Tarif Progresif PLN Tidak Populis
Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Kebijakan tarif progresif PLN Pusat merupakan kebijakan yang tidak populis. Kebijakan ini hanya trik PLN memperoleh tambahan anggaran.
“Kebijakan yang dikeluarkan PLN dengan dalih sebagai penghematan energi hanyalah akal-akalan PLN. Karena dalam kondisi krisis seperti sekarang ini masyarakat sebenarnya sudah berhemat. Namun angkanya masih di atas angka progresif PLN, sehingga jika kebijakan ini diterapkan sebagian besar masyarakat akan terkena denda,” ungkap Ketua Lembaga Pemberdayaan Konsumen dan Lingkungan (LPKL) Kalbar, Burhanuddin Haris, Sabtu (1/3) di kediamannya.
Dikatakannya, apapun dalih yang menjadi alasan PLN untuk kebijakan tersebut sebenarnya sangat merugikan masyarakat karena penetapan pemakaian, misalnya pemakaian 450 VA harus di bawah 60 kwh, kalau di atas 60 kwh akan dikenakan tarif yang lebih mahal. Keduanya di bawah standar kebutuhan rata-rata masyarakat. Artinya, menurut Burhanuddin, jelas ke depannya masyarakat akan banyak yang dikenakan tarif lebih mahal, karena kebutuhan masyarakat di atas 60 kwh.
Untuk pemberian insentif (diskon) 20 persen bagi pelanggan yang menggunakan di bawah 60 kwh hanya pemberian diskon yang sangat sedikit. Contoh penggunaan daya 450 VA di bawah 60 kwh misalnya 52 kwh maka intensifnya 20% x (75–52 kwh) x Rp 530 = Rp 2.438. Ini adalah potongan rekening.
Jadi yang harus dibayar 52 kwh x Rp 530 – Rp2.438 = Rp 25.122. Sementara jika penggunaan pelanggan 90 kwh (lebih dari 60 kwh) maka perhitungan denda (disinsentif) adalah 1,6 x (90 – 60 kwh) x Rp 530 = Rp 25.440 ditambah pemakaian 90 kwh x Rp530 = Rp 47.700. Jadi total yang harus dibayar Rp 73.140.
“Kondisi ini jelas menunjukkan ketidakberimbangan antara insentif yang hanya 20 persen = Rp 2.438 dengan denda sebesar 1,6 x 80 persen pemakaian rata-rata yaitu Rp 25.440,” ujarnya.
Kebijakan PLN, katanya jelas memojokkan konsumen yang berada di posisi yang lemah. Untuk itu kebijakan ini harus ditinjau ulang.
Menurutnya kebijakan seperti ini jauh lebih berbahaya karena berindikasi membuka peluang korupsi pejabat PLN terhadap dana denda yang diterapkan pada konsumen. Mestinya ada transparansi jika ada kebijakan kenaikan tarif listrik dan harus dilakukan secara proporsional.
Dalam kajian Burhanuddin yang juga dosen di Fisip Untan ini, kebijakan tarif listrik progresif sangat rawan bagi PLN karena dikhawatirkan akan membuka peluang yang lebih besar terhadap pencurian listrik.
Dengan kebijakan ini PLN sebenarnya telah melanggar hak konsumen yang dijamin Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 yaitu memperoleh ganti rugi akibat terjadinya pemadaman dan kerusakan alat yang selama ini diabaikan PLN. Keadaan ini membuktikan telah terjadi ketidakberimbangan antara hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi PLN. Artinya PLN hanya menekankan kewajiban pada konsumen, sedangkan kewajiban PLN selalu diabaikan.
Katanya, persoalan lain yang juga belum diselesaikan oleh PLN adalah janji PLN mulai Juli, September dan Desember 2007 untuk mampu membuat daya listrik survive dengan mesin sewa, sampai sekarang masih terabaikan.
“Sudah saatnya jika kontraktor mesin sewa tersebut yang telah melanggar kesepakatan waktu segera diusut permasalahannya hingga tuntas,” ungkapnya. ■
Minggu, 02 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar