Oleh : Tantra Nur Andi
Sebuah fenomena yang sangat ironis ketika seluruh dinas-dinas pemerintahan baik tingkat provinsi, kabupaten maupun kota membuat pengumuman di bukanya lowongan bagi masyarakat untuk menjadi pegawai negeri maka bisa kita saksikan ribuan orang berbondong-bondong membuat kartu kuning untuk melamar mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Keadaan ini adalah sebuah fenomena yang bila dilihat sejarah historisnya masyarakat kita memiliki sifat feodalisme yang diwarisi oleh penjajahan Belanda. Sifat ini juga ikut mewarnai orientasi pendidikan di Indonesia. Sebagian besar masyarakat mengharapkan output dari proses pendidikan adalah sebagai pekerja, sebab dalam pandangan masyarakat bahwa pekerja ( terutama pegawai negeri sipil ) adalah priyayi yang memiliki status sosial yang cukup tinggi dan dihormati oleh masyarakat. Jadi baik pendidik, institusi pendidikan, maupun masyarakt memiliki persepsi yang sama terhadap output pendidikan.
Kita bisa melihat perjalanan panjang dari pendidikan di Indonesia yang hampir setiap pergantian pemerintah berganti pula sistem pendidikan yang digunakan tapi perubahan sistem pendidikan tersebut hanya bersifat normatif sedangkan substansi dari isi pendidikan dan tujuan pendidikan sama saja yang mencetak siswa menjadi pekerja baik menjadi pegawai negeri maupun swasta. Pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan hanya memikirkan output peserta didik dengan membekali kemampuan intelektualnya saja, tanpa adanya pembekalan kemampuan yang dapat membangkitkat jiwa kewirausahaan dari para peserta didik.
Pada hal sekolah atau pendidik punya kewajiban untuk melakukan pembelajaran berbasis kewirausahaan yaitu dengan memotivasi dan memberikan tambahan pelajaran tentang bagaimana berwirausaha dengan baik. Maka dari itu output dari para peserta didik sekarang ini hanya mengharapkan atau mencari lapangan pekerjaan tanpa memberikan inovasi atau membuka lapangan pekerjaan yang baru. Jadi dapat dilihat sekarang, banyaknya pengangguran yang terjadi merupakan salah satu dari hasil paradigma pendidikan kita yang tidak diterapkannya jiwa kewirausahaan dalam proses pembelajaran khususnya disekolah atau lembaga pendidikan.
Wajar saja, meski pun Indonesia yang dikenal sebagai negara kaya raya sumber daya alam nya tapi masyarakatnya harus hidup dalam kemiskinan dan bangsa Indonesia sering kali harus gigit jari karena kekayaan alamnya telah habis di keruk dan di nikmati oleh perusahaan – perusahaan asing. Contohnya PT Freeport di Irian dan blok cepu yang dikelolan perusahaan Amerika.
Belum lagi persoalan saat ini mutu pendidikan masih jauh dari harapan.
Dari dalam negeri diketahui bahwa NEM SD sampai SLTA relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti dari tahun ke tahun. Dari dunia usaha muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Dari komparasi internasional, mutu pendidikan di Indonesia juga kurang menggembirakan.
Human Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai. Survai The Political Economic Risk Consultation (PERC) menemukan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvai. Studi lain yang dilakukan The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R,1999) menemukan bahwa siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika, dari 38 negara yang distudi di Asia, Australia dan Afrika.
Peningkatan mutu pendidikan berarti peningkatan mutu sumber daya manusia. Sementara mutu pendidikan belum menggembirakan, berarti mutu sumber daya manusia Indonesia juga belum menggembirakan. Kini Indonesia menghadapi dua tantangan, ialah tantangan dari dalam dan dari luar.
Dari dalam negeri krisis ekonomi belum juga berakhir sehingga pengangguran terus bertambah. Di bidang pendidikan sendiri, data Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 88,4% lulusan SLTA tidak melanjutkan ke PT, dan 34,4% lulusan SLTP tidak melanjutkan ke SLTA. Mereka setiap tahun menambah jumlah deretan pencari kerja, sementara bekal untuk kesiapan kerja belum dimiliki.
Dari luar negeri tantangan akan muncul dengan disepakatinya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) tahun 2003. Konsekuensinya adalah tenaga kerja kita dalam berbagai sektor kehidupan harus mampu bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara tetangga di lingkungan Asean.
Melihat kondisi tersebut, maka dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Ia tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Ia tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku saekolah/kuliah, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan jiwa entrepreneurship, ialah jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema tersebut, jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Salah satu jiwa entrepreneurship yang perlu dikembangkan melalui pendidikan pada anak usia pra sekolah dan sekolah dasar, adalah kecakapan hidup (life skill).
Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan, adalah pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi yang dikembangkan di sekolah.
Tulisan ini mencoba menawarkan suatu model pendidikan yang berwawasan kewirausahaan untuk tingkat pra sekolah dan sekolah dasar. Dengan model ini jika diterapkan diharap dunia pendidikan ikut memberikan kontribusi nyata dalam rangka peningkatan mutu SDM di Indonesia.
Kerangka pengembangan kewirausahaan di kalangan tenaga pendidik dirasakan
sangat penting. Karena pendidik adalah ‘agent of change’ yang diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat dan watak serta jiwa kewirausahaan atau jiwa ‘entrepreneur’ bagi peserta didiknya. Disamping itu jiwa ‘entrepreneur’ juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik, karena melalui jiwa ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif serta mandiri.
Jika pendidikan memiliki misi melaksanakan pendidikan wirausahawan, maka sudah selayaknya kurikulum dan strategi pembelajarannya mengalami perubahan dan penyesuaian. Melihat karakter wirausahawan di atas, kelihatannya sulit pembentukan wirausahawan tercapai, manakala proses pembelajarannya tetap mempergunakan strategi “klasik”.
Menurut Scharg et. al. (1987) wirausahawan merupakan hasil belajar. Meskipun jiwa wirausahawan mungkin juga diperoleh sejak lahir (bakat), namun jika tidak diasah melalui belajar dan dimotivasi dalam proses pembelajaran, sulit dapat diwujudkan. Untuk mempertajam minat dan kemampuan wirausahawan perlu ditumbuh-kembangkan melalui proses pembelajaran. Di sinilah letak dan pentingnya pendidikan wirausahawan dalam pendidikan.
Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap peserta didik, sudah seharusnya mengetahui bakat yang ada pada peserta didik, keinginan peserta didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat pesera didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.
Melihat uraian singkat tentang konsep pendidikan kritis dan mental wirausaha di atas, maka kita dapat mendesain model pendidikan masa depan yang lebih “produktif”. Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis, tidak kerdil, dan reaktif terhadap perubahan yang terus-menerus. Membangun pendidikan kritis adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan. Dengan kata lain, jika dipahami dari konsep tersebut, maka sudah seharusnya pendidikan di Indonesia dapat berperan sebagai problem solver dengan dibarengi mental wirausaha yang terpatri dalam diri. Artinya, peserta didik dibekali dengan pelbagai disiplin keilmuan yang mumpuni yang dapat dijadikan “modal” untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang muncul dan berkembang di masyarakat. Selain itu, dengan jiwa wirausahanya peserta didik akan selalu melakukan pembaharuan dan inovasi secara dinamis di masyarakat. Walhasil, perjalanan dalam kehidupan masyarakat akan terus mengalami perkembangan-perkembangan (yang positif) tanpa meninggalkan jiwa kekritisan yang telah dibentuk melalui proses pendidikan.
Penulis adalah mahasiswa FKIP dan Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Lentera FKIP Untan
Minggu, 16 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar