakai guru. Dana BOS juga tidak boleh digunakan untuk rehabilitasi gedung baik sedang dan berat, membangun gedung dan ruangan baru, membeli bahan dan peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran dan digunakan untuk menanamkan saham.
Sejuta Makna dalam Novel Ayat-Ayat Cinta
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Namun kau hidup mengaliri
Pori-pori cinta dan semangatku
Sebab kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku…(AAC, hal 198). Ini adalah satu kata mutiara mungkin dapat sedikit mewakili dari sejuta makna yang terkandung dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Dan satu-satunya kelemahan novel ini adalah tokoh utamanya tidak memiliki kelemahan.
Di Indonesia memang sulit mencari tokoh seperti Fahri. Tapi di Mesir banyak, jadi Fahri memang benar-benar ada dan bukan makhluq langit. Tapi Fahri yang asli tidak menikahi gadis Turki. Dia menikahi gadis Solo.
“Subhanallah ayat-ayat cinta, tidak sebagaimana kekhwatiran saya bahwa isinya akan ‘melangit’. Ia memang tinggi, memberikan teladan keagungan dan kesucian yang memelangi. Tapi ia pun turun, hadir menemani hati-hati yang merindu, mengetuk sanubari ribuan manusia, menawarkan nilai dan keyakinan yang kian gharib. Di negeri ini, ia asing tapi dirindukan, ia indah untuk dijadikan teladan, ia manis untuk dijadikan harapan,” kata Fakhrul, Pembedah Novel Ayat-Ayat Cinta, dalam acara Bedah Novel Ayat-ayat Cinta (AAC) Rabu (13/2) di Gramedia Mega Mall yang diadakan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) AL- Iqhtisod fakultas Ekonomi Untan.
Ia menceritakan Ayat–ayat cinta menggariskan takdirnya sebagai buku yang barakah. Seperti kata Umberto Eco dalam Il Namo della Rosa, “Sed opera sapinteae certa lege vallantur et in fine debitum efficaciter diri guntur.
Didekat barakah kemanfaatan Ayat-Ayat Cinta bagi pembacanya, penulis mengajak pembaca belajar tentang betapa bermaknanya keikhlasan bagi seorang yang telah menjajakan harta dan jiwanya di jalan Allah. Inilah kekuatan niat suci. Inilah ilmu ikhlas. Ya, Allah telah membuat perumpamaan yang indah tentang keikhlasan.
“Meski, betapa sulitnya ikhlas itu, Alhamdulillah, Ayat-Ayat Cinta mengajari kita bahwa ikhlas itu bisa dan harus diupayakan,” ceritanya.
Novel Ayat-Ayat Cinta yang memendarkan berjuta cahaya itu, Dari merekalah pembaca belajar tentang kesejatian, kejujuran perasaan, dan ungkapan penuh kelembutan. Diceritakan dalam novel AAC tersebut Noura seorang wanita dengan kerentanan perasaannya setelah kezhaliman-kezhaliman yang dialaminya tentu merasakan suatu getaran khusus, getaran yang sangat istimewa ketika seorang pemuda memberikan perhatian kepadanya. Mungkin, si pemuda memandang bahwa hal ini memang sudah selayaknya.
Tapi karena orang lain tak pernah melakukannya, yang seharusnya itu menjadi sangat istimewa. Maka ia bertutur, “Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tiada memiliki siapa-siapa selain Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama datang memberikan rasa simpati dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku, ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.” (AAC, hal 165).
Inilah hati seorang wanita yang telah tersentuh rasa, maka ia ingin memberikan segalanya.
“Dalam hatiku, keinginanku saat ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada terkira dalamnya terhujam dalam dada, aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya, dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu.” (AAC, hal 167).
Tak banyak kisah tentang Noura. Yang jelas, kisah ini berujung pada pengadilan yang menduhkan perkosaan atas Noura kepada Fahri. Posisi perasaan seperti ini apa yang dialami Noura sehingga ia tega mengubah cintanya yang begitu dalam kepada Fahri menjadi sebuah fitnah yang keji.
“Noura yang seorang wanita Mesir, mengingatkan saya pada wanita Mesir lain yang diabadikan dalam Al Qur’an. Ia, wanita yang tak disebut namanya oleh Al Qur’an kecuali sebagai Imra’atul ‘Aziiz (isterinya pejabat). Ia, wanita yang terpesona pada Yusuf seperti Noura terpesona pada Fahri. Tetapi ia melangkah lebih jauh dengan menggoda Yusuf untuk berma’siat. Dan ketika ajakan itu bertepuk sebelah jiwa, ia melontarkan tuduhan sebagaimana Noura,” ungkapnya.
Inilah cinta, entah dalam versinya yang ke berapa. Cinta yang sangat posesif. Tuntutan kepemilikan yang sangat tinggi dan kecemburuan yang melahirkan tindakan fatal. Cinta ini, kata Erich Fromm, tumbuh pada mereka yang masa lalunya dipenuhi perasaan tidak aman. Bahkan meski itu sekedar dari orang tua yang tidak pernah memberi kepercayaan dalam cinta yang mereka berikan pada anak-anaknya.
Harmi Cahyani, Penulis Novel Ashley : Somebody Help me yang juga menjadi pembedah novel Ayat-ayat Cinta mengungkapkan Bagi para pencinta buku di tanah air, terutama penggemar buku-buku fiksi islami, pasti tidak asing lagi dengan nama Habiburrahman ElShirazy. Dialah penulis novel populer Ayat Ayat Cinta (AAC). Novel AAC adalah satu novel best seller, di mana penjualannya sudah mencapai angka 70.000 eksemplar.
Habiburrahman mengaku bahwa kandungan ayat-ayat Alquran telah menjadi ilham dan inspirasi baginya untuk menulis cerita dengan kata-kata yang indah. Ketika menaburi Surat Zukruf ayat 64 dan Surat Yusuf yang berisi kisah cinta yang universal, ia terinspirasi untuk menulis dan jadilah novel Ayat Ayat Cinta yang mendapat sambutan hangat dari kaum muda muslim dan pencinta fiksi-fiksi islami.
Sejak baris pertama membaca novel ini, pembaca akan terjerat pada kehalusan penulis dalam memotret suasana alam Mesir. Fahri sebagai tokoh utama dikenalkan kepada pembaca melalui rangkaian kegiatan sehari-hari santri metropolis ini. Penulis berhasil menghidupkan tokoh Fahri, bahkan kita seolah-olah menjadi Fahri dalam novel ini.El Shirazy berhasil melukiskan suasana kehidupan Mesir yang menjadi latar belakang cerita ini dengan begitu mengesankan, karena ia mengalami sendiri hari-hari di negeri beribu kota Kairo ini. Kita seakan merasakan langsung suasana Mesir dalam panas 41 derajat Celsius. Gambaran budaya masyarakatnya. Humor-humor segar yang digunakan dan banyak lagi.
Memang benar apa yang dikatakan Hadi Susanto dalam pengantarnya, novel itu pas disebut sebagai novel pembangun jiwa. El Shirazy mampu menyisipkan pesan-pesan moral dalam ceritanya. Pesan dakwah dijasadkan dengan sangat halus yang jauh dari kesan dipaksakan. Bahkan tanpa kita sadari ilmu fikih dan akidah kita bertambah setelah kita mengikuti dialog-dialog yang disampaikan.
Novel ini pun mengandung kisah asmara yang romantis dan humanis. Hati kita akan gerimis usai membacanya. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diungkapkan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. “Adegan percintaan pun dikemas dengan sangat manis dan cantik serta menggemaskan namun tidak terjatuh dalam kevulgaran,“ jelasnya.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Namun kau hidup mengaliri
Pori-pori cinta dan semangatku
Sebab kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku…(AAC, hal 198). Ini adalah satu kata mutiara mungkin dapat sedikit mewakili dari sejuta makna yang terkandung dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Dan satu-satunya kelemahan novel ini adalah tokoh utamanya tidak memiliki kelemahan.
Di Indonesia memang sulit mencari tokoh seperti Fahri. Tapi di Mesir banyak, jadi Fahri memang benar-benar ada dan bukan makhluq langit. Tapi Fahri yang asli tidak menikahi gadis Turki. Dia menikahi gadis Solo.
“Subhanallah ayat-ayat cinta, tidak sebagaimana kekhwatiran saya bahwa isinya akan ‘melangit’. Ia memang tinggi, memberikan teladan keagungan dan kesucian yang memelangi. Tapi ia pun turun, hadir menemani hati-hati yang merindu, mengetuk sanubari ribuan manusia, menawarkan nilai dan keyakinan yang kian gharib. Di negeri ini, ia asing tapi dirindukan, ia indah untuk dijadikan teladan, ia manis untuk dijadikan harapan,” kata Fakhrul, Pembedah Novel Ayat-Ayat Cinta, dalam acara Bedah Novel Ayat-ayat Cinta (AAC) Rabu (13/2) di Gramedia Mega Mall yang diadakan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) AL- Iqhtisod fakultas Ekonomi Untan.
Ia menceritakan Ayat–ayat cinta menggariskan takdirnya sebagai buku yang barakah. Seperti kata Umberto Eco dalam Il Namo della Rosa, “Sed opera sapinteae certa lege vallantur et in fine debitum efficaciter diri guntur.
Didekat barakah kemanfaatan Ayat-Ayat Cinta bagi pembacanya, penulis mengajak pembaca belajar tentang betapa bermaknanya keikhlasan bagi seorang yang telah menjajakan harta dan jiwanya di jalan Allah. Inilah kekuatan niat suci. Inilah ilmu ikhlas. Ya, Allah telah membuat perumpamaan yang indah tentang keikhlasan.
“Meski, betapa sulitnya ikhlas itu, Alhamdulillah, Ayat-Ayat Cinta mengajari kita bahwa ikhlas itu bisa dan harus diupayakan,” ceritanya.
Novel Ayat-Ayat Cinta yang memendarkan berjuta cahaya itu, Dari merekalah pembaca belajar tentang kesejatian, kejujuran perasaan, dan ungkapan penuh kelembutan. Diceritakan dalam novel AAC tersebut Noura seorang wanita dengan kerentanan perasaannya setelah kezhaliman-kezhaliman yang dialaminya tentu merasakan suatu getaran khusus, getaran yang sangat istimewa ketika seorang pemuda memberikan perhatian kepadanya. Mungkin, si pemuda memandang bahwa hal ini memang sudah selayaknya.
Tapi karena orang lain tak pernah melakukannya, yang seharusnya itu menjadi sangat istimewa. Maka ia bertutur, “Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tiada memiliki siapa-siapa selain Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama datang memberikan rasa simpati dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku, ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.” (AAC, hal 165).
Inilah hati seorang wanita yang telah tersentuh rasa, maka ia ingin memberikan segalanya.
“Dalam hatiku, keinginanku saat ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada terkira dalamnya terhujam dalam dada, aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya, dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu.” (AAC, hal 167).
Tak banyak kisah tentang Noura. Yang jelas, kisah ini berujung pada pengadilan yang menduhkan perkosaan atas Noura kepada Fahri. Posisi perasaan seperti ini apa yang dialami Noura sehingga ia tega mengubah cintanya yang begitu dalam kepada Fahri menjadi sebuah fitnah yang keji.
“Noura yang seorang wanita Mesir, mengingatkan saya pada wanita Mesir lain yang diabadikan dalam Al Qur’an. Ia, wanita yang tak disebut namanya oleh Al Qur’an kecuali sebagai Imra’atul ‘Aziiz (isterinya pejabat). Ia, wanita yang terpesona pada Yusuf seperti Noura terpesona pada Fahri. Tetapi ia melangkah lebih jauh dengan menggoda Yusuf untuk berma’siat. Dan ketika ajakan itu bertepuk sebelah jiwa, ia melontarkan tuduhan sebagaimana Noura,” ungkapnya.
Inilah cinta, entah dalam versinya yang ke berapa. Cinta yang sangat posesif. Tuntutan kepemilikan yang sangat tinggi dan kecemburuan yang melahirkan tindakan fatal. Cinta ini, kata Erich Fromm, tumbuh pada mereka yang masa lalunya dipenuhi perasaan tidak aman. Bahkan meski itu sekedar dari orang tua yang tidak pernah memberi kepercayaan dalam cinta yang mereka berikan pada anak-anaknya.
Harmi Cahyani, Penulis Novel Ashley : Somebody Help me yang juga menjadi pembedah novel Ayat-ayat Cinta mengungkapkan Bagi para pencinta buku di tanah air, terutama penggemar buku-buku fiksi islami, pasti tidak asing lagi dengan nama Habiburrahman ElShirazy. Dialah penulis novel populer Ayat Ayat Cinta (AAC). Novel AAC adalah satu novel best seller, di mana penjualannya sudah mencapai angka 70.000 eksemplar.
Habiburrahman mengaku bahwa kandungan ayat-ayat Alquran telah menjadi ilham dan inspirasi baginya untuk menulis cerita dengan kata-kata yang indah. Ketika menaburi Surat Zukruf ayat 64 dan Surat Yusuf yang berisi kisah cinta yang universal, ia terinspirasi untuk menulis dan jadilah novel Ayat Ayat Cinta yang mendapat sambutan hangat dari kaum muda muslim dan pencinta fiksi-fiksi islami.
Sejak baris pertama membaca novel ini, pembaca akan terjerat pada kehalusan penulis dalam memotret suasana alam Mesir. Fahri sebagai tokoh utama dikenalkan kepada pembaca melalui rangkaian kegiatan sehari-hari santri metropolis ini. Penulis berhasil menghidupkan tokoh Fahri, bahkan kita seolah-olah menjadi Fahri dalam novel ini.El Shirazy berhasil melukiskan suasana kehidupan Mesir yang menjadi latar belakang cerita ini dengan begitu mengesankan, karena ia mengalami sendiri hari-hari di negeri beribu kota Kairo ini. Kita seakan merasakan langsung suasana Mesir dalam panas 41 derajat Celsius. Gambaran budaya masyarakatnya. Humor-humor segar yang digunakan dan banyak lagi.
Memang benar apa yang dikatakan Hadi Susanto dalam pengantarnya, novel itu pas disebut sebagai novel pembangun jiwa. El Shirazy mampu menyisipkan pesan-pesan moral dalam ceritanya. Pesan dakwah dijasadkan dengan sangat halus yang jauh dari kesan dipaksakan. Bahkan tanpa kita sadari ilmu fikih dan akidah kita bertambah setelah kita mengikuti dialog-dialog yang disampaikan.
Novel ini pun mengandung kisah asmara yang romantis dan humanis. Hati kita akan gerimis usai membacanya. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diungkapkan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. “Adegan percintaan pun dikemas dengan sangat manis dan cantik serta menggemaskan namun tidak terjatuh dalam kevulgaran,“ jelasnya.
FKIP Untan Akan Sertifikasi 5075 Guru Tahun Ini
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sukses menyelenggarakan program sertifikasi guru selama 2007, Rayon XX FKIP Untan kembali merencanakan sertifikasi 5.075 guru untuk tahun ini. Program yang dinilai sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas guru di Kalbar ini harus terus dilaksanakan sampai semua guru di Kalbar sudah disertifikasi.
Demikian dikatakan Dekan FKIP Untan, Aswandi, di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Program sertifikasi 2008 ini akan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan (Diknas) Kalbar dan Departemen Agama (Depag). Kuota guru yang akan disertifikasi dari Diknas provinsi ada 4.210 guru sedangkan dari Depag berjumlah 865 guru dari berbagai disiplin ilmu dan jenjang pendidikan.
”Dalam pelaksanaan sertifikasi nanti kita akan berusaha memperbaiki hal-hal yang dinilai masih ada kekurangan dari pelaksanaan sertifikasi tahun lalu. Karena itu, FKIP saat ini sedang merencanakan program tersebut secara maksimal agar dapat memenuhi tiga point pokok yaitu bersikap objektif, transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan,“ ujarnya.
Aswandi mengharapkan ada kerjasama yang lebih baik dalam pelaksanaan sertifikasi di tahun ini antara Diknas, Depag dan FKIP terutama dalam sosialisasi ke guru-guru. Karena selama ini tidak lulusnya guru dalam mengikuti program sertifikasi, sebagian besar disebabkan tidak mengertinya guru-guru tentang komponen-komponen yang harus dilengkapi untuk menyusun portopolio. Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas
profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran yang mencakup kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
“10 Komponen inilah yang harus dipersiapkan oleh guru,” jelasnya.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru, lanjut Aswandi untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan
pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.
Portofolio juga berfungsi sebagai wahana guru untuk menampilkan dan membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung, informasi dan data dalam memberikan pertimbangan tingkat
kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi, dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.
Guru harus segera mempersiapkan diri dan memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan kualitas dan potensi diri. Untuk Diknas baik provinsi dan kabupaten harus segera dapat mensosialisasikan ke guru-guru terutama guru-guru di daerah pedalaman. Agar 9.000 guru di Kalbar yang belum di sertifikasi mengetahui program ini.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sukses menyelenggarakan program sertifikasi guru selama 2007, Rayon XX FKIP Untan kembali merencanakan sertifikasi 5.075 guru untuk tahun ini. Program yang dinilai sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas guru di Kalbar ini harus terus dilaksanakan sampai semua guru di Kalbar sudah disertifikasi.
Demikian dikatakan Dekan FKIP Untan, Aswandi, di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Program sertifikasi 2008 ini akan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan (Diknas) Kalbar dan Departemen Agama (Depag). Kuota guru yang akan disertifikasi dari Diknas provinsi ada 4.210 guru sedangkan dari Depag berjumlah 865 guru dari berbagai disiplin ilmu dan jenjang pendidikan.
”Dalam pelaksanaan sertifikasi nanti kita akan berusaha memperbaiki hal-hal yang dinilai masih ada kekurangan dari pelaksanaan sertifikasi tahun lalu. Karena itu, FKIP saat ini sedang merencanakan program tersebut secara maksimal agar dapat memenuhi tiga point pokok yaitu bersikap objektif, transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan,“ ujarnya.
Aswandi mengharapkan ada kerjasama yang lebih baik dalam pelaksanaan sertifikasi di tahun ini antara Diknas, Depag dan FKIP terutama dalam sosialisasi ke guru-guru. Karena selama ini tidak lulusnya guru dalam mengikuti program sertifikasi, sebagian besar disebabkan tidak mengertinya guru-guru tentang komponen-komponen yang harus dilengkapi untuk menyusun portopolio. Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas
profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran yang mencakup kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
“10 Komponen inilah yang harus dipersiapkan oleh guru,” jelasnya.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru, lanjut Aswandi untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan
pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.
Portofolio juga berfungsi sebagai wahana guru untuk menampilkan dan membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung, informasi dan data dalam memberikan pertimbangan tingkat
kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi, dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.
Guru harus segera mempersiapkan diri dan memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan kualitas dan potensi diri. Untuk Diknas baik provinsi dan kabupaten harus segera dapat mensosialisasikan ke guru-guru terutama guru-guru di daerah pedalaman. Agar 9.000 guru di Kalbar yang belum di sertifikasi mengetahui program ini.
Jumat, 15 Februari 2008
Mestinya Kadishut Provinsi Jadi Tersangka
* 15 Ribu Gelondong Akan Segera Diamankan
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
DPR, Pemerintah, Dinas Kehutanan dan seluruh aparat penegak hukum baik kejaksaan dan polisi pada jajarannya di tingkat provinsi maupun kabupaten harus mempunyai kemauan politik (political will) yang sama terhadap pemberantasan illegal logging (IL). Kalau tidak ada political will yang sama di semua instansi terkait masalah penanganan IL seperti sapi perahan saja. Artinya pelaku IL jika ingin bebas harus membayar ke semua instansi terkait mulai dari tingkat desa sampai tingkat provinsi.
“Semua instansi terkait bertanggung jawab terhadap kasus IL. Karena kasus IL merupakan perbuatan yang sistematik. Kalau pemerintah benar-benar ingin memutuskan mata rantai IL maka semua instansi harus bekerjasama bukan malah saling tuding, saling menyalahkan dan saling melempar tanggung jawab. Perbuatan IL yang bersifat sistematik ini karena pelaku IL justru berlindung pada aturan undang-undang. Misalnya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) pada Hak Penguasaan Hasil Hutan (HPHH) 100 hektar (Ha),” ungkap akademisi Fakultas Hukum Untan, Rousdy Said, Senin (4/2) saat ditemui di ruang kerjanya.
”Betulkah Dinas Kehutanan Provinsi tidak terlibat dalam pengeluaran dan pendistribusian SKSHH pada setiap kasus IL? Mengapa hanya kepala Dinas Kehutanan Sintang saja yang dijadikan tersangka oleh aparat kepolisian?” katanya.
Keluarnya SKSHH itu merupakan kewenangan Dishut Provinsi Kalbar dan Dishut Kalbar yang paling bertanggung jawab dalam kasus IL yang terjadi selama ini. Yang paling mengherankan, kata Rousdy kenapa baru sekarang kasus dokumen palsu SKSHH dituntaskan? Ini terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Kalbar tidak menuntaskan kebijakan Menteri bahwa dokumen SKSHH untuk kayu areal hak penguasaan hasil hutan (HPHH) 100 hektar (Ha) tidak boleh dikeluarkan lagi. Kejadian pada kasus Nokan Lipung di Kecamatan Serawai Ambalau Sintang adalah kesalahan Kepala Dinas Kehutanan Kalbar. Sebab baru sekarang menuntaskan program tersebut.
“Seharusnya Kepala Dinas Kehutanan Provinsi yang menjadi tersangka,” ujarnya.
Proses keluarnya SKSHH itu sudah jelas berawal dari Dinas Kehutanan Kabupaten mengajukan permohonan keluarnya SKSHH ke Dinas Kehutanan Provinsi. Nah Dinas Kehutanan Provinsi yang mengeluarkan dan mendistribusikan SKSHH tersebut. Adanya saling menyalahkan antara DPR dengan pihak kepolisian dalam kasus IL karena memang masing-masing pihak kepentingan. DPR dan Dishut sebagai institusi pemerintahan dan wakil rakyat seharusnya turun ke masyarakat untuk mensosialisasikan bahwa SKSHH itu sudah tidak berlaku lagi dan memberikan penyuluhan pada masyarakat agar tidak melakukan pembalakan liar.
“Untuk aparat penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan harus menjadi ujung tombak dalam penyelesaian kasus IL. Tapi yang terjadi kenapa kayu bisa lolos sampai keluar. Padahal setiap kecamatan ada polsek dan babinsanya. Dan kayu keluar pastinya melewati wilayah hukum polsek dan babinsa yang ada di kecamatan. Pertanyaannya apakah polsek dan babinsa tidak mengetahui? Kalau tidak mengetahui seberapa jauh pertanggungjawaban hukum dari polsek dan babinsa,” tanya Rousdy.
Kondisi ini, lanjutnya menunjukkan tidak ada keseriusan penegakan hukum dalam pemberantasan IL. Belum lagi kerja kejaksaan yang tidak pernah benar. Setiap kasus IL setelah lewat persidangan pastinya selalu bebas atau hukumannya ringan. Berarti ada diskriminasi dalam penegakan hukum. Padahal negara dirugikan puluhan triliun dalam kasus-kasus IL.
Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi mengatakan menangani IL bagi polisi merupakan hal yang sangat dilematis. Satu sisi polisi harus menegakkan hukum, di sisi lain polisi akan berhadapan dengan masyarakat yang ingin kayu dilepas. Buktinya saat masyarakat mendatangi Polres Sintang agar kayu yang telah ditangkap dapat dibebaskan. Apalagi saat ini ada 21 rakit kayu sedang dalam perjalanan dari arah Putusibau menuju Sintang dan sudah berada di perbatasan Putusibau- Sintang yang katanya milik 1000 warga. Kalau polisi menangkap 21 rakit kayu tersebut dikuatirkan akan berbenturan dengan masyarakat, tapi jika kayu tersebut dibiarkan lewat berarti polisi membenarkan adanya tindakan illegal logging. “Di belakang 21 rakit kayu jenis meranti tersebut masih ada 34 rakit lagi yang masih berada di sekitar Danau Sentarum dan akan lewat Sintang,” katanya.
Jadi, kata Suhadi kalau dijumlah seluruhnya ada 55 rakit kayu, jika perakitnya ada 700 gelondong kayu berarti ada sekitar 15.000 gelondong kayu yang akan lewat. Pihak kepolisian Sintang akan segera menangkap kayu tersebut.
Untuk menyelesaikan IL di Kalbar diharapkan semua pihak yang berwenang dapat memberikan perannya. Jangan hanya bisa menyalahkan pihak kepolisian. Selama ini pihak kepolisian hanya menerima limbah dari IL. Kayu ditangkap disalahkan tidak ditangkap lebih disalahkan.
“Seluruh pihak mari bersama-sama berperan aktif dalam upaya pemberantasan IL supaya IL tidak terjadi lagi,” ajak Suhadi.
Sebenarnya pihak kepolisian tidak perlu menangkap kayu jika memang Dinas Kehutanan, DPR dan pemerintah baik provinsi dan kabupaten bertindak turun ke lapangan melakukan pencegahan melalui penyuluhan ke masyarakat. DPR jangan hanya menyalahkan polisi saja, tapi juga melakukan tindakan konkret untuk mengatasi IL dengan mensosialisasikan pada masyarakat dampak dari IL. Pemerintah daerah Kabupaten juga harus memberikan imbauan dan mempercepat program kesejahteraan rakyat agar masyarakat tidak mencuri kayu lagi.
Saat ini ada modus baru dari para pelaku IL agar kayu bisa lolos yaitu dengan memanfaatkan masyarakat sebagai tameng dari para cukong kayu. Para cukong sering menyuruh masyarakat yang membawa kayu keluar dengan bayaran. Tujuannya ingin membenturkan polisi dengan masyarakat. Karena itu polisi mengimbau masyarakat agar tidak mau dijadikan tameng oleh para cukong kayu.
“Saya berharap ada kerjasama semua instansi termasuk media untuk membangun opini bahwa tindakan IL adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum,” tuturnya. ■
* 15 Ribu Gelondong Akan Segera Diamankan
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
DPR, Pemerintah, Dinas Kehutanan dan seluruh aparat penegak hukum baik kejaksaan dan polisi pada jajarannya di tingkat provinsi maupun kabupaten harus mempunyai kemauan politik (political will) yang sama terhadap pemberantasan illegal logging (IL). Kalau tidak ada political will yang sama di semua instansi terkait masalah penanganan IL seperti sapi perahan saja. Artinya pelaku IL jika ingin bebas harus membayar ke semua instansi terkait mulai dari tingkat desa sampai tingkat provinsi.
“Semua instansi terkait bertanggung jawab terhadap kasus IL. Karena kasus IL merupakan perbuatan yang sistematik. Kalau pemerintah benar-benar ingin memutuskan mata rantai IL maka semua instansi harus bekerjasama bukan malah saling tuding, saling menyalahkan dan saling melempar tanggung jawab. Perbuatan IL yang bersifat sistematik ini karena pelaku IL justru berlindung pada aturan undang-undang. Misalnya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) pada Hak Penguasaan Hasil Hutan (HPHH) 100 hektar (Ha),” ungkap akademisi Fakultas Hukum Untan, Rousdy Said, Senin (4/2) saat ditemui di ruang kerjanya.
”Betulkah Dinas Kehutanan Provinsi tidak terlibat dalam pengeluaran dan pendistribusian SKSHH pada setiap kasus IL? Mengapa hanya kepala Dinas Kehutanan Sintang saja yang dijadikan tersangka oleh aparat kepolisian?” katanya.
Keluarnya SKSHH itu merupakan kewenangan Dishut Provinsi Kalbar dan Dishut Kalbar yang paling bertanggung jawab dalam kasus IL yang terjadi selama ini. Yang paling mengherankan, kata Rousdy kenapa baru sekarang kasus dokumen palsu SKSHH dituntaskan? Ini terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Kalbar tidak menuntaskan kebijakan Menteri bahwa dokumen SKSHH untuk kayu areal hak penguasaan hasil hutan (HPHH) 100 hektar (Ha) tidak boleh dikeluarkan lagi. Kejadian pada kasus Nokan Lipung di Kecamatan Serawai Ambalau Sintang adalah kesalahan Kepala Dinas Kehutanan Kalbar. Sebab baru sekarang menuntaskan program tersebut.
“Seharusnya Kepala Dinas Kehutanan Provinsi yang menjadi tersangka,” ujarnya.
Proses keluarnya SKSHH itu sudah jelas berawal dari Dinas Kehutanan Kabupaten mengajukan permohonan keluarnya SKSHH ke Dinas Kehutanan Provinsi. Nah Dinas Kehutanan Provinsi yang mengeluarkan dan mendistribusikan SKSHH tersebut. Adanya saling menyalahkan antara DPR dengan pihak kepolisian dalam kasus IL karena memang masing-masing pihak kepentingan. DPR dan Dishut sebagai institusi pemerintahan dan wakil rakyat seharusnya turun ke masyarakat untuk mensosialisasikan bahwa SKSHH itu sudah tidak berlaku lagi dan memberikan penyuluhan pada masyarakat agar tidak melakukan pembalakan liar.
“Untuk aparat penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan harus menjadi ujung tombak dalam penyelesaian kasus IL. Tapi yang terjadi kenapa kayu bisa lolos sampai keluar. Padahal setiap kecamatan ada polsek dan babinsanya. Dan kayu keluar pastinya melewati wilayah hukum polsek dan babinsa yang ada di kecamatan. Pertanyaannya apakah polsek dan babinsa tidak mengetahui? Kalau tidak mengetahui seberapa jauh pertanggungjawaban hukum dari polsek dan babinsa,” tanya Rousdy.
Kondisi ini, lanjutnya menunjukkan tidak ada keseriusan penegakan hukum dalam pemberantasan IL. Belum lagi kerja kejaksaan yang tidak pernah benar. Setiap kasus IL setelah lewat persidangan pastinya selalu bebas atau hukumannya ringan. Berarti ada diskriminasi dalam penegakan hukum. Padahal negara dirugikan puluhan triliun dalam kasus-kasus IL.
Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi mengatakan menangani IL bagi polisi merupakan hal yang sangat dilematis. Satu sisi polisi harus menegakkan hukum, di sisi lain polisi akan berhadapan dengan masyarakat yang ingin kayu dilepas. Buktinya saat masyarakat mendatangi Polres Sintang agar kayu yang telah ditangkap dapat dibebaskan. Apalagi saat ini ada 21 rakit kayu sedang dalam perjalanan dari arah Putusibau menuju Sintang dan sudah berada di perbatasan Putusibau- Sintang yang katanya milik 1000 warga. Kalau polisi menangkap 21 rakit kayu tersebut dikuatirkan akan berbenturan dengan masyarakat, tapi jika kayu tersebut dibiarkan lewat berarti polisi membenarkan adanya tindakan illegal logging. “Di belakang 21 rakit kayu jenis meranti tersebut masih ada 34 rakit lagi yang masih berada di sekitar Danau Sentarum dan akan lewat Sintang,” katanya.
Jadi, kata Suhadi kalau dijumlah seluruhnya ada 55 rakit kayu, jika perakitnya ada 700 gelondong kayu berarti ada sekitar 15.000 gelondong kayu yang akan lewat. Pihak kepolisian Sintang akan segera menangkap kayu tersebut.
Untuk menyelesaikan IL di Kalbar diharapkan semua pihak yang berwenang dapat memberikan perannya. Jangan hanya bisa menyalahkan pihak kepolisian. Selama ini pihak kepolisian hanya menerima limbah dari IL. Kayu ditangkap disalahkan tidak ditangkap lebih disalahkan.
“Seluruh pihak mari bersama-sama berperan aktif dalam upaya pemberantasan IL supaya IL tidak terjadi lagi,” ajak Suhadi.
Sebenarnya pihak kepolisian tidak perlu menangkap kayu jika memang Dinas Kehutanan, DPR dan pemerintah baik provinsi dan kabupaten bertindak turun ke lapangan melakukan pencegahan melalui penyuluhan ke masyarakat. DPR jangan hanya menyalahkan polisi saja, tapi juga melakukan tindakan konkret untuk mengatasi IL dengan mensosialisasikan pada masyarakat dampak dari IL. Pemerintah daerah Kabupaten juga harus memberikan imbauan dan mempercepat program kesejahteraan rakyat agar masyarakat tidak mencuri kayu lagi.
Saat ini ada modus baru dari para pelaku IL agar kayu bisa lolos yaitu dengan memanfaatkan masyarakat sebagai tameng dari para cukong kayu. Para cukong sering menyuruh masyarakat yang membawa kayu keluar dengan bayaran. Tujuannya ingin membenturkan polisi dengan masyarakat. Karena itu polisi mengimbau masyarakat agar tidak mau dijadikan tameng oleh para cukong kayu.
“Saya berharap ada kerjasama semua instansi termasuk media untuk membangun opini bahwa tindakan IL adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum,” tuturnya. ■
Senin, 11 Februari 2008
Dunia Pendidikan Kerap Abaikan Perlindungan Anak
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Dunia pendidikan kerap melupakan persoalan perlindungan pada anak. Kondisi ini terlihat dari sering terjadinya kasus guru melakukan kekerasan pada anak dalam proses belajar mengajar.
Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat (Hanura), Tuti Hanurita Jumat (8/2) di ruang kerjanya.
Guru yang seharusnya melindungi siswa sebagai anak terutama di sekolahan justru melakukan tindakan kekerasan pada siswa maka siapa lagi yang akan memberikan kasih sayang. Apalagi kalau ada siswa di rumahnya sudah sering mendapatkan kekerasan dari keluarga kemudian ditambah kekerasan oleh gurunya di sekolah maka tidak dapat dibayangkan bagaimana penderitaan jiwa anak itu.
“Untuk itu, maka perlu ada peningkatan kualitas guru konseling untuk memahami masalah perlindungan anak,” katanya.
Selama ini kasus-kasus tindak kekerasan guru pada siswa dalam proses pembelajaran seperti cara mengajar guru yang keras, kasar, memukul siswa, mencubit atau memberikan hukuman lain seperti mencuci WC dan tidak boleh mengikuti pelajaran. Kasus-kasus ini biasanya sama sekali tidak tersentuh oleh hukum pada hal sudah jelas hal tersebut melanggar undang-undang No 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak bahwa anak dilindungi baik fisik maupun mental. Dan guru yang menjadi pelaku kekerasan tersebut biasanya hanya mendapat hukuman administrasi seperti dipindahkan.
”Sedangkan proses hukumnya minim bahkan tidak jalan,” ungkapnya.
Kalau kondisi ini terus dibiarkan maka siswa akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas intelektualnya karena siswa mendapat tekanan mental. Keadaan kekerasan anak dalam dunia pendidikan tidak boleh terus dibiarkan karena sangat berpengaruh pada pertumbuhan jiwa siswa. Anak di sekolah harus dijamin untuk benar-benar dapat berkreativitas agar potensi dalam diri siswa dapat dikembangkan.
Sampai saat ini kasus yang masuk ke Hanura, lanjut Tuti seringkali justru anak dipersalahkan karena dianggap telah menyulut emosi guru. Untuk menghindari semakin banyaknya kasus kekerasan anak di sekolah ke depan guru perlu diberi pelatihan agar guru mengetahui undang-undanga tentang perlindungan anak. Ke depannya diharapkan menjadi program pemerintah. Selain itu tindakan kekerasan guru pada siswa juga harus ditindak dengan menegakkan proses hukum.
Teguh, Guru SMPN 18 Pontianak mengatakan mestinya sekolah menjadi rumah kedua bagi anak di mana mereka banyak meluangkan waktu dalam memperoleh pendidikan. Penyelenggara sekolah harus jadi orang tua kedua dalam pengasuhan anak.
Sayangnya kekerasan pada anak justru terjadi di lembaga yang bernama sekolah. Di mana sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi anak. Ketika siswa dianggap sebagai objek yang akan menerima apa pun dari gurunya, maka disitu ada peluang terjadi kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak. Guru biasanya berlindung di balik alasan mendisiplinkan anak. Bukan tidak boleh memberi pelajaran disiplin pada anak tapi kadang guru itu lupa bahwa anak-anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Contoh yang sering terjadi adalah siswa dipaksa pulang karena telat.
”Menurut pandangan saya tidak perlu siswa di suruh pulang karena datang ke sekolah kan sudah berniat dari rumahnya untuk belajar,” katanya.
Prinsipnya belajar paling efektif bagi anak adalah ketika kebutuhan fisiknya terpenuhi dan ketika secara psikologis mereka merasa aman. Siswa membangun pengetahuan mulai dari yang mereka ketahui. Siswa belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa di sekitarnya dan teman sebayanya untuk menjadi mandiri.
Penyebab terjadi kekerasan pada anak di lembaga yang bernama sekolah biasanya karena
Guru yang tidak profesional dalam mengajar, Guru yang pilih kasih, memaksakan kehendak. Melakukan intimidasi bisa dari guru maupun teman. Faktor dari siswa sendiri seperti siswa kurang sopan, siswa meremehkan guru, tidak mentaati peraturan dan tidak mengerjakan PR, bolos dan ribut. Selain itu kekerasan pada siswa juga disebabkan
nilai pendidikan yang dipahami sejumlah guru di sekolahan belum mampu diinternalisasikan ke dalam jiwanya sendiri. Maka sangatlah wajar apabila kasus tindak kekerasan yang dilakukan guru ke sejumlah siswa sering kali terjadi di sekolah. Yang menjadi pertanyaan sekarang mengapa banyak guru yang gagal menginternalisasikan nilai pendidikan dalam dirinya sendiri? Ini tidak lain karena kuatnya sifat pragmatisme yang dimiliki sejumlah guru itu sendiri. Sehingga membuat dirinya menjadi lupa diri akan nilai tugas yang diembannya. Mereka lebih senang memperjuangkan hak pragmatismenya ketimbang mendahulukan hak siswa untuk mendapat pendidikan yang benar-benar mendidik.
“Buktinya, selama ini kita jarang mendengar kegiatan guru yang bersifat evaluatif terhadap model mendidik dan kinerja dirinya,” jelasnya.
Para guru gagal memahami perannya mereka sehingga sangat pragmatis dalam menjalani tugas. Profesi mengajar telah dianggap sama halnya dengan orang yang bekerja di sebuah perusahaan komoditas yang kurang memedulikan mutu karena alasan hasil, tanpa disertai dengan proses berpikir jangka panjang akan hasilnya, bertahan lama atau tidak, bermutu atau tidak, yang penting suatu barang itu sudah layak dijual, persoalan mutunya bukan tanggung jawabnya. Begitu juga dengan sifat sejumlah guru di negeri kita saat ini, yang penting sudah menyelesaikan tugas mengajar. Persoalan siswa menjadi baik atau brutal itu sudah tanggung jawab orang tuanya. Sehingga ia tidak pernah berpikir apakah cara mendidiknya baik atau tidak.Sekretaris Komisi Perilindungan Anak Indonesai Daerah (KPAID) Kalbar, Elly Hakim mengungkapkan kekerasan guru terhadap siswa sangat berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut. Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak.
Proses pembelajaran cerdas dan kreatif yang masih belum dimiliki oleh para guru, juga tidak lepas dari peran lembaga pencetak guru yang cenderung statis dan tidak bergerak mengikuti perkembangan pengetahuan. Baru sebagian kecil guru yang menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif. Minimnya penggunaan alam sebagai media belajar merupakan sebuah indikator sederhana dari miskinnya kapasitas seorang guru. Belajar secara monoton di dalam kelas berlangsung secara berkelanjutan, pada akhirnya membuahkan generasi statis, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kehancuran negeri ini.
Silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar.
Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Dunia pendidikan kerap melupakan persoalan perlindungan pada anak. Kondisi ini terlihat dari sering terjadinya kasus guru melakukan kekerasan pada anak dalam proses belajar mengajar.
Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat (Hanura), Tuti Hanurita Jumat (8/2) di ruang kerjanya.
Guru yang seharusnya melindungi siswa sebagai anak terutama di sekolahan justru melakukan tindakan kekerasan pada siswa maka siapa lagi yang akan memberikan kasih sayang. Apalagi kalau ada siswa di rumahnya sudah sering mendapatkan kekerasan dari keluarga kemudian ditambah kekerasan oleh gurunya di sekolah maka tidak dapat dibayangkan bagaimana penderitaan jiwa anak itu.
“Untuk itu, maka perlu ada peningkatan kualitas guru konseling untuk memahami masalah perlindungan anak,” katanya.
Selama ini kasus-kasus tindak kekerasan guru pada siswa dalam proses pembelajaran seperti cara mengajar guru yang keras, kasar, memukul siswa, mencubit atau memberikan hukuman lain seperti mencuci WC dan tidak boleh mengikuti pelajaran. Kasus-kasus ini biasanya sama sekali tidak tersentuh oleh hukum pada hal sudah jelas hal tersebut melanggar undang-undang No 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak bahwa anak dilindungi baik fisik maupun mental. Dan guru yang menjadi pelaku kekerasan tersebut biasanya hanya mendapat hukuman administrasi seperti dipindahkan.
”Sedangkan proses hukumnya minim bahkan tidak jalan,” ungkapnya.
Kalau kondisi ini terus dibiarkan maka siswa akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas intelektualnya karena siswa mendapat tekanan mental. Keadaan kekerasan anak dalam dunia pendidikan tidak boleh terus dibiarkan karena sangat berpengaruh pada pertumbuhan jiwa siswa. Anak di sekolah harus dijamin untuk benar-benar dapat berkreativitas agar potensi dalam diri siswa dapat dikembangkan.
Sampai saat ini kasus yang masuk ke Hanura, lanjut Tuti seringkali justru anak dipersalahkan karena dianggap telah menyulut emosi guru. Untuk menghindari semakin banyaknya kasus kekerasan anak di sekolah ke depan guru perlu diberi pelatihan agar guru mengetahui undang-undanga tentang perlindungan anak. Ke depannya diharapkan menjadi program pemerintah. Selain itu tindakan kekerasan guru pada siswa juga harus ditindak dengan menegakkan proses hukum.
Teguh, Guru SMPN 18 Pontianak mengatakan mestinya sekolah menjadi rumah kedua bagi anak di mana mereka banyak meluangkan waktu dalam memperoleh pendidikan. Penyelenggara sekolah harus jadi orang tua kedua dalam pengasuhan anak.
Sayangnya kekerasan pada anak justru terjadi di lembaga yang bernama sekolah. Di mana sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi anak. Ketika siswa dianggap sebagai objek yang akan menerima apa pun dari gurunya, maka disitu ada peluang terjadi kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak. Guru biasanya berlindung di balik alasan mendisiplinkan anak. Bukan tidak boleh memberi pelajaran disiplin pada anak tapi kadang guru itu lupa bahwa anak-anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Contoh yang sering terjadi adalah siswa dipaksa pulang karena telat.
”Menurut pandangan saya tidak perlu siswa di suruh pulang karena datang ke sekolah kan sudah berniat dari rumahnya untuk belajar,” katanya.
Prinsipnya belajar paling efektif bagi anak adalah ketika kebutuhan fisiknya terpenuhi dan ketika secara psikologis mereka merasa aman. Siswa membangun pengetahuan mulai dari yang mereka ketahui. Siswa belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa di sekitarnya dan teman sebayanya untuk menjadi mandiri.
Penyebab terjadi kekerasan pada anak di lembaga yang bernama sekolah biasanya karena
Guru yang tidak profesional dalam mengajar, Guru yang pilih kasih, memaksakan kehendak. Melakukan intimidasi bisa dari guru maupun teman. Faktor dari siswa sendiri seperti siswa kurang sopan, siswa meremehkan guru, tidak mentaati peraturan dan tidak mengerjakan PR, bolos dan ribut. Selain itu kekerasan pada siswa juga disebabkan
nilai pendidikan yang dipahami sejumlah guru di sekolahan belum mampu diinternalisasikan ke dalam jiwanya sendiri. Maka sangatlah wajar apabila kasus tindak kekerasan yang dilakukan guru ke sejumlah siswa sering kali terjadi di sekolah. Yang menjadi pertanyaan sekarang mengapa banyak guru yang gagal menginternalisasikan nilai pendidikan dalam dirinya sendiri? Ini tidak lain karena kuatnya sifat pragmatisme yang dimiliki sejumlah guru itu sendiri. Sehingga membuat dirinya menjadi lupa diri akan nilai tugas yang diembannya. Mereka lebih senang memperjuangkan hak pragmatismenya ketimbang mendahulukan hak siswa untuk mendapat pendidikan yang benar-benar mendidik.
“Buktinya, selama ini kita jarang mendengar kegiatan guru yang bersifat evaluatif terhadap model mendidik dan kinerja dirinya,” jelasnya.
Para guru gagal memahami perannya mereka sehingga sangat pragmatis dalam menjalani tugas. Profesi mengajar telah dianggap sama halnya dengan orang yang bekerja di sebuah perusahaan komoditas yang kurang memedulikan mutu karena alasan hasil, tanpa disertai dengan proses berpikir jangka panjang akan hasilnya, bertahan lama atau tidak, bermutu atau tidak, yang penting suatu barang itu sudah layak dijual, persoalan mutunya bukan tanggung jawabnya. Begitu juga dengan sifat sejumlah guru di negeri kita saat ini, yang penting sudah menyelesaikan tugas mengajar. Persoalan siswa menjadi baik atau brutal itu sudah tanggung jawab orang tuanya. Sehingga ia tidak pernah berpikir apakah cara mendidiknya baik atau tidak.Sekretaris Komisi Perilindungan Anak Indonesai Daerah (KPAID) Kalbar, Elly Hakim mengungkapkan kekerasan guru terhadap siswa sangat berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut. Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak.
Proses pembelajaran cerdas dan kreatif yang masih belum dimiliki oleh para guru, juga tidak lepas dari peran lembaga pencetak guru yang cenderung statis dan tidak bergerak mengikuti perkembangan pengetahuan. Baru sebagian kecil guru yang menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif. Minimnya penggunaan alam sebagai media belajar merupakan sebuah indikator sederhana dari miskinnya kapasitas seorang guru. Belajar secara monoton di dalam kelas berlangsung secara berkelanjutan, pada akhirnya membuahkan generasi statis, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kehancuran negeri ini.
Silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar.
Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.
Dua Tahun Dibiarkan Reot, SDN Kampung Selat Roboh
*Pemerintah KKR Diharapkan Segera Memperbaiki
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sejak program SD Impres yang dicanangkan Soeharto—mantan presiden Indonesia—tahun 1970-1980 lalu, banyak bangunan SD di Kalbar belum direnovasi. Akibatnya banyak bangunan SD yang kini sudah rusak parah.
Kondisi ini juga menimpa SDN 44 Kampung Selat, Desa Pulau Limbang, Kecamatan Sungai raya, Kabupaten Kubu Raya. Sekolah itu roboh dan Desember 2007 lalu. Proses belajar mengajar hingga kini terhambat. Sampai sekarang sekolah tersebut belum mendapat perhatian pemerintah untuk segera diperbaiki.
“Dibiarkanya sekolah dalam kondisi yang rusak tersebut akhirnya mengakibatkan sekolah tersebut roboh 14 Desember lalu,” Ketua (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) PBNU Kabupaten Kubu Raya, Abdullah H.S, Kamis (7/1).
Abdulah menemukan kondisi ini saat berkunjung ke sekolah tersebut beberapa waktu lalu. Menurutnya kondisi SDN ini sudah rusak sejak 2 tahun lalu. Namun sama sekali belum mendapatkan perhatian pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten.
SDN 44 Kampung Selat ini adalah SD di wilayah terpencil, di bagian timur kabupaten Kubu Raya. Perjalanan menuju sekolah ini dari kota Pontianak memakan waktu sekitar 9 jam menyelusuri Sungai Kapuas ke arah Tayan Kabupaten Sanggau. Hinga saat ini sekolah itu Cuma memiliki 63 siswa, 5 orang guru termasuk kepala sekolah.
Akibat robohnya sekolah, setiap hari murid SDN 44 ini terpaksa belajar di rumah-rumah dinas guru yang kondisinya juga sudah rusak. Atapnya bocor, lantainya lapuk, bahkan ada beberapa rumah dinas guru yang dinding rumahnya sudah jebol.
Abdullah menceritakan saat mengunjungi sekolah ini, siswa-siswi SD 44 belajar tanpa fasilitas yang memadai. Papan tulis, alat tulis, meja dan kursi hampir tidak ada. Tak jarang mereka belajar di lantai rumah-rumah dinas guru tadi.
“Jangankan alat-alat perlengkapan praktek untuk menunjang siswa belajar seperti yang diinginkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), untuk sekadar memperagakan atau mencontohkan meteri pelajaran seperti bentuk kubus, balok dalam pelajaran matematika saja sulit,” jelasnya.
Nurid-murid malang itu hanya belajar seadanya, bahkan buku-buku pelajaran jumlahnya tidak mencukupi. Dengan keadaan seperti ini para siswa tidak akan bisa mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Jangan untuk itu, bisa melaksanakan proses belajar pelajaran umum saja sudah sukur.
Kondisi ini kata Abdullah yang juga salah satu bakal calon Bupati Kubu Raya berharap pemerintah Kubu Raya segera memperhatikan dan memperbaiki bangunan SDN ini. Kalau tidak, sulit mengharapkan mutu pendidikan murid-murid SDN 44 Kampung Selat lebih baik. Mereka akan semakin tertinggal jauh dibandingkan anak sekolah lain.
Budin (44) salah seorang warga Kubu Raya mengaku sangat prihatin dengan kondisi sekolah ini.
”Saya tak bisa membayangkan jika anak saya yang sekolah disana,” ujarnya. Budin adalah warga Sungai Raya yang anaknya sekolah di salah satu sekolah berkualitas di Kota Pontianak.
*Pemerintah KKR Diharapkan Segera Memperbaiki
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sejak program SD Impres yang dicanangkan Soeharto—mantan presiden Indonesia—tahun 1970-1980 lalu, banyak bangunan SD di Kalbar belum direnovasi. Akibatnya banyak bangunan SD yang kini sudah rusak parah.
Kondisi ini juga menimpa SDN 44 Kampung Selat, Desa Pulau Limbang, Kecamatan Sungai raya, Kabupaten Kubu Raya. Sekolah itu roboh dan Desember 2007 lalu. Proses belajar mengajar hingga kini terhambat. Sampai sekarang sekolah tersebut belum mendapat perhatian pemerintah untuk segera diperbaiki.
“Dibiarkanya sekolah dalam kondisi yang rusak tersebut akhirnya mengakibatkan sekolah tersebut roboh 14 Desember lalu,” Ketua (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) PBNU Kabupaten Kubu Raya, Abdullah H.S, Kamis (7/1).
Abdulah menemukan kondisi ini saat berkunjung ke sekolah tersebut beberapa waktu lalu. Menurutnya kondisi SDN ini sudah rusak sejak 2 tahun lalu. Namun sama sekali belum mendapatkan perhatian pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten.
SDN 44 Kampung Selat ini adalah SD di wilayah terpencil, di bagian timur kabupaten Kubu Raya. Perjalanan menuju sekolah ini dari kota Pontianak memakan waktu sekitar 9 jam menyelusuri Sungai Kapuas ke arah Tayan Kabupaten Sanggau. Hinga saat ini sekolah itu Cuma memiliki 63 siswa, 5 orang guru termasuk kepala sekolah.
Akibat robohnya sekolah, setiap hari murid SDN 44 ini terpaksa belajar di rumah-rumah dinas guru yang kondisinya juga sudah rusak. Atapnya bocor, lantainya lapuk, bahkan ada beberapa rumah dinas guru yang dinding rumahnya sudah jebol.
Abdullah menceritakan saat mengunjungi sekolah ini, siswa-siswi SD 44 belajar tanpa fasilitas yang memadai. Papan tulis, alat tulis, meja dan kursi hampir tidak ada. Tak jarang mereka belajar di lantai rumah-rumah dinas guru tadi.
“Jangankan alat-alat perlengkapan praktek untuk menunjang siswa belajar seperti yang diinginkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), untuk sekadar memperagakan atau mencontohkan meteri pelajaran seperti bentuk kubus, balok dalam pelajaran matematika saja sulit,” jelasnya.
Nurid-murid malang itu hanya belajar seadanya, bahkan buku-buku pelajaran jumlahnya tidak mencukupi. Dengan keadaan seperti ini para siswa tidak akan bisa mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Jangan untuk itu, bisa melaksanakan proses belajar pelajaran umum saja sudah sukur.
Kondisi ini kata Abdullah yang juga salah satu bakal calon Bupati Kubu Raya berharap pemerintah Kubu Raya segera memperhatikan dan memperbaiki bangunan SDN ini. Kalau tidak, sulit mengharapkan mutu pendidikan murid-murid SDN 44 Kampung Selat lebih baik. Mereka akan semakin tertinggal jauh dibandingkan anak sekolah lain.
Budin (44) salah seorang warga Kubu Raya mengaku sangat prihatin dengan kondisi sekolah ini.
”Saya tak bisa membayangkan jika anak saya yang sekolah disana,” ujarnya. Budin adalah warga Sungai Raya yang anaknya sekolah di salah satu sekolah berkualitas di Kota Pontianak.
Lahan Masyarakat di Daerah Perbatasan Tanpa Surat Kepemilikan Tanah
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua Tim Kajian Status dan Pemanfaatan Lahan Pada Masyarakat Kawasan Perbatasan Antar Negara di Kalbar Untan, Tino Orciny Chandra yang melakukan kajian di 5 kecamatan pada 5 kabupaten Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia yaitu Sambas, Sanggau, Bengkayang dan Kapuas Hulu mengatakan, lahan usaha masyarakat di desa-desa sepanjang perbatasan umumnya belum mempunyai surat kepemilikan tanah. Kecuali lahan untuk permukiman sudah ada yang mempunyai Sertifikat dan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Lahan usaha masyarakat ini dapat merupakan tanah warisan turun-temurun yang berlaku sesuai kondisi sosial budaya setempat dan tanah milik yang tidak diurus surat-suratnya, karena biaya lebih mahal dibanding mereka membuka lahan yang masih kosong (tanah negara) namum demikian banyak kepala desa tidak berani memberikan hak atas tanah karena tidak ada kepastian hukum yang terkait dengan status fungsi kawasan dan wilayah keamanan Negara.
“Kalaupun kepala desa mengeluarkan surat hanya berupa surat izin pembukaan tanah,” katanya.
Status lahan kawasan, kata Tino yang di desa-desa sepanjang perbatasan berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan dan pertanian propinsi Kalbar SK Menhut no. 259 tahun 2000 meliputi fungsi kawasan Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), Hutan Lindung Bakau ( HLB), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Konservasi ( HPK) dan Pertanian Lahan Kering (PLK). Lahan yang dapat dimanfaatkan berdasarkan fungsi kawasan adalah status lahan PLK, sementara HPK dapat dimanfaatkan dengan persyaratan khusus.
Lahan yang berada dalam status fungsi kawasan pertanian lahan kering (PLK) seluas 71.900,45 Hektar tersebar di desa-desa sepanjang perbatasan dengan kondisi yang sudah pernah diusahakan seluas 56.347,89 hektar dan yang belum diusahakan seluas 15.552, 56 hektar. Lahan yang sudah atau pernah diusahakan ini dapat merupakan tanah dengan status milik masyarakat dan tanah negara. Selain itu terdapat juga lahan diluar fungsi kawasan PLK seluas 133.625,11 hektar. Apabila lahan ini dimanfaatkan juga sebagai lahan usaha masyarakat, maka akan diperoleh total lahan yang dapat diusahakan seluas 205.525,56 hektar dengan status fungsi kawasan PLK dan luar PLK. Lahan yang berpotensi diusahakan ini seluas 46.769,62 hektar dan lahan tersebut tersebar di desa-desa sepanjang perbatasan di lima wilayah kabupaten, dimana saat ini kondisinya ada yang sedang diusahakan oleh masyarakat berupa lahan permukiman, perkebunan, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran serta yang pernah diusahakan tapi sekarang dibiarkan menjadi lahan terbuka. Lahan-lahan yang berada dalam kondisi inilah yang perlu dan menjadi prioritas untuk diberikan kepastian hukum hak kepemilikan lahannya. Sementara lahan yang belum pernah diusahakan berupa lahan semak belukar dan belukar rawa diberikan hak kepemilikan lahannya setelah dibuka.
”Departemen kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan Departemen Pertanahan dan Keamanan harus segera menyelesaikan masalah status hukum lahan di desa-desa sepanjang perbatasan,” ungkapkan.
Untuk memberikan status hukum hak kepemilikan tanah kepada masyarakat di desa-desa sepanjang perbatasan, baik pada lahan didalam maupun luar fungsi kawasan PLK yang sudah diusahakan tentu memerlukan pertimbangan dan koordinasi dari berbagai instansi terkait, terutama Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan Departemen Pertahanan dan Keamanan, karena hal ini menyangkut status fungsi kawasan dan wilayah keamanan negara yang akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan adanya kepastian hukum status kepemilikan tanah berupa sertifikat tanah diharapkan dapat menjadi modal usaha untuk membantu masyarakat perbatasan dalam mengembangkan usahanya, membantu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan, terutama yang berkaitan dengan usaha tani masyarakat, menjadi tepat sasaran sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki oleh setiap masyarakat, dan membantu pemerintah dalam penyusunan perencanaan tata ruang wilayah terutama yang berkaitan dengan ketersediaan lahan bagi investor untuk keperluan pengembangan pertanian, perkebunan dan lainnya.■
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Ketua Tim Kajian Status dan Pemanfaatan Lahan Pada Masyarakat Kawasan Perbatasan Antar Negara di Kalbar Untan, Tino Orciny Chandra yang melakukan kajian di 5 kecamatan pada 5 kabupaten Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia yaitu Sambas, Sanggau, Bengkayang dan Kapuas Hulu mengatakan, lahan usaha masyarakat di desa-desa sepanjang perbatasan umumnya belum mempunyai surat kepemilikan tanah. Kecuali lahan untuk permukiman sudah ada yang mempunyai Sertifikat dan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Lahan usaha masyarakat ini dapat merupakan tanah warisan turun-temurun yang berlaku sesuai kondisi sosial budaya setempat dan tanah milik yang tidak diurus surat-suratnya, karena biaya lebih mahal dibanding mereka membuka lahan yang masih kosong (tanah negara) namum demikian banyak kepala desa tidak berani memberikan hak atas tanah karena tidak ada kepastian hukum yang terkait dengan status fungsi kawasan dan wilayah keamanan Negara.
“Kalaupun kepala desa mengeluarkan surat hanya berupa surat izin pembukaan tanah,” katanya.
Status lahan kawasan, kata Tino yang di desa-desa sepanjang perbatasan berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan dan pertanian propinsi Kalbar SK Menhut no. 259 tahun 2000 meliputi fungsi kawasan Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), Hutan Lindung Bakau ( HLB), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Konservasi ( HPK) dan Pertanian Lahan Kering (PLK). Lahan yang dapat dimanfaatkan berdasarkan fungsi kawasan adalah status lahan PLK, sementara HPK dapat dimanfaatkan dengan persyaratan khusus.
Lahan yang berada dalam status fungsi kawasan pertanian lahan kering (PLK) seluas 71.900,45 Hektar tersebar di desa-desa sepanjang perbatasan dengan kondisi yang sudah pernah diusahakan seluas 56.347,89 hektar dan yang belum diusahakan seluas 15.552, 56 hektar. Lahan yang sudah atau pernah diusahakan ini dapat merupakan tanah dengan status milik masyarakat dan tanah negara. Selain itu terdapat juga lahan diluar fungsi kawasan PLK seluas 133.625,11 hektar. Apabila lahan ini dimanfaatkan juga sebagai lahan usaha masyarakat, maka akan diperoleh total lahan yang dapat diusahakan seluas 205.525,56 hektar dengan status fungsi kawasan PLK dan luar PLK. Lahan yang berpotensi diusahakan ini seluas 46.769,62 hektar dan lahan tersebut tersebar di desa-desa sepanjang perbatasan di lima wilayah kabupaten, dimana saat ini kondisinya ada yang sedang diusahakan oleh masyarakat berupa lahan permukiman, perkebunan, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran serta yang pernah diusahakan tapi sekarang dibiarkan menjadi lahan terbuka. Lahan-lahan yang berada dalam kondisi inilah yang perlu dan menjadi prioritas untuk diberikan kepastian hukum hak kepemilikan lahannya. Sementara lahan yang belum pernah diusahakan berupa lahan semak belukar dan belukar rawa diberikan hak kepemilikan lahannya setelah dibuka.
”Departemen kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan Departemen Pertanahan dan Keamanan harus segera menyelesaikan masalah status hukum lahan di desa-desa sepanjang perbatasan,” ungkapkan.
Untuk memberikan status hukum hak kepemilikan tanah kepada masyarakat di desa-desa sepanjang perbatasan, baik pada lahan didalam maupun luar fungsi kawasan PLK yang sudah diusahakan tentu memerlukan pertimbangan dan koordinasi dari berbagai instansi terkait, terutama Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan Departemen Pertahanan dan Keamanan, karena hal ini menyangkut status fungsi kawasan dan wilayah keamanan negara yang akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan adanya kepastian hukum status kepemilikan tanah berupa sertifikat tanah diharapkan dapat menjadi modal usaha untuk membantu masyarakat perbatasan dalam mengembangkan usahanya, membantu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan, terutama yang berkaitan dengan usaha tani masyarakat, menjadi tepat sasaran sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki oleh setiap masyarakat, dan membantu pemerintah dalam penyusunan perencanaan tata ruang wilayah terutama yang berkaitan dengan ketersediaan lahan bagi investor untuk keperluan pengembangan pertanian, perkebunan dan lainnya.■
Masalah Kesehatan di Kalbar Bak Benang Kusut
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Carut marut permasalahan kesehatan di Kalbar menggumpal bak benang kusut. Kesan inilah yang tersirat dari wajah para peserta Seminar Kesehatan yang digelar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak, Sabtu, (2/2)di Aula Dinas Kesehatan Provinsi. Seminar tersebut dihadiri lebih dari 200 peserta dari berbagai kalangan kesehatan. Mahasiswa FIKes, semua jurusan Poltekkes, FK Untan, Kebidanan, PPNI, Puskesmas, dan lain-lain.
Acara yang menghadirkan dua pembicara Dr. H. Nursyam Ibrahim, M.Kes, yang mengupas soal kebijakan dan program kesehatan di Kalbar, dan Dr. H. Muhammad Subuh, MPPM, yang menyoroti prospek tenaga kesehatan masyarakat dimasa mendatang serta kompetensi yang harus dimilikinya.
Menurut Nursyam Ibrahim masalah kesehatan di Kalbar terutama angka kematian Ibu (AKI) masih sangat tinggi, yakni 520 kematian dari 100.000 kelahiran hidup, dibanding dengan AKI nasional yang hanya 307 kematian per 100.000 kelahirann hidup. Sedangkan angka kematian bayi (AKB) mencapai 56 kematian dari 100.000 bayi. Data ini sangat logis jika melihat kondisi pedesaan di Kalbar yang masih memprihatinkan.
“Lebih dari 40 persen desa di Kalbar belum memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan,” katanya.
Ini artinya, lanjut Nursyam persalinan yang terjadi di desa banyak ditangani bukan oleh tenaga kesehatan. Jadi wajar saja kalau kemudian terjadi kematian ibu melahirkan akibat persalinan yang tidak sehat.
Selain itu, masih menurut Nursyam, HIV AIDS di Kalbar menunjukkan angka yang signifikan tinggi. Saat ini Kalbar menempati urutan ke empat jumlah penderitan HIV AIDS terbesar di Indonesia. Hal yang harus menjadi perhatian adalah telah terjadi pergeseran pola penularan. Kalau dimasa yang lalu mayoritas penderita HIV AIDS penularannya berasal dari hubungan seksual, maka saat ini 47% kontribusi penularan berasal dari pengguna jarum suntik, atau penyalahgunaan Narkoba. Masalah-masalah lain yang membebani kita adalah angka gizi buruk/kurang masih tinggi yakni 15,51%.
Perlu perjuangan yang keras untuk menurunkan angkanya sampai dibawah 10%. Jumlah penderita Hepatitis B yang belum pernah ketahuan berapa angka pastinya, karena perlu biaya sangat mahal untuk test screening (penyaringan kasus). Namun menurut data dunia penderita Hepatitis B saat ini disinyalir mencapai 400 juta orang, 32% diantaranya terdapat di Indonesia, yang berarti bisa mencapai 128 juta orang. Suatu jumlah yang sangat besar untuk sebuah angka populasi penyakit. Kalau pola ini juga berlaku untuk Kalbar, maka paling tidak 2 jutaan orang Kalbar tertular Hepatitis B.
Nursyam juga mengungkapkan, kondisi kesehatan Kalbar yang kompleksitas diperparah anggaran dana yang sangat minim. “Tahun 2007 misalnya, kita dibebani banyak persoalan, namun dana yang kita miliki hanya 19 milyar, itupun sudah termasuk gaji dan biaya operasional yang menelan biaya lebih dari 9 milyar. Sisanya baru kita gunakan untuk mengatasi seluruh masalah-masalah yang menumpuk. Dana sebesar itu, kontribusi dari APBD hanya 3,5%, sisanya masih ditopang APBN,” jelasnya.
Sementara itu, Muhammad Subuh menekankan permasalahan kesehatan yang saat ini sedang Kalbar hadapi, tidak mungkin terselesaikan tanpa ada perubahan positif dari seluruh tenaga kesehatan yang ada. Sudah saatnya tenaga kesehatan meninggalkan paradigma lama, menuju paradigma baru dunia kesehatan, yang lebih mengedepankan profesionalisme, dan memberikan perhatian yang serius pada upaya promotif dan preventif. Kalau di Rumah Sakit dan Puskesmas, hanya menangani orang yang sakit yang jumlahnya tak lebih dari 15% dari total populasi, maka upaya promotif dan preventif justru tertuju kepada 85% dari total populasi. “Dan ini memerlukan sarjana kesehatan masyarakat,” tuturnya.
Rektor UMP, Abdussamad mengatakan saat ini tidak cukup menjadi seseorang yang hanya ala kadarnya, namun dituntut untuk menjadi sarjana yang professional dan memiliki kemampuan plus. Artinya menjadi sarjana kesehatan dituntut benar-benar untuk menguasai ilmu bidang kesehatan agar sarjana-sarjana bidang kesehatan ini sudah siap turun ke masyarakat untuk membantu masyarakat menyelesaikan persoalan kesehatan. Ketua Panitia Pelaksana, Kacung Trisnadi menjelaskan seminar ini bertujuan untuk menyatukan visi dan misi praktisi kesehatan yang ada di Kalbar. Karena saat ini terhadap problematika kesehatan yang menumpuk ini, maka yang terdepan menjadi solusi masalah kesehatan adalah para praktisi kesehatan. “Bagaimana mungkin mereka akan bekerja menyelesaikan masalah kalau tidak terjalin kolaborasi yang baik,” tukasnya.□
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Carut marut permasalahan kesehatan di Kalbar menggumpal bak benang kusut. Kesan inilah yang tersirat dari wajah para peserta Seminar Kesehatan yang digelar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak, Sabtu, (2/2)di Aula Dinas Kesehatan Provinsi. Seminar tersebut dihadiri lebih dari 200 peserta dari berbagai kalangan kesehatan. Mahasiswa FIKes, semua jurusan Poltekkes, FK Untan, Kebidanan, PPNI, Puskesmas, dan lain-lain.
Acara yang menghadirkan dua pembicara Dr. H. Nursyam Ibrahim, M.Kes, yang mengupas soal kebijakan dan program kesehatan di Kalbar, dan Dr. H. Muhammad Subuh, MPPM, yang menyoroti prospek tenaga kesehatan masyarakat dimasa mendatang serta kompetensi yang harus dimilikinya.
Menurut Nursyam Ibrahim masalah kesehatan di Kalbar terutama angka kematian Ibu (AKI) masih sangat tinggi, yakni 520 kematian dari 100.000 kelahiran hidup, dibanding dengan AKI nasional yang hanya 307 kematian per 100.000 kelahirann hidup. Sedangkan angka kematian bayi (AKB) mencapai 56 kematian dari 100.000 bayi. Data ini sangat logis jika melihat kondisi pedesaan di Kalbar yang masih memprihatinkan.
“Lebih dari 40 persen desa di Kalbar belum memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan,” katanya.
Ini artinya, lanjut Nursyam persalinan yang terjadi di desa banyak ditangani bukan oleh tenaga kesehatan. Jadi wajar saja kalau kemudian terjadi kematian ibu melahirkan akibat persalinan yang tidak sehat.
Selain itu, masih menurut Nursyam, HIV AIDS di Kalbar menunjukkan angka yang signifikan tinggi. Saat ini Kalbar menempati urutan ke empat jumlah penderitan HIV AIDS terbesar di Indonesia. Hal yang harus menjadi perhatian adalah telah terjadi pergeseran pola penularan. Kalau dimasa yang lalu mayoritas penderita HIV AIDS penularannya berasal dari hubungan seksual, maka saat ini 47% kontribusi penularan berasal dari pengguna jarum suntik, atau penyalahgunaan Narkoba. Masalah-masalah lain yang membebani kita adalah angka gizi buruk/kurang masih tinggi yakni 15,51%.
Perlu perjuangan yang keras untuk menurunkan angkanya sampai dibawah 10%. Jumlah penderita Hepatitis B yang belum pernah ketahuan berapa angka pastinya, karena perlu biaya sangat mahal untuk test screening (penyaringan kasus). Namun menurut data dunia penderita Hepatitis B saat ini disinyalir mencapai 400 juta orang, 32% diantaranya terdapat di Indonesia, yang berarti bisa mencapai 128 juta orang. Suatu jumlah yang sangat besar untuk sebuah angka populasi penyakit. Kalau pola ini juga berlaku untuk Kalbar, maka paling tidak 2 jutaan orang Kalbar tertular Hepatitis B.
Nursyam juga mengungkapkan, kondisi kesehatan Kalbar yang kompleksitas diperparah anggaran dana yang sangat minim. “Tahun 2007 misalnya, kita dibebani banyak persoalan, namun dana yang kita miliki hanya 19 milyar, itupun sudah termasuk gaji dan biaya operasional yang menelan biaya lebih dari 9 milyar. Sisanya baru kita gunakan untuk mengatasi seluruh masalah-masalah yang menumpuk. Dana sebesar itu, kontribusi dari APBD hanya 3,5%, sisanya masih ditopang APBN,” jelasnya.
Sementara itu, Muhammad Subuh menekankan permasalahan kesehatan yang saat ini sedang Kalbar hadapi, tidak mungkin terselesaikan tanpa ada perubahan positif dari seluruh tenaga kesehatan yang ada. Sudah saatnya tenaga kesehatan meninggalkan paradigma lama, menuju paradigma baru dunia kesehatan, yang lebih mengedepankan profesionalisme, dan memberikan perhatian yang serius pada upaya promotif dan preventif. Kalau di Rumah Sakit dan Puskesmas, hanya menangani orang yang sakit yang jumlahnya tak lebih dari 15% dari total populasi, maka upaya promotif dan preventif justru tertuju kepada 85% dari total populasi. “Dan ini memerlukan sarjana kesehatan masyarakat,” tuturnya.
Rektor UMP, Abdussamad mengatakan saat ini tidak cukup menjadi seseorang yang hanya ala kadarnya, namun dituntut untuk menjadi sarjana yang professional dan memiliki kemampuan plus. Artinya menjadi sarjana kesehatan dituntut benar-benar untuk menguasai ilmu bidang kesehatan agar sarjana-sarjana bidang kesehatan ini sudah siap turun ke masyarakat untuk membantu masyarakat menyelesaikan persoalan kesehatan. Ketua Panitia Pelaksana, Kacung Trisnadi menjelaskan seminar ini bertujuan untuk menyatukan visi dan misi praktisi kesehatan yang ada di Kalbar. Karena saat ini terhadap problematika kesehatan yang menumpuk ini, maka yang terdepan menjadi solusi masalah kesehatan adalah para praktisi kesehatan. “Bagaimana mungkin mereka akan bekerja menyelesaikan masalah kalau tidak terjalin kolaborasi yang baik,” tukasnya.□
Langganan:
Komentar (Atom)