Jumat, 11 Januari 2008

Derita Panjang Para TKI
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Haryadi (22), pemuda asal Tangerang Provinsi Banten. Bersama tujuh orang temannya, terpaksa harus menelan pil pahit menjadi TKI di negeri Jiran, Malaysia. Merasa tidak tahan bekerja di Kota Sibu, Serawak Timur, Malaysia, Haryadi akhirnya memutuskan kembali ke kampung halamannya di Tanggerang, pada Jum’at (28/12). Ia bersama teman-temannya tiba di Pontianak dari Kuching, Serawak Malaysia.
Ketika ditemui di Masjid Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kalbar, Kamis (3/1), Haryadi menceritakan pengalamannya menjadi TKI. Haryadi menjadi TKI berawal ketika dirinya bertemu dengan Titin yang mengajaknya bekerja di Malaysia. Titin mengenalkannya ke Ivan, seorang agent TKI di Jakarta. Oleh Titin dan Ivan, Haryadi dijanjikan bahwa di Malaysia ia akan bekerja di sebuah PT dengan gaji 800 RM perbulannya atau sekitar Rp 2-2,5 juta. Selain itu, semua fasilitas seperti makan, perlengkapan masak sampai air mandi yang menggunakan air PAM, diberikan gratis.
Karena janji inilah, Haryadi bersedia menjadi TKI di Malaysia. Dengan berbagai pertimbangan. Seperti, di kampung menganggur dan sulit mendapatkan pekerjaan. Tapi menjadi TKI bukan untung yang didapat, justru derita panjang yang harus dialaminya. Hal ini dialaminya lantaran janji-janji yang diberikan agen di Jakarta tidak dipenuhi.
“Ternyata semua janji itu bohong dan saya merasa ditipu,” katanya.
Haryadi merasa tertipu dengan janji manis agen di Jakarta. Ketika sampai di Malaysia pada (3/8). Sesampai di Serawak, ia bersama TKI lainnya, oleh pengurus TKI yang ada di sana, ia diserahkan ke PT TAAN Poliwud Plection. Ini sebuah PT yang akan mempekerjakan mereka di perkebunan sawit.
“Tiga hari sampai di Malaysia, Saya langsung bekerja di perkebunan sawit dengan upah harian sebesar 15 RM (Ringgit) atau sekitar Rp 45.000,” ujarnya.
Dalam perjanjian dengan perusahaan sawit tersebut, Haryadi mulai masuk masa training selama 3 bulan dan mendapat upah harian. Tapi baru 8 hari bekerja, perusahaan sudah meminta masuk kerja borongan. Sekali borong, lahan yang harus dikerjakan seluas 18 hektar, dan dikerjakan 4 orang. Lahan itu harus selesai dalam satu hari.
“Kita kerjanya memupuk sawit dan dibayar 99 RM sekali borong,” ungkapnya.
Kerja Haryadi dan para TKI lainnya memang benar-benar dibayar oleh perusahaan sawit tersebut. Tapi oleh agen di Jakarta, gaji mereka dipotong perbulannya sebesar 150 RM untuk satu orang TKI. Dan ini dilakukan selama 14 bulan. Jadi total semua gaji yang dipotong selama 14 bulan mencapai 2100 RM. Belum lagi potongan pajak yang besarnya 50 RM per bulan dan bayar iuran listrik 10 RM per bulan.
Selain Haryadi, masih banyak yang merasa tertipu oleh Ivan, agen TKI di Jakarta. Salah satunya Yanto (30), warga desa Kayu Agung, Tanggerang Banten. Ia juga satu rombongan bersama Haryadi dan 5 TKI lainnya. Kini, ia berada di Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kalbar.
Yanto mengungkapkan, ia juga dijanjikan hal yang sama, seperti yang dialami Haryadi ketika ditawarkan bekerja di Malaysia. Bagi Yanto, bekerja di Malaysia sangat tertekan karena walau pun dalam kondisi sakit, ia dipaksa harus bekerja. Dan jika tiga hari tidak bekerja karena sakit, oleh perusahaan ia dibilang pemalas.
Yanto benar-benar merasa tertipu oleh agen di Jakarta, karena tidak ada satu janji pun yang terbukti. Di Malaysia, baik makan dan peralatan masak lainnya, tidak ada satu pun yang didapatkan secara gratis. Belum lagi potongan yang sangat besar dari agen di Jakarta, membuat mereka tidak mendapatkan apa-apa selama bekerja.
“Bayangkan sebulan gaji kita hanya 350 RM, sedangkan potongan untuk agen 150 RM. Belum lagi pajak dan bayar listrik 60 RM. Padahal, untuk makan saja di sana, kita habis 250 RM sebulan,“ jelasnya.
Karena merasa tidak mampu untuk terus bekerja, Yanto, Haryadi dan beberapa TKI lainnya minta pulang kembali ke Indonesia. Tapi oleh perusahaan tidak diijinkan, dan ia harus menunggu selama beberapa bulan, untuk pembuatan paspor dari perusahaan.
Jadi, selama di Malaysia, dari bulan Agustus sampai Desember, ia hanya bekerja selama 2 bulan, Agustus dan September. Sedangkan tiga bulan berikutnya, Oktober, November dan Desember, ia tidak bekerja karena tidak mampu dan ingin pulang.
Yanto memutuskan pulang awal bulan Oktober dan mulai berhenti bekerja. Tapi karena perusahaan lama membuatkan paspor, ia harus menunggu selama 3 bulan.
Selama menunggu paspor, ia begitu tertekan hidup di Malaysia karena tidak memiliki uang. Untuk makan, ia biasa minta ke teman-teman TKI yang masih bekerja.
“Ya, kalau ada uang kita bisa makan. Tapi kalau tidak punya uang, kita tidak makan karena kita tidak bisa utang di warung,“ ujarnya.
Dikatakannya uang untuk pulang ke Indonesia, ia dapat dari patungan teman-teman TKI lainnya. Dan celakanya, sesampai di Pontianak, tepatnya di perempatan lampu merah Jalan Tanjungpura, ia dan 7 orang TKI lainnya dirampok oleh beberapa orang. Mereka memaksanya memberikan uang dengan ancaman, tidak akan selamat jika tidak memberikan uang.
“Waktu saya turun dari bis di simpang Tanjungpura datanglah sekitar 7 orang dan meminta uang kepada kami dengan ancaman tidak akan selamat jika tidak memberikan uang. Semua uang kami yang hanya Rp 150.000 perorang, akhirnya habis diambil,“ katanya.
Untunglah, akhirnya ia dapat menemukan kantor Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kalbar, untuk meminta bantuan. Kalau tidak, ia dan teman-temannya tidak tahu harus ke mana.
Staf Pemberdayaan Bantuan Sosial Dinas Sosial Dan Ketenagakerjaan Kalbar, Sharlis, mengatakan, sebelum mereka pulang ke daerah, sementara ini mereka ditampung di masjid Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan. Mereka akan ditampung sampai ada jadwal keberangkatan kapal ke Jakarta. Dan selama ditampung Dinas Sosial, para TKI mendapat jatah makan 3 kali sehari dengan asumsi Rp 5.000 sekali makan. Batas waktu maksimal mereka ditampung selama 5 hari.
“Ini adalah kebijakan Menkokesra melalui Departeman Sosial dan Ketenagakerjaan bahwa para TKI hanya mendapat santunan 3 kali makan dan uang transport, untuk kembali ke kampung halaman sebesar Rp 200.000 untuk tiket kapal,“ katanya.
Dikatakannya, dana inipun bukan Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kalbar yang memegangnya. Dana tersebut ada di Departemen Sosial Jakarta. Jumlahnya pun sangat kecil, untuk sekali makan perorangnya hanya Rp 5.000 dan diberi 3 kali makan.
“Untuk keperluan TKI ini, kita di Dinas Sosial Kalbar menalangi dahulu dana untuk makan dan transport pulang TKI. Setelah itu Dinas Sosial Kalbar membuat surat penagihan ke Departemen Sosial di Jakarta untuk meminta dana,“ ungkapnya.
Kecilnya dana dari Departemen Sosial, sering membuat Dinas Sosial Kalbar merasa bingung menggunakannya. Bayangkan saja, uang untuk sekali makan TKI hanya dapat jatah Rp 5.000. Untuk ukuran Pontianak, sulit sekali dapat makanan seharga Rp 5.000. Belum lagi jatah untuk transport pulang TKI yang begitu kecil. Seperti, untuk TKI lokal Kalbar. Misalnya, ketika mereka pulang ke Putusibau hanya dapat jatah Rp 100.000.
Sangat kecil sekali dan tidak cukup. Dari Pontianak ke Putusibau, dana transport Rp 150.000. Dana pemulangan TKI lokal Kalbar mulai tahun 2008 sudah tidak ada dari APBN. “Ya, mudah-mudahan ada kebijakan pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD bagi pemulangan TKI,“ kata Sharlis. □

Tidak ada komentar: