Obrolan Bebas di Warung Kopi
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Berkumpul bersama teman dekat untuk sekedar berbincang bebas dan melepas penat, setelah melakukan berbagai aktivitas atau berdiskusi ringan dengan teman se profesi di warung kopi, mungkin telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali di Kota Pontianak. Meskipun Kota Pontianak merupakan kota yang sedang berkembang, tapi sepanjang jalan di kota ini, dapat dijumpai warung-warung kopi yang berada di pinggir jalan.
Arif (28), warga Gang Media, saat ditemui di warung kopi Sari Wangi, Jalan Tanjungpura mengatakan, ia bersama temannya cukup sering meluangkan waktu kumpul bersama di warung kopi.
Dikatakannya bahwa kumpul bareng di warung kopi bersama teman, merupakan aktivitas rutinnya di malam hari, dan hampir dilakukan setiap malam. Bagi Arif, kumpul bareng bersama temannya di warung kopi memiliki makna tersendiri. Ia dapat berbincang bebas tentang berbagai hal, sambil melepaskan kepenatan yang didapat setelah seharian bekerja sebagai buruh angkut di pasar Sudirman.
“Di warung kopi saya dengan teman-teman biasa ngobrol bermacam-macam hal. Seperti, ngobrol tentang kerjaan, bisnis kecil-kecilan, tentang rencana ke depan atau sekedar curhat dengan teman-teman. Ya, pokoknya ngobrol bebas tentang segala hal yang sedang terjadi,” katanya.
Selain Arif, masih banyak masyarakat Kota Pontianak yang punya kebiasaan ngopi di warung kopi. Salah satunya Jumadi (32), warga Jalan Perdana. Ia juga punya kebiasaan santai di warung kopi, jika sedang tidak ada kesibukan. Baginya, santai di warung kopi sambil minum kopi, dapat mendatangkan inspirasi bagi dirinya. Ia mengaku, ada suasana berbeda jika minum kopi di warung kopi, dibandingkan minum kopi di rumah.
“Kalau di warung kopi kita minum kopi sambil menikmati suasana yang ramai di sekitar warung kopi tersebut. Selain itu, kadang-kadang ketika minum kopi di warung kopi, apalagi sambil berdiskusi dengan teman-teman, sering muncul ide-ide segar dalam pikiran saya,” ungkapnya.
Tidak jarang juga, lanjut Jumadi, ketika berada di warung kopi perasaan hati sedikit terhibur, dibanding berada di rumah. Di warung kopi biasanya selain menyediakan berbagai jenis minuman dan makanan juga ada sedikit hiburan, berupa lantunan musik.
Satu hal yang senantiasa ditawarkan oleh sebuah warung kopi adalah kehangatan, keintiman, dan kebebasan bertemu dengan banyak tipe orang.
“Yang jelas, suasana yang bersahaya seperti inilah yang membuat saya senang. Sedangkan di rumah kontrakan, saya tinggal sendiri,” ujar Jumadi yang saat ini masih lajang.
Berbeda dengan kedua warga masyarakat biasa, bagi para aktivis baik mahasiswa maupun LSM, kumpul bareng bersama sambil berdiskusi di warung kopi, punya arti tersendiri.
Bagi Ketua GMNI cabang Pontianak, Zuni Irawan, warung seolah
menjadi kampus alternatif bagi para mahasiswa. Dengan segelas kopi seharga dua batang rokok, ia bersama para aktivis mahasiswa lainnya, bisa duduk berjam-jam untuk membicarakan apa saja yang tidak dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang kuliah. Mulai dari perhelatan politik kampus, membedah kebijakan universitas yang dipandang tidak berpihak pada mahasiswa, hingga pada persoalan politik-kenegaraan yang sedang menghangat.
Peristiwa yang terjadi di pelosok kampung, entah itu bersifat pribadi maupun sosial, dibincangkan secara halus maupun terbuka di warung kopi, untuk kemudian segera tersebar secara luas. Keputusan-keputusan elite yang dibuat di masjid misalnya, sebagai otoritas keagamaan atau di kantor kelurahan sebagai otoritas politik, ditanggapi secara populer di warung kopi. Bahkan, kalau mau tahu bagaimana peristiwa politik nasional ditanggapi rakyat, bisa diamati dari sebuah warung kopi. ”Di warung kopi kita tidak perlu takut mengeluarkan gagasan, sebab di warung kopi kebebasan berbicara benar-benar dilindungi. Ancaman nilai, drop out, tak ada. Di warung kopi kita benar-benar dapat mengekspresikan seluruh pikiran kita tanpa batasan,” katanya.
Diungkapkan Zuni, biasanya para aktivis mahasiswa kumpul di warung kopi sesuai dengan kelompoknya. Para aktivis organisasi ekstra kemahasiswaan, seperti organisasi pergerakan mahasiswa, atau organisasi mahasiswa lainnya, biasa duduk di warung kopi untuk membicarakan rencana-rencana yang akan dilakukan organisasinya.
“Saya tidak tahu secara pasti kapan ritual itu dimulai. Namun yang jelas, hampir di seluruh kampus, para aktivis mahasiswa selalu kecanduan ngopi dan berdiskusi, termasuk saya,” ujarnya.
Pendapat yang mengatakan bahwa di warung kopi, demokrasi seolah menemukan momentumnya juga diungkapkan oleh Martono, seorang Aktivis HMI cabang Pontianak. Menurutnya, diskusi bebas dan santai yang lepas dari suhu formalitas hanya terjadi di warung kopi. Tapi justru dari suasana yang santai dan tidak formal itulah, akan lahir pemikiran-pemikiran yang cemerlang dari dalam diri seseorang.
Pada titik inilah, warung kopi seolah menemukan momentumnya, yaitu tempat di mana demokrasi dengan karakternya yang khas telah tumbuh subur. Atau, setidaknya tempat ini telah dijadikan alternative, untuk melakukan rembesan demokrasi di negeri ini.Hanya saja sangat disayangkan, warung kopi hanya sekedar menjadi tempat homogen yang disesaki para mahasiswa, sementara dosen dan jajaran birokrat kampus lainnya, terkesan enggan untuk berbaur dengan para aktivis mahasiswa. Padahal jika dosen turut serta dalam ritual warung kopi, setidaknya akan timbul ikatan emosional antara aktivis mahasiswa dengan dosennya.
Para dosen bisa menjelaskan kebijakan kampus yang dipandang miring oleh mahasiswa secara santai, tanpa diselimuti dengan atmosfer formalitas. Yang acapkali terjadi dalam gelar dengar pendapat antara perwakilan mahasiswa dengan pengambil kebijakan, di saat ada persoalan kampus. Dengan begitu, dosen tidak saja mempunyai kesempatan untuk menemani para mahasiswa ngopi, melainkan bisa mendampingi mereka memasuki dimensi keilmuan lebih jauh. □
Jumat, 11 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar