Selasa, 25 Maret 2008

* Hari Air Sedunia
Kalbar Krisis Air Bersih

Setiap tahun diperkirakan 2,2 juta orang meninggal karena diare. 1,1 juta karena malaria, 17.000 orang karena cacingan, dan 15.000 karena demam berdarah. Semua karena air yang tercemar.

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Setiap musim kemarau, dua bencana besar dihadapi Kalbar yaitu bencana kabut asap dan kekeringan. Bencana kekeringan yang paling utama dihadapi masyarakat Kalbar adalah kekurangan air bersih.
“Mulai saat ini masyarakat Kalbar harus menyadari pentingnya lingkungan untuk kehidupan. Karena itu perlu dilakukan langkah-langkah nyata dalam rangka menyelamatkan lingkungan. Salah satu unsur lingkungan yang mutlak adalah air,” ungkap Diar, koordinator lapangan aksi memperingati Hari Air Sedunia, Sabtu (22/3) di perempatan jalan A. Yani- Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Diar bersama 9 anggota Komunitas Hijau Bersih (Hiber) Pontianak melakukan aksi sejak pukul 15.00 dengan membagikan selebaran yang isinya imbauan pada masyarakat untuk menjaga lingkungan dari pencemaran.
Diar mengatakan saat ini masyarakat sedang dihadapkan pada permasalahan tidak tersedianya air bersih. Faktor utama menyebabkan terjadinya krisis air adalah penghancuran hutan. Jika hutan mengalami kehancuran, bumi tidak mampu lagi menampung dan menyuplai air.
“Di Kalbar ada delapan belas daerah aliran sungai, tapi di sekitar daerah aliran sungai tersebut telah terjadi kerusakan hutan yang parah, akibat berbagai aktivitas seperti illegal logging dan penambangan emas di sungai,” ungkapnya.
Dikatakannya menurut hasil penelitian Unesco (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan),dunia akan mengalami krisis air yang serius akibat meningkatnya jumlah penduduk, pencemaran, serta dampak perubahan cuaca yang telah memusnahkan sumber-sumber daya alam.
Dua pertiga penduduk dunia akan kesulitan mendapatkan air pada 2025 mendatang, dan lebih dari satu miliar orang akan kekurangan air bersih.
Di Benua Asia saja, 40% penduduk miskin di perkotaan belum mendapatkan layanan air ledeng. Dalam laporan itu juga dicantumkan perkiraan jumlah penduduk pada 2050 mencapai dua miliar yang tersebar di 48 negara, dan lebih dari tujuh miliar di 60 negara akan kekurangan air bersih.
“Pada saat ini, terdapat 12.000 km persegi sumber air dunia yang tercemar, dengan catatan bila pola hidup tetap sama dengan sekarang maka jumlah itu akan mencapai 18.000 km persegi pada 2050, hampir sembilan kali lipat jumlah yang dipakai untuk irigasi pada saat sekarang,” jelasnya.
Polusi adalah hal terbesar dan terburuk yang menyebabkan rusaknya kelangsungan air bersih. Setiap hari, dua ton limbah masuk ke dalam sungai, danau, dan sumber air lainnya. Tidak ironis jika banyak wabah penyakit yang menyerang masyarakat, sebab air bersih masih belum terjamin secara maksimal. Krisis air bersih atau menurunnya kuantitas dan kualitas, juga diakibatkan oleh perubahan drastis iklim global yang diikuti kekeringan. Kondisi tersebut diperparah dengan buruknya pengelolaan dan konservasi sumber daya air, baik akibat kegiatan rumah tangga maupun industri. Kelangkaan air bersih itu, bahkan telah memakan banyak korban. Di seluruh dunia
sedikitnya 3,4 juta orang meninggal secara langsung akibat mengonsumsi makanan/minuman yang terkontaminasi. Atau secara tidak langsung akibat penyakit yang disebabkan mengonsumsi air kotor.
Setiap tahun diperkirakan 2,2 juta orang meninggal karena diare, 1,1 juta karena malaria, 17.000 orang karena cacingan, dan 15.000 karena demam berdarah.
Di Indonesia ketersediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari masih jauh dari harapan, karena banyak anggota masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan air bersih.
Ancaman terhadap ketersediaan air di Indonesia juga datang dari kebijakan pemerintah dan DPR yang memberlakukan swastanisasi air secara penuh yang dituangkan pada Pasal 10 RUU Sumber Daya Air (SDA), yang menyebutkan bahwa pengelolaan SDA ditetapkan dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha.
Krisis air bersih atau menurunnya kuantitas dan kualitas, juga diakibatkan oleh perubahan drastis iklim global yang diikuti kekeringan. Kondisi tersebut diperparah dengan buruknya pengelolaan dan konservasi sumber daya air, baik akibat kegiatan rumah tangga maupun industri.
Pemerintahan selum SBY-JK, juga sudah menyetujui swastanisasi air bersih lewat Keppres 96/2000 yang menyatakan bahwa saham perusahaan air minum dapat dimiliki oleh swasta asing sampai 95%.
Swastanisasi pengelolaan air yang diberlakukan di Indonesia itu, akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan akses air bersih bagi masyarakat bawah, karena akan terjadi eksploitasi secara berlebihan demi keuntungan ekonomi semata.
Swastanisasi air juga akan membuat industri dan perusahaan agrobisnis skala besar mendapatkan prioritas dibandingkan dengan konsumen lainnya.
Privatisasi dan atau swastanisasi air akan menjadi sebuah "bom" yang sewaktu-waktu akan meledak, mengingat air merupakan hajat hidup semua orang.
Masalah air, jika tidak disikapi secara kritis oleh pemerintah akan berakibat pada pemberontakan masyarakat. Apalagi air merupakan salah satu kebutuhan mendasar, sehingga jika pemerintah memaksakan kebijakan untuk melakukan privatisasi atau swastanisasi, itu berarti sudah tidak memiliki hati nurani terhadap rakyatnya.
Di tempat terpisah, Direktur LPS AIR, Deman Huri Gustira mengatakan krisis air merupakan krisis ekologi yang penyebab utamanya adalah komersialisasi, pembabatan hutan dan pertambangan. Semua kegiatan tersebut telah mengancurkan kemampuan daya serap air yang dimiliki tanah.
“Beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis air di daerah ini. Pertama reklamasi secepatnya sumber air yang telah tercemari oleh industri terutama daerah aliran sungai,” katanya.
Kedua menghentikan konversi lahan di sekitar daerah aliran sungai untuk perkebunan yang bersifat monokultur dan industri lainnya. Karena ini akan mengurangi kualitas dan kuantitas air. Ketiga penghijauan kembali di daerah aliran sungai, keempat membuat kebijakan bersama instansi terkait antara pemerintahan kabupaten tentang pengelolaan air. Kelima menghentikan penambangan emas di sungai. ■

Tidak ada komentar: