Selasa, 25 Maret 2008

* Hari Air Sedunia
Kalbar Krisis Air Bersih

Setiap tahun diperkirakan 2,2 juta orang meninggal karena diare. 1,1 juta karena malaria, 17.000 orang karena cacingan, dan 15.000 karena demam berdarah. Semua karena air yang tercemar.

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Setiap musim kemarau, dua bencana besar dihadapi Kalbar yaitu bencana kabut asap dan kekeringan. Bencana kekeringan yang paling utama dihadapi masyarakat Kalbar adalah kekurangan air bersih.
“Mulai saat ini masyarakat Kalbar harus menyadari pentingnya lingkungan untuk kehidupan. Karena itu perlu dilakukan langkah-langkah nyata dalam rangka menyelamatkan lingkungan. Salah satu unsur lingkungan yang mutlak adalah air,” ungkap Diar, koordinator lapangan aksi memperingati Hari Air Sedunia, Sabtu (22/3) di perempatan jalan A. Yani- Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Diar bersama 9 anggota Komunitas Hijau Bersih (Hiber) Pontianak melakukan aksi sejak pukul 15.00 dengan membagikan selebaran yang isinya imbauan pada masyarakat untuk menjaga lingkungan dari pencemaran.
Diar mengatakan saat ini masyarakat sedang dihadapkan pada permasalahan tidak tersedianya air bersih. Faktor utama menyebabkan terjadinya krisis air adalah penghancuran hutan. Jika hutan mengalami kehancuran, bumi tidak mampu lagi menampung dan menyuplai air.
“Di Kalbar ada delapan belas daerah aliran sungai, tapi di sekitar daerah aliran sungai tersebut telah terjadi kerusakan hutan yang parah, akibat berbagai aktivitas seperti illegal logging dan penambangan emas di sungai,” ungkapnya.
Dikatakannya menurut hasil penelitian Unesco (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan),dunia akan mengalami krisis air yang serius akibat meningkatnya jumlah penduduk, pencemaran, serta dampak perubahan cuaca yang telah memusnahkan sumber-sumber daya alam.
Dua pertiga penduduk dunia akan kesulitan mendapatkan air pada 2025 mendatang, dan lebih dari satu miliar orang akan kekurangan air bersih.
Di Benua Asia saja, 40% penduduk miskin di perkotaan belum mendapatkan layanan air ledeng. Dalam laporan itu juga dicantumkan perkiraan jumlah penduduk pada 2050 mencapai dua miliar yang tersebar di 48 negara, dan lebih dari tujuh miliar di 60 negara akan kekurangan air bersih.
“Pada saat ini, terdapat 12.000 km persegi sumber air dunia yang tercemar, dengan catatan bila pola hidup tetap sama dengan sekarang maka jumlah itu akan mencapai 18.000 km persegi pada 2050, hampir sembilan kali lipat jumlah yang dipakai untuk irigasi pada saat sekarang,” jelasnya.
Polusi adalah hal terbesar dan terburuk yang menyebabkan rusaknya kelangsungan air bersih. Setiap hari, dua ton limbah masuk ke dalam sungai, danau, dan sumber air lainnya. Tidak ironis jika banyak wabah penyakit yang menyerang masyarakat, sebab air bersih masih belum terjamin secara maksimal. Krisis air bersih atau menurunnya kuantitas dan kualitas, juga diakibatkan oleh perubahan drastis iklim global yang diikuti kekeringan. Kondisi tersebut diperparah dengan buruknya pengelolaan dan konservasi sumber daya air, baik akibat kegiatan rumah tangga maupun industri. Kelangkaan air bersih itu, bahkan telah memakan banyak korban. Di seluruh dunia
sedikitnya 3,4 juta orang meninggal secara langsung akibat mengonsumsi makanan/minuman yang terkontaminasi. Atau secara tidak langsung akibat penyakit yang disebabkan mengonsumsi air kotor.
Setiap tahun diperkirakan 2,2 juta orang meninggal karena diare, 1,1 juta karena malaria, 17.000 orang karena cacingan, dan 15.000 karena demam berdarah.
Di Indonesia ketersediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari masih jauh dari harapan, karena banyak anggota masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan air bersih.
Ancaman terhadap ketersediaan air di Indonesia juga datang dari kebijakan pemerintah dan DPR yang memberlakukan swastanisasi air secara penuh yang dituangkan pada Pasal 10 RUU Sumber Daya Air (SDA), yang menyebutkan bahwa pengelolaan SDA ditetapkan dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha.
Krisis air bersih atau menurunnya kuantitas dan kualitas, juga diakibatkan oleh perubahan drastis iklim global yang diikuti kekeringan. Kondisi tersebut diperparah dengan buruknya pengelolaan dan konservasi sumber daya air, baik akibat kegiatan rumah tangga maupun industri.
Pemerintahan selum SBY-JK, juga sudah menyetujui swastanisasi air bersih lewat Keppres 96/2000 yang menyatakan bahwa saham perusahaan air minum dapat dimiliki oleh swasta asing sampai 95%.
Swastanisasi pengelolaan air yang diberlakukan di Indonesia itu, akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan akses air bersih bagi masyarakat bawah, karena akan terjadi eksploitasi secara berlebihan demi keuntungan ekonomi semata.
Swastanisasi air juga akan membuat industri dan perusahaan agrobisnis skala besar mendapatkan prioritas dibandingkan dengan konsumen lainnya.
Privatisasi dan atau swastanisasi air akan menjadi sebuah "bom" yang sewaktu-waktu akan meledak, mengingat air merupakan hajat hidup semua orang.
Masalah air, jika tidak disikapi secara kritis oleh pemerintah akan berakibat pada pemberontakan masyarakat. Apalagi air merupakan salah satu kebutuhan mendasar, sehingga jika pemerintah memaksakan kebijakan untuk melakukan privatisasi atau swastanisasi, itu berarti sudah tidak memiliki hati nurani terhadap rakyatnya.
Di tempat terpisah, Direktur LPS AIR, Deman Huri Gustira mengatakan krisis air merupakan krisis ekologi yang penyebab utamanya adalah komersialisasi, pembabatan hutan dan pertambangan. Semua kegiatan tersebut telah mengancurkan kemampuan daya serap air yang dimiliki tanah.
“Beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis air di daerah ini. Pertama reklamasi secepatnya sumber air yang telah tercemari oleh industri terutama daerah aliran sungai,” katanya.
Kedua menghentikan konversi lahan di sekitar daerah aliran sungai untuk perkebunan yang bersifat monokultur dan industri lainnya. Karena ini akan mengurangi kualitas dan kuantitas air. Ketiga penghijauan kembali di daerah aliran sungai, keempat membuat kebijakan bersama instansi terkait antara pemerintahan kabupaten tentang pengelolaan air. Kelima menghentikan penambangan emas di sungai. ■

Senin, 03 Maret 2008

Penting Pendidikan Anti Kekerasan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Tidak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Karena itu, perlu pendidikan dan pengetahuan yang cukup dari orang tua agar mampu mendidik anaknya ke arah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
“Persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan prasangka,” kata Armijn Ch.S.Besman, S.IP, S.Psi, Psikolog Kalbar, Sabtu (1/3) di kediamannya.
Dikatakan Armijn, cara menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Selama ini orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Kondisi ini akan membuat anak berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tuanya. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak. Sedangkan anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistis. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak.
“Orang tua yang terlalu keras akan membuat anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang,” ujarnya.
Yang pastinya, kata Armijn anak belajar dari kehidupannya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, Ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Perilaku kekerasan tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. “Karena itu, pendidikan harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan sejak dini agar budaya damai, sikap toleransi, dan empati dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar,” ungkapnya.
Armijn berpendapat dunia pendidikan memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Pendekatan pendidikan anti kekerasan sangat diperlukan agar para siswa memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan.
“Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis,” jelasnya.
Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis. Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya mendidik berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para siswa. “Penggunaan pendekatan simulasi, bermain peran, observasi, penangaanan kasus perlu dilakukan dalam pembelajaran agar para siswa memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan,” paparnya.
Untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik perlu diperkenalkan pada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara terintegrasi.
Caranya guru harus memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang studi yang relevan sesuai sifat dan hakikat resolusi konflik yang dikonseptual. Dengan cara ini, maka dalam jangka panjang para siswa memiliki nilai dan perilaku anti kekerasan.
“Jika ini dapat dilaksanakan, maka bangsa ini akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada.■

Minggu, 02 Maret 2008

Tarif Progresif PLN Tidak Populis

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Kebijakan tarif progresif PLN Pusat merupakan kebijakan yang tidak populis. Kebijakan ini hanya trik PLN memperoleh tambahan anggaran.
“Kebijakan yang dikeluarkan PLN dengan dalih sebagai penghematan energi hanyalah akal-akalan PLN. Karena dalam kondisi krisis seperti sekarang ini masyarakat sebenarnya sudah berhemat. Namun angkanya masih di atas angka progresif PLN, sehingga jika kebijakan ini diterapkan sebagian besar masyarakat akan terkena denda,” ungkap Ketua Lembaga Pemberdayaan Konsumen dan Lingkungan (LPKL) Kalbar, Burhanuddin Haris, Sabtu (1/3) di kediamannya.
Dikatakannya, apapun dalih yang menjadi alasan PLN untuk kebijakan tersebut sebenarnya sangat merugikan masyarakat karena penetapan pemakaian, misalnya pemakaian 450 VA harus di bawah 60 kwh, kalau di atas 60 kwh akan dikenakan tarif yang lebih mahal. Keduanya di bawah standar kebutuhan rata-rata masyarakat. Artinya, menurut Burhanuddin, jelas ke depannya masyarakat akan banyak yang dikenakan tarif lebih mahal, karena kebutuhan masyarakat di atas 60 kwh.
Untuk pemberian insentif (diskon) 20 persen bagi pelanggan yang menggunakan di bawah 60 kwh hanya pemberian diskon yang sangat sedikit. Contoh penggunaan daya 450 VA di bawah 60 kwh misalnya 52 kwh maka intensifnya 20% x (75–52 kwh) x Rp 530 = Rp 2.438. Ini adalah potongan rekening.
Jadi yang harus dibayar 52 kwh x Rp 530 – Rp2.438 = Rp 25.122. Sementara jika penggunaan pelanggan 90 kwh (lebih dari 60 kwh) maka perhitungan denda (disinsentif) adalah 1,6 x (90 – 60 kwh) x Rp 530 = Rp 25.440 ditambah pemakaian 90 kwh x Rp530 = Rp 47.700. Jadi total yang harus dibayar Rp 73.140.
“Kondisi ini jelas menunjukkan ketidakberimbangan antara insentif yang hanya 20 persen = Rp 2.438 dengan denda sebesar 1,6 x 80 persen pemakaian rata-rata yaitu Rp 25.440,” ujarnya.
Kebijakan PLN, katanya jelas memojokkan konsumen yang berada di posisi yang lemah. Untuk itu kebijakan ini harus ditinjau ulang.
Menurutnya kebijakan seperti ini jauh lebih berbahaya karena berindikasi membuka peluang korupsi pejabat PLN terhadap dana denda yang diterapkan pada konsumen. Mestinya ada transparansi jika ada kebijakan kenaikan tarif listrik dan harus dilakukan secara proporsional.
Dalam kajian Burhanuddin yang juga dosen di Fisip Untan ini, kebijakan tarif listrik progresif sangat rawan bagi PLN karena dikhawatirkan akan membuka peluang yang lebih besar terhadap pencurian listrik.
Dengan kebijakan ini PLN sebenarnya telah melanggar hak konsumen yang dijamin Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 yaitu memperoleh ganti rugi akibat terjadinya pemadaman dan kerusakan alat yang selama ini diabaikan PLN. Keadaan ini membuktikan telah terjadi ketidakberimbangan antara hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi PLN. Artinya PLN hanya menekankan kewajiban pada konsumen, sedangkan kewajiban PLN selalu diabaikan.
Katanya, persoalan lain yang juga belum diselesaikan oleh PLN adalah janji PLN mulai Juli, September dan Desember 2007 untuk mampu membuat daya listrik survive dengan mesin sewa, sampai sekarang masih terabaikan.
“Sudah saatnya jika kontraktor mesin sewa tersebut yang telah melanggar kesepakatan waktu segera diusut permasalahannya hingga tuntas,” ungkapnya. ■
Mutu Pendidikan SMP di Kalbar Terburuk Seluruh Kalimantan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Data terakhir rembuk Nasional Pendidikan 2008 menunjukkan kondisi mutu pendidikan tingkat SMP di Kalbar terburuk dari seluruh Kalimantan. terburuknya mutu pendidikan SMP di Kalbar dibandingkan provinsi lain dari seluruh Kalimantan terlihat dari rendahnya persentase berdasarkan capaian perolehan nilai hasil UAN 2006/2007.
Dari data perolehan nilai baik sekali untuk Kalbar terendah yaitu 1, 98 persen, disusul Kalteng 6,38 persen, Kalsel 6,30 persen dan Kaltim 15,38 persen. Perolehan nilai baik Kalbar juga menempati posisi terbawah yaitu 12, 5 persen, Kalsel 42,19 persen, Kalteng 54, 52 persen dan Kaltim 59,04 persen. Posisi terendah juga diduduki Kalbar pada perolehan nilai kurang 33,54 persen, Kalsel 10,14 persen dan Kaltim 1,26 persen. Sementara Kalteng nol persen. Untuk perolehan nilai kurang dari hasil UAN lagi-lagi Kalbar menduduki rangking pertama yaitu 6,65 persen, Kalsel 0,28 persen. Sedangkan Kalteng dan Kaltim nol persen.
Melihat kondisi mutu pendidikan SMP di Kalbar terburuk, Dekan FKIP Untan, Aswandi sangat terkejut dengan terpuruknya kondisi mutu pendidikan di Kalbar untuk tingkat SMP. Ia mengatakan kalau beberapa waktu lalu dirinya melihat pendidikan di Kalbar jongkok sekarang bukan jongkok lagi tapi sudah tiarap sambil angkat tangan sebagai tanda kalah jauh dengan daerah lain.
“Kalau jongkok saja artinya sudah dibawah rata-rata nasional sedang tiarap ini artinya memang sudah buruk sekali. Sebelum melihat data ini perasaan saya kemarin Kalbar masih diatas Kalteng tapi sekarang sudah jauh dibawah Kalteng apalagi dibandingkan Kalsel dan Kaltim,” katanya.
Persoalan rendahnya nilai hasil UAN SMP di Kalbar ini disebabkan banyak faktor tapi yang utama karena belajar belum efektif. Mengapa pembelajaran belum efektif karena gurunya belum profesional. Yang terpenting adalah komitmen dari guru untuk menjadi guru yang benar dan dan bertanggungjawab dengan tugasnya mendidik siswa. Biarpun guru-guru sudah memiliki kualifikasi S1 tapi kalau komitmennya rendah maka kualitas pembelajaran yang diberikannya juga akan rendah. Seharus saat ini guru punya komitmen yang tinggi dengan bangga menjadi seorang guru seperti seorang dokter dia bangga menjadi seorang dokter. Adanya rasa kebanggaan inilah yang akan menumbuhkan semangat mendidik siswa. Pembelajaran di sekolah menjadi tidak efektif karena guru kurang melakukan evaluasi. Setiap selesai melaksanakan pembelajaran mestinya guru melakukan evaluasi formatif. Artinya mengevaluasi melalui ulangan agar guru mengetahui sejauh mana pembelajaran yang dilaksanakannya dapat diserap peserta didik. Tapi yang terjadi guru tidak melakukan evaluasi melalui ulangan formatif. Ulangan formatif ini maksudnya memberikan soal-soal latihan pada murid untuk melihat sejauh mana daya serap murid pada materi pelajaran. Dari hasil ulangan tersebut dilihat dimana kekurangannya siswa. Kekurangan inilah menjadi bahan evaluasi guru untuk mengulang materi yang diajarkan jika materi tersebut belum diserap oleh siswa. Sementara saat ini yang dilakukan sekolah saat ini hanya ulangan sumatif yang digunakan untuk nilai raport tapi tidak untuk evaluasi dirinya.
Tidak adanya pembelajaran yang efektif disekolah tidak bisa disalahkan guru saja tapi kondisi ini juga disebabkan seringnya perubahan kurikulum sehingga guru dipusingkan dengan perubahan tersebut.
Akibat perubahan kurikulum ini guru dibuat kebingungan untuk merencanakan pembelajaran dan evaluasi formatif menjadi tidak bagus. Evaluasi formatif maksudnya evaluasi yang dilakukan untuk satuan pembelajaran. Misalkan setelah pembelajaran selama seminggu siswa evaluasi, apakah siswa sudah mengerti belum dengan pembelajaran tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Ngatman mengatakan data dari hasil rembuk nasional yang memperlihatkan mutu pendidikan SMP di Kalbar terburuk jangan dilihat dan dibandingkan dengan provinsi yang sudah maju tapi mesti dilihat perkembangan mutu pendidikan Kalbar dari tahun ke tahun. Ada tidak peningkatan hasil UAN siswa-siswa di Kalbar. Jika naik berarti ada perbaikan-perbaikan.
“Jangan langsung melihat provinsi yang sudah maju dan langsung ingin mengejar. Ya mana mungkin, jadi caranya kita melihat ini untuk evaluasi kedepan. Apasih langkah yang harus kita lakukan untuk perbaikan dan peningkatan,” katanya.
Nah untuk program-program perbaikan karena ini era otonomi di kabupaten/kota maka diharapkan pemerintah kabupaten kota juga harus melakukan langkah-langkah yang gencar untuk perbaikan mutu ini.
Faktor lain penyebab terpuruknya mutu SMP di Kalbar juga karena setengah dari sSMP di Kalbar adalah sekolah swasta. Dan sekolah swasta itu ada yang kondisi mutunya bagus juga ada yang kondisi mutunya rendah. Langkah yang diambil adalah membantu swasta melalui pembinaan peningkatan mutu. Selama ini Kalbar selalu mengalami peningkatan nilai rata-rata UAN. Untuk SMP nilai rata-rata UAN selama 3 tahun terakhir Kalbar mengalami peningkatan yaitu 2004/2005 nilai rata-rata menjadi 5,58, tahun 2005/2006 rata-ratanya naik menjadi 6,04 dan tahun 2006/2007 turun menjadi 5,92.
Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar’in mengatakan apapun hasil rembuk nasional haruslah menjadi evaluasi bagi dunia pendidikan. Misalnya berkaitan dengan saran dan prasarana. Pemerintah mestinya segera melakukan langkah perbaikan sarana dan prasarana seperti kelengkapan bahan ajar, laboratorium dan kelengkapan lainnya. Persoalan sumber daya manusia seperti guru harus juga mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Terpuruknya mutu pendidikan di SMP ini harus dievaluasi sebenarnya kelemahannya dimana, misalnya untuk siswa SMP apa mata pelajaran yang di UAN kan. Nah mesti ada langkah konkret dari sekolah untuk mendongkrak nilai UAN SMP yang begitu rendah. “Tinggal kembali lagi kepada sekolah bersama Dinas Pendidikan untuk mengupayakan secara maksimal agar nilai UAN SMP meningkat,” katanya.■
Untan Akan Buat Kebun Pendidikan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Universitas Tanjungpura sedang mempersiapkan kebun pendidikan yang rencananya akan berlokasi di belakang Fakultas Kedokteran sampai ke Fakultas Ekonomi.
Fase awal pembuatan kebun pendidikan memerlukan lahan seluas 8 hektar yang pelaksanaannya berjalan selama 3 tahun.
“Kebun pendidikan ini akan diisi tanaman langka, obat-obatan dan tanaman holtikultura spesifik, tanaman perkebunan, tanaman hutan, sawah dan akan dikembangkan usaha peternakan seperti sapi dan ternak-ternak lainnya,” kata Pembantu Rektor IV Untan, Iqbal Arsyad, Selasa (26/2).
Pembuatan kebun pendidikan, ungkap Iqbal merupakan kerjasama Untan dengan pemerintah provinsi Kalbar melalui Bapeda, Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehewanan dan Peternakan, Kelautan dan Perikanan serta Bakomapin.
Nantinya kebun pendidikan ini akan sangat bermanfaat bagi dosen, karyawan dan mahasiswa untuk melakukan praktik lapangan seperti penelitian dan pengembangan kegiatan kewirausahaan bagi mahasiswa yang tentunya dapat dimanfaatkan seluruh fakultas. Kebun pendidikan ini juga akan menjadi sumber generator income Untan yang kedepannya kedepannya digunakan untuk pembiayaan Untan jika menjadi BHP. “Pembuatan kebun pendidikan ini akan menelan biaya sekitar Rp5 miliar,” ujarnya.
Hasil-hasil dari kebun pendidikan ini nantinya akan dipasarkan baik ke sekitar provinsi Kalbar, ke luar Kalbar bahkan jika hasilnya maksimal akan di ekspor ke luar negeri.
Selain pembuatan kebun pendidikan yang rencananya akan dimulai Maret ini, Untan juga akan mendirikan pusat bisnis anggrek yang pelaksanaan dan pengembangannya berjalan 4 sampai 5 tahun ke depan.
Untan dalam waktu dekat akan menata kembali perjanjian dengan pihak ketiga untuk penyewaan tower, kantor pos dan kerja sama dengan Bank Kalbar untuk pelaksanaan daftar ulang mahasiswa, BRI untuk penyaluran beasiswa bagi mahasiswa dan BNI untuk gaji dosen serta karyawan.■
FKIP Untan Harus Perhatikan Kualitas Lulusan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Semakin membludaknya keinginan masyarakat untuk masuk ke FKIP beberapa tahun terakhir ini merupakan suatu kewajaran di saat peluang menjadi guru di Kalbar sangat besar. Pemikiran pragmatis masyarakat yang inginnya memperoleh pekerjaan secara instan seperti menjadi pegawai negeri inilah yang mendasari banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi guru.
Ini terjadi karena masyarakat tidak pernah berpikir betapa susahnya menjadi seorang guru dengan berbagai tuntutan kompetensi yang harus dimiliki. Selain itu guru juga dituntut dapat memberikan proses pendidikan yang berkualitas pada anak didik. Sementara saat ini guru dihadapkan dengan kondisi sarana prasarana penunjang proses belajar mengajar yang sangat minim.
Dosen FKIP Untan, Rif’at mengatakan selain persoalan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai. Indonesia juga dihadapkan dengan persoalan kualitas guru yang sangat rendah. Saat ini ada 2,7 juta guru di Indonesia yang masih membutuhkan perbaikan kualitas. Karena guru-guru tersebut belum menguasai kompetensi dasar yang menjadi standar Undang-undang Guru dan Dosen serta Undang-undang Sisdiknas.
“Kalau menginginkan peningkatan kualitas pendidikan memang harus dari tangan guru berkualitas, menjadi guru yang berkualitas, atau ’melahirkan’ guru berkualitas, bukanlah perkara mudah. Dan hal ini menjadi PR pemerintah bersama LPTK yang ada,” katanya.
Untuk menghasilkan guru yang berkualitas maka proses pendidikan bagi calon guru juga harus berkualitas. Tapi selama ini yang terjadi justru LPTK yang menjadi lembaga pencentak calon guru sering kali kurang memperhatikan kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Banyak LPTK di Indonesia hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan adanya kebijakan pemerintah yang ingin memajukan pendidikan. Kondisi ini ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah ingin mensejahterakan guru dengan meningkatkan gaji guru. Maka yang terjadi adalah masyarakat berbondong-bondong ingin menjadi guru.
Berbondong-bondongnya keinginan masyarakat untuk menjadi guru, kata Rif’at dimanfaatkan oleh LPTK dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan daya tampung dan memperhatikan kualitas.
“Lihat saat ini yang terjadi LPTK FKIP menerima mahasiswa yang begitu banyak, tidak cukup regular akhirnya membuka program ekstensi. Program ini juga dirasakan belum cukup dibuka juga program kerjasama dengan berbagai pemerintah kabupaten. Akibat dari ini, jumlah mahasiswa FKIP melebihi kapasitas daya tampung yang ada. Perkuliahan berlangsung dari pagi sampai tengah malam bahkan hari minggu pun masih ada kegiatan perkuliahan,” ungkapnya.
Sementara kualitas dari mutu pembelajaran tidak pernah diperhatikan. Kondisi kampus LPTK ibaratkan pasar yang selalu ramai dan ramainya kampus belum mengkondisikan suasana akademik. Belum lagi persoalan sarana dan prasarana di kampus LPTK yang belum sama sekali mencapai standar minimal dari sebuah perguruan tinggi yang ingin menghasilkan lulusan berkualitas.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh mantan Ketua BEM FKIP Untan periode 2006-2007, Hemri Yansa. Ia berpendapat mestinya FKIP lebih mengutamakan kualitas pada penyelenggaraan proses pendidikan. FKIP jangan hanya sekedar meluluskan mahasiswa sebanyak-banyaknya tapi mahasiswa yang dihasil tidak memenuhi kompetensi dasar untuk menjadi seorang guru. Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sudah dijelaskan Direktorat Tenaga Teknis dan Pendidikan Guru (Dikgutentis) yangmerumuskan sepuluh kompetensi guru, yaitu memiliki kerpibadian sebagaiguru, menguasai landasan kependidikan, menguasai bahan pelajaran, Menyusun program pengajaran, melaksanakan proses belajar mengajar, melaksanakan proses penilaian pendidikan, melaksanakan bimbingan, melaksanakan administrasi sekolah, menjalin kerja sama dan interaksi dengan guru sejawat dan masyarakat, melaksanakan penelitian sederhana.
Di tahun 2003, katanya Direktorat Tenaga Kependidikan (nama baru Dikgutentis)juga telah mengeluarkan Standar Kompetensi Guru (SKG), terdiri atas tigakomponen, yaitu pengelolaan pembelajaran, pengembangan potensi, dan penguasaan akademik, yang dibungkus oleh aspek sikap dan kepribadian sebagai guru.
Ketiga komponen kompetensi ini dijabarkan menjadi tujuh kompetensi dasar, yaitu penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar, peniliaianprestasi belajar peserta didik, pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, pengembangan profesi, pemahaman wawasan kependidikan, dan penguasaan bahan kajian akademik sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
Ketujuh kompetensi dasar guru ini dapat diukur dengan seperangkat indikator yang telah ditetapkan dan harus melekat pada guru, yaitu pertama memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat, dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, kedua menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukupdan dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, ketigamemiliki kompetensi yang didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu keempat memiliki kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut, kelima sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secaraperorangan atau kelompok berhak memperoleh imbalan finansial atau material.
“Nah pertanyaannya, apakah FKIP telah mempersiapkan mahasiswanya dengan berbagai kompetensi tersebut sehingga lulusannya benar-benar memiliki kompetensi yang siap pakai,” tanya Hemri.
Guntur, mahasiswa jurusan IPS semester 6 mengatakan FKIP harus mengutamakan kualitas proses pendidikan yang diselenggarakan dengan melakukan berbagai upaya seperti menyelenggarakan proses belajar mengajar yang dapat mendorong mahasiswa agar memiliki berbagai kompetensi standar untuk menjadi guru.
Guntur merasakan selama mengikuti perkuliahan banyak dosen ketika memberikan materi perkuliahan justru menumbuhkan rasa kebosanan untuk mengikuti perkuliahan.
”Sangat sedikit sekali dosen yang mampu memotivasi mahasiswanya untuk mengikuti proses perkuliahan. Selain itu cara dosen menyampaikan materi perkuliahan bersifat monoton. Saya berharap ada perhatian penuh dari pihak fakultas untuk menciptakan suasana yang dinamis dan nyaman dalam proses pembelajaran,” harapnya■
Kalbar Akan Kekurangan Guru Tahun 2011
Aswandi: Pemerintah Harus Segera Buat Kebijakan Dari Sekarang

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Tahun 2011 di Kalbar akan terjadi lonjakan kebutuhan guru besar-besaran karena belasan ribu guru yang ada akan memasuki masa pensiun. Demikian diungkapkan Rektor Untan, Chairil Effendi, Selasa (26/2) usai acara Wisuda mahasiswa program diploma Untan di Auditorium Untan.
Chairil mengatakan di tahun tersebut merupakan kondisi yang harus segera diantisipasi oleh perguruan tinggi terutama penyelenggara program keguruan dan ilmu kependidikan dan pemerintah dengan bekerja sama untuk mempersiapkan tenaga guru yang akan menggantikan guru-guru yang pensiun tersebut.
“Tapi Untan sendiri tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan guru yang mencapai belasan ribu karena setiap tahun kita menerima dalam jumlah yang terbatas,” katanya.
Diharapkan STKIP PGRI, STKIP Sintang dan STKIP Melawi serta di tempat-tempat lain yang ada dapat menghasilkan lulusan tapi tentu dengan tidak melupakan kualitas. Untan juga telah bicara dengan Gubernur Kalbar membahas apakah mungkin Untan membuka kembali program AKTA IV yang telah ditutup. Agar para sarjana non kependidikan yang masih menganggur dapat dididik dan dibekali metodelogi mengajar. Untuk menjadi guru dan mengisi kekosongan guru yang akan mencapai belasan ribu tersebut.
Persoalan kualifikasi yang dimiliki sarjana, dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 menyebutkan siapapun dan dari sarjana dari program manapun boleh menjadi guru asal terlebih dahulu mengikuti pendidikan profesi guru. Tapi program profesi guru belum bisa dilaksanakan di Untan karena belum ada Peraturan Pemerintah yang saat ini masih digarap di Departemen Pendidikan Nasional.
“Menunggu PP ini jadi saya kira perlu melakukan langkah-langkah mempersiapkan guru untuk mengatasi kekurangan guru yang akan terjadi. Di antaranya kita minta pada Dekan FKIP untuk menyurati DIKTI untuk meminta izin penyelenggaraan kembali program Akta mengajar ini,” jelasnya.
Karena syarat menjadi guru yang harus S1, Chairil berharap lulusan diploma II dan diploma III dari PGSD FKIP Untan untuk segera meningkatkan kualifikasi dari diploma II dan III ke S1 melalui program-program yang ada di Universitas Terbuka. Untan juga sedang menunggu arahan dari DIKTI untuk menyelenggarakan program peningkatan kualifikasi dari diploma II dan III ke S1.
Menyikapi kekurangan guru tahun 2011 mendatang, Dekan FKIP Untan mengatakan hal tersebut tergantung kemampuan pemerintah Kalbar apakah mampu untuk mengangkat guru sampai belasan ribu yang akan menggantikan guru-guru yang pensiun. Kalau soal suplai lulusan sarjana kependidikan, FKIP bisa memenuhinya. Persoalan kekurangan guru ini kembali pada kemampuan pemerintah, perguruan tinggi dalam hal ini tidak masalah karena dapat direncanakan untuk tahun 2011 agar suplai tenaga guru cukup.
“Saran kita sejak saat ini pemerintah Kalbar harus sudah memikirkan pengangkatan guru-guru baru yang bekerja sama dengan Lembaga Pendidik Tenaga Keguruan (LPTK) mengenai berapa jumlah guru yang akan kurang pada masing-masing program studi,” ujarnya.
Dikatakan Aswandi FKIP saat ini sedang merencanakan membangun kemitraan dengan pemerintah daerah dan seluruh stockholder yang ada untuk mempersiapkan guru-guru yang kurang di tahun 2011.
FKIP juga telah menyurati Dikti untuk mengajukan penyelenggaraan kembali program Akta IV bagi sarjana-sarjana non kependidikan. Jika diijinkan penyelenggaraan program Akta IV ini nanti akan dilaksanakan untuk program yang tidak ada di FKIP seperti program Antropologi, Geografi, Sejarah, Teknik elektro dan program lainnya.
“FKIP tidak akan membuka program Akta IV untuk program-program yang sudah ada di FKIP. Kita akan memprioritaskan lulusan dari program yang sudah ada,” paparnya.■