Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Sepanjang tahun 2007 kasus korupsi, illegal logging, tingkat kemiskinan yang semakin tinggi, angka buta huruf yang masih besar, bertambahnya jumlah anak-anak yang putus sekolah. Semua itu menjadi abstraksi sosial yang nyata di Kalbar. Keadaan ini membutuhkan advokasi elemen gerakan mahasiswa. Tapi sayang akhir-akhir ini gerakan mahasiswa di Kalbar dirasakan vacum dalam memberikan advokasi bagi masyarakat.
Demikian diungkapkan Koordinator Kelompok Diskusi Alternatif (KDA), Andi kepada Borneo Tribune, Rabu (26/12).
“Belum lagi gizi buruk, jumlah pengemis dan anak-anak jalanan dan pengangguran yang terus bertambah,” katanya.
Dinamisasi merupakan syarat utama ketika mahasiswa menuntut kembali peran politiknya dalam interaksi politik nasional maupun daerah. Terlihat gerakan mahasiswa Kalbar sedang mengalami titik jenuh akibat situasi depolitisasi kampus yang terus terjadi. Kehidupan kampus seakan menjadi sebuah penjara bagi gerakan mahasiswa karena kebijakan-kebijakan yang mengharuskan mahasiswa hanya berkutat dengan perkuliahan dan mempercepat masa studi membuat sebagian mahasiswa memilih lebih berorientasi pada penyelesaian masa studi dari pada harus aktif di berbagai gerakan mahasiswa.
”Belum lagi pengaruh budaya entertainment dan sikap apatis mahasiswa pada persoalan politik dan social masyarakat, membuat beberapa gerakan mahasiswa mulai kehilangan basisnya di kampus. Proses kaderisasi gerakan mengalami berbagai hambatan. Sehingga beberapa gerakan semakin kehilangan kader penerus perjuangan organisasinya,” katanya.
birokrat kampus bersama para dosen telah menciptakan kehidupan kampus yang mengekang mahasiswa untuk aktif dalam gerakan dengan dalih mahasiswa harus lebih mengutamakan kegiatan akademisnya. Bahkan kemudian disebarnya stigma mahasiswa yang aktif di organisasi gerakan menjadi mahasiswa yang lama, mahasiswa yang kurang cerdas dan malas kuliah.
Kemudian muncullah anggapan yang cumelaude adalah mahasiswa yang patut dibanggakan karena dianggap berprestasi. Tapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya dan tak dapat berbuat banyak bagi masyarakat. Sebagian besar mereka konon masih mengharapkan menjadi pegawai negeri. Ini fakta mereka tidak dapat mengaktualisasikan ilmu yang didapat ketika berada di masyarakat.
“Sebenarnya ini adalah akal-akalan birokrasi kampus yang bekolusi dengan para penguasa yang secara halus memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), ” paparnya. Sendi-sendi politik mahasiswa dipatahkan dengan tesis pendidikan sebagai pemenuhan teknostruktur pembangunan. Penempatan rektor sebagai penguasa tunggal di kampus dan berbagai bentuk campur tangan korporatis yang tak hentinya memerintahkan mahasiswa untuk menjadikan kampus sebagai tempat belajar.
Andi melihat beberapa kelemahan pada gerakan mahasiswa akhir-akhir ini dalam mengawal proses demokrasi dan memberikan advokasi pada rakyat. Pertama, lemahnya kaderisasi. Organisasi gerakan mahasiswa dan kelompok studi yang menggelar demokrasi jalanan dimotori orang yang itu-itu juga. Kedua, ketiadaan basis massa. Situasi massa memang tidak mendukung, proyek depolitisasi berhasil, tindakan represif mengancam setiap gerakan mahasiswa yang membawa isu-isu substansial. Ketiga, disakumulasi kekuatan mahasiswa. Menyadari pereduksian politik yang berakibat posisi mahasiswa berada di jalur peripheral, pinggiran, mestinya kekuatan-kekuatan sporadis mahasiswa melakukan akumulasi, saling bergandeng tangan. Tetapi yang terjadi adalah saling menuduh dan saling menghakimi antara gerakan mahasiswa. Bahkan sesama gerakan demokrasi jalanan pun terjadi klaim-mengklaim tentang sebuah move. Ada semacam arogansi, sayangnya arogansi ini lahir dari kaum pinggiran yang makin dimarjinalisasi sehingga kekuatan gerakan mahasiswa saat ini mengalami disakumulasi kekuatan, power dis-accumulation. Bisa dibayangkan jika sebuah kelompok marjinal yang makin marjinal, ingin “menggoyang” center yang makin menguat. Hasilnya gagal.Pesimisme terbangunnya suatu kekuatan baru mahasiswa memang ada. Pertama, aksi-aksi mahasiswa sekarang hanya merupakan bentuk gagah-gagahan dan “menapaktilas” angkatan terdahulu. Kedua, aksi mahasiswa sekarang kurang dibekali landasan konsepsional yang matang serta peta politik, ekonomi, yang akurat. Hal ini merupakan dampak dari suasana kehidupan yang mengisolasikan mahasiswa dari politik dan persoalan kemasyarakatan. Ketiga, aksi-aksi lebih banyak mengandalkan liputan media massa ketimbang berdiri otonom. Keempat, aksi-aksi bersifat sporadis, temporer dan reaktif, tidak membangun isu dari bawah. Sementara isu yang dimunculkan juga bersifat sesaat tidak perubahan mendasar. Kelima proyek depolitisasi kampus masih diterapkan. Kebanyakan mahasiswa menjadi asing terhadap persoalan-persoalan bangsanya sendiri. Keenam, gerakan mahasiswa sendiri terpecah belah dalam banyak faksi mewakili kepentingan yang bervariasi dengan strategi gerakan yang juga beragam.
Ketujuh, ormas kepemudaan dan ormas kemahasiswaan kurang berperan dan semakin tidak kritis terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sehingga, kehadiran aksi-aksi sulit diharapkan menjadi pressure group bagi pemerintah.
“Adanya kondisi mati surinya gerakan mahasiswa inilah Kelompok Diskusi Alternatif akan melakukan refleksi akhir tahun gerakan mahasiswa di Kalbar pada 28 Desember 2007. Kegiatan ini akan dilangsungkan di sekretariat KDA jalan Irian No 35 pada pukul 19.30. Kita akan mengundang 2 tokoh mantan aktivis gerakan mahasiswa 98 di Kalbar dan seorang akademisi lulusan pasca sarjana di Jepang. Kita berharap seluruh gerakan mahasiswa di Kalbar dapat menghadiri acara tersebut karena diskusi ini terbuka untuk semua elemen gerakan mahasiswa,” ungkapnya.
Tujuan dari refleksi ini, kata Andi untuk merefleksi sejauh mana gerakan yang telah dibangun mahasiswa Kalbar dan melihat bagaimana dampaknya bagi perkembangan perpolitikan di Kalbar. Dan berupaya menyusun strategi baru yang akan digunakan dalam membangun gerakan mahasiswa di Kalbar di tahun 2008.
Anggota KDA, Hasan, mengatakan refleksi gerakan mahasiswa menjadi sebuah momentum konsolidasi dan silahturahmi antar gerakan mahasiswa agar kedepannya seluruh elemen gerakan mahasiswa di Kalbar dapat menyatukan gerakan. Ini penting karena gerakan mahasiswa sekarang belum menjadi agent of social change, sebaliknya menjadi gerakan peripherial, pinggiran. Agenda yang diperlukan adalah penyatuan kelompok-kelompok pinggiran mahasiswa dalam suatu konsolidasi secara menyeluruh. Hal ini dibutuhkan untuk pengembalian posisi tawar yang menyurut. Dalam posisi tawar yang lemah, agenda gerakan mahasiswa mesti memilih misi transformatif atau misi korektif. Tansformatif menekankan pada gerakan penyadaran social politik dan penularan gagasan-gagasan demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Sedangkan misi korektif menitikberatkan pada koreksi berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat banyak. Diangkatnya isu-isu lokal populis dengan harapan dapat menjadi isu nasional nampaknya masih bisa diandalkan. Pilihan isu-isu mikro memang sesuai dengan kondisi gerakan mahasiswa yang lemah.
“Dalam tahap ini diharapkan terjadi konsolidasi secara bertahap untuk mengembalikan nafas gerakan mahasiswa yang telah surut akibat depolitisasi kampus,” katanya.
Dikatakannya untuk merajut jaringan gerakan mahasiswa yang sedikit terpisah dibutuhkan beberapa prinsip. Pertama, perlunya semangat dialog tanpa apriori antar kelompok mahasiswa. Melalui dialog tanpa apriori dapat diketahui kekuatan dan kelemahan masing-masing pihak serta menghindari perasaan curiga atau rasa permusuhan akibat berbedanya pendekatan gerakan. Kedua, kedewasaan berpolitik antar aktivis yang berbeda ideologi dan pendekatan gerakan. Ketiga, konsolidasi berjalan bertahap dan berkesinambungan melalui isu-isu tertentu dengan target “jangka panjang,” sehingga terhindar situasi gerakan yang prematur. Belakangan aksi mahasiswa dipertanyakan orang, mulai dari kemurnian gerakan sampai kepada intelektual gerakan. Apresiasi masyarakat pun kian menurun menyusul aksi-aksi yang dipandang cenderung anarkis, emosional dan terkesan kurang intelek. Masyarakat tentu prihatin melihat mahasiswa yang tak bisa menahan diri dengan melakukan perusakan fasilitas umum saat melakukan aksi. Dan tentunya sulit bagi masyarakat menyebut gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral ketika mahasiswa harus anarkis dalam melakukan aksi.
“Kini masyarakat mulai bertanya benarkah suara mahasiswa adalah suara rakyat?. Dan ini adalah "PR" berat bagi gerakan mahasiswa yaitu bagaimana mengembalikan apresiasi positif masyarakat terhadap mahasiswa,” paparnya.
Selasa, 01 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar