Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Persoalan kemiskinan di Indonesia yang sampai saat ini belum teratasi menyebabkan semakin banyaknya ditemukan anak-anak jalanan. Fenomena anak jalanan tidak hanya terjadi di Jakarta sebagai kota besar, di Pontianak juga sering dijumpai anak-anak jalanan yang berada di perempatan lampu merah membawa kaleng untuk meminta belas kasih dari para pengendara yang berhenti. Selain di perempatan ada juga anak-anak jalanan yang keliling masuk kampus Untan untuk meminta-minta.
Isah, seorang anak perempuan yang mengaku berusia 13 tahun biasa berkeliling kampus membawa kaleng untuk meminta-minta. Ia mengaku melakukan pekerjaan ini sejak tahun 2000 lantaran kondisi keluarganya yang serba kekurangan.
Isah menceritakan kondisi hidupnya yang tak pernah lepas dari himpitan masalah ekonomi. Sejak kepergian ayahnya karena meninggal dunia, hidup Isah menjadi tak menentu. Ibu Isah hanya seorang pekerja pencuci pakaian yang gajinya hanya Rp 70.000 perbulan.
Dalam keluarga Isah tidak sendiri tapi ia memiliki 4 saudara. Yang pertama juga bekerja membantu ibunya yang bernama Sapiah mencuci pakaian, saudaranya yang kedua bekerja di pasar flamboyan sebagai penjaga rumah makan, kakaknya yang nomor tiga bekerja di Malaysia. Sementara Isah adalah anak nomor empat yang sehari-harinya harus berkeliling dijalanan terutama di kampus-kampus untuk memperoleh uang dengan mengharap belas kasihan para akademisi di kampus. Sedangkan yang bungsu adiknya masih sekolah kelas 6 SD dengan biaya sekolah dibiayai oleh tetangganya.
Karena kondisi ekonominya yang benar-benar tidak berkecukupan seluruh saudara Isah termasuk dirinya harus putus sekolah hanya sampai kelas 3 SD bahkan kakak-kakaknya ada yang tidak sekolah.
“Hanya adik bungsu saya yang masih dapat sekolah, itupun tetangga yang membiayainya,” kata Isah.
Dikatakan Isah Setiap harinya ia mulai berkeliling di jalanan pukul 11.00 dan pulang pukul 15.00. Dari pekerjaannya meminta-minta seharinya ia dapat mengantongi Rp 30.000 dan kalau hari Jumat ia bisa dapat Rp 50.000.
“Uang hasil meminta-minta, Rp 20.000 nya ia berikan pada ibu, Rp 5000 nya diberikan untuk ongkos adik dan Rp 5000 nya lagi untuk dirinya jajan,” ungkap Isah yang bertempat tinggal di Gang 57 no 80,” ungkapnya.
Semakin banyaknya anak jalanan di kota Pontianak merupakan sebuah fenomena bahwa kota Pontianak belum dapat dikatakan sebagai kota layak anak. Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalbar (KPAID Kalbar), Elly Hakim Silaban.
Perkembangan kota, kata Elly Hakim jika tidak diiringi dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang baik akibatnya tingkat kemiskinan semakin tinggi dan dampaknya muncullah anak-anak jalanan.
“Pemerintah kota Pontianak harus betul-betul memperhatikan perkembangan kota. Jangan sampai perkembangannya tidak diiringi dengan pertumbuhan ekonomi keluarga. Konsep kota layak anak harus segera dilaksanakan, artinya kota betul-betul layak untuk kehidupan anak-anak dengan memberikan perlindungan dan hak-hak anak,” ungkapnya.
Menurut Elly Banyak faktor penyebab timbulnya anak-anak jalanan. Pengertian anak jalanan itu sendiri adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Keberadaan mereka dijalanan terjadi karena dipaksa, kemauan sendiri, ikut teman, lari dari rumah, atau dipekerjakan baik oleh keluarganya maupun orang lain. Anak jalanan ini terbagi menjadi 2 kategori yaitu anak yang sudah putus hubungan dengan Orang tuanya, tidak sekolah dan hidup 24 jam dijalanan. Kategori kedua anak yang bekerja di jalanan yaitu anak yang berhubungan tidak teratur dengan Orang tuanya, sudah tidak bersekolah dan bekerja dijalanan seperti menjadi pengemis, jualan koran atau yang melakukan aktivitas lainnya.
“ Negaralah yang paling bertanggung jawab atas perlindungan anak dari kehidupan jalanan,” ujarnya.
Kewajiban negara untuk melindungi hak-hak anak ini sudah diatur dalam UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada pasal 11ayat 3 dijelaskan usaha kesejahteraan anak yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dilaksanakan baik didalam maupun diluar panti.
Kewajiban pemerintah memberikan perlindungan pada anak juga telah diatur dalam UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 53 Ayat (1):
Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Kewajiban negara juga diatur dalam UUD 1945 hasil amademen pada pasal 28 b ayat (2) berbunyi setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 34 ayat 1 menyebutkan fakir miskin dan anak-naka telantar dipelihara oleh negara.
“Realitas yang terjadi justru anak-anak telantar bukan dipelihara negara tapi dipelihara teman-temannya,” ungkap Elly.
Peran dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalbar, tambah Elly pihaknya selalu berkordinasi dengan dinas sosial kota Pontianak untuk mengupayakan penanganan anak-anak jalanan dan terus berupaya memberikan advokasi agar anak-anak jalanan dapat ditangani dengan baik.
“Cuma memang menangani anak-anak jalan ini tidak mudah karena beberapa waktu lalu dinas sosial sudah berupaya memasukan mereka ke panti tapi tidak lama mereka keluar lagi dan kembali kejalanan. Dan kita tidak tahu apa sebabnya anak-anak itu lebih suka dijalanan. Sebenarnya faktor individu dari anak-anak itu dan faktor individu orang tua yang lebih suka anaknya berada dijalanan karena mendapatkan penghasilan untuk keluarga,” jelasnya.
Elly berharap ada langkah konkrit dari pemerintah kota melalui dinas sosial untuk menangani masalah anak-anak jalanan agar anak-anak tersebut tidak kembali kejalanannya. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus perduli masalah anak jalanan ini.
Selasa, 01 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar