PPSW Borneo Tawarkan Konsep Penanganan Perdagangan Orang
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Kasus perdagangan perempuan dan anak atau trafiking semakin marak terjadi. Sayangnya penanganan terhadap kejahatan ini hanya dijerat dengan ketentuan dalam KHUP, tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Perbudakan. Atau justru hanya menggunakan ketentuan tentang penipuan. Hal itu karena Indonesia belum mempunyai ketentuan khusus tentang perdagangan orang.
Demikian dikatakan Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Rosmaniar, Senin (7/12) di ruang kerjanya.
Menurutnya, kasus ini sebetulnya cukup banyak. Namun, nyaris sulit dibongkar karena berbagai kendala, termasuk dari para penegak hukum yang kesulitan mencari alat bukti atau penyebab lain.
Bentuk-bentuk perdagangan orang yang sering terjadi, umumnya kerja paksa seks dan ekploitasi seks. Kerja paksa seks dan ekploitasi seks banyak terjadi di luar negeri dan di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian. Pada kenyataannya, mereka dipaksa bekerja pada industri seks, saat tiba di daerah tujuan.
Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks, tetapi ditipu dengan kondisi kerja. Dikekang. Dibawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.
Selain itu, kasus Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT yang diluar negeri maupun yang di wilayah Indonesia, ditarik ke kondisi kerja yang sewenang-wenang. Termasuk jam kerja wajib yang sangat panjang. Penyekapan illegal. Upah tidak dibayar atau dikurangi. Kerja karena jeratan hutang. Penyiksaan fisik atau psikologis. Penyerangan seksual. Tidak diberi makan atau kurang makan. Malah ada yang tidak boleh menjalankan ibadah yang telah diperintah agamanya.
Beberapa majikan dan agen juga menyita paspor dan dokumen lain, untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri, ujarnya.
Dijelaskannya juga ada bentuk lain dari kerja migran, yaitu penari, penghibur, dan pertukaran budaya. Penari, penghibur dan pertukaran budaya ini terutama terjadi di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing. Saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
Adanya pengantin pesanan, dan ini sering terjadi di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempaun yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini, untuk bekerja di keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
Beberapa bentuk buruh anak atau pekerja anak juga terjadi. Kondisi seperti ini banyak terjadi di wilayah Indonesia. Beberapa anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai, dan bekerja di perkebunan telah terjadi di Indonesia.
Belum lagi penjualan bayi yang banyak terjadi di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Misalnya, buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan pekawinan palsu, saat di luar negeri. Kemudian mereka dipaksa menyerahkan bayinya untuk diadopsi illegal.
Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh pembantu kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut. Kemudian menjual bayi tersebut di pasar gelap.
Koordinator Program PPSW Borneo, Reny A. Hidjazie mengatakan, korban trafiking memerlukan pendampingan, agar dapat memulihkan kondisi mereka, serta mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Negara bersama organisasi non pemerintah harus bertanggung jawab melakukan pendampingan korban trafiking. Memberikan pelayanan hukum. Mengusahakan pemulihan kondisi korban, baik secara fisik, psikologis dan sosial. Selama ini penanganan korban trafficking masih dilakukan secara parsial baik oleh pemerintah, maupun organisasi-organisasi non pemerintah.
“Karena itu diperlukan suatu metode pendampingan korban trafiking yang terpadu dan melibatkan semua unsur yang berkaitan dengan masalah ini,” ujarnya.
Pemerintah, harus melakukan langkah membangun sistem koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam pendampingan korban trafiking perempuan dan anak. Menciptakan mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi korban trafiking perempuan dan anak. Meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap korban trafiking perempuan dan anak. Meningkatkan kesadaran korban untuk menjadi pribadi yang mandiri. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan korban, untuk menjalani kehidupan yang wajar sebagai anggota masyarakat. Mencegah agar korban tidak kembali mengalami hal yang sama, serta mengurangi terjadinya trafiking.
“Untuk PPSW sendiri kita melakukan program dengan menggunakan metode pengorganisasian masyarakat,” kata Reni. Seperti, pendampingan kelompok, mengembangkan organisasi lokal (pra koperasi) dan memfasilitasi proses belajar dan tukar pengalaman dengan masyarakat (diskusi, sosialisasi). Selain itu, melakukan penguatan ekonomi untuk kelompok perempuan, katanya. □
Senin, 21 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar